Partisipasi bukan hantu. Tak ada yang perlu ditakuti dari proses legislasi yang partisipatif apabila memang pembuat undang-undang paham demokrasi dan tidak punya itikad buruk untuk membuat legislasi yang hanya menguntungkan kelompoknya.
Kasus terkini adalah Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Berjumlah 632 pasal, KUHP serupa induk dari semua pengaturan pidana Indonesia. Di dalamnya diatur mulai dari hal-hal prinsip mengenai pemidanaan, termasuk jenis sanksi pidana, sampai pasal-pasal tindak pidana yang kita kenal saat ini, seperti penipuan, korupsi, sampai kekerasan seksual. Begitu pentingnya RKUHP ini. Namun, ternyata tak berbanding lurus dengan proses pembahasannya yang minim partisipasi.
Tulisan wartawan Kompas Susana Rita Kumalasanti mengenai legislasi kilat (Kompas, 5 Juli 2022) benar, tetapi sayangnya bukan satu-satunya bentuk praktik ugal-ugalan proses legislasi kita. Soalnya bukan hanya jumlah hari, melainkan sejauh mana proses pembahasan undang-undang yang partisipatif dilaksanakan. Kita harus protes dengan pembahasan UU tentang Ibu Kota Negara Nusantara (IKN) yang selesai dalam hitungan hari karena ini soal pemindahan ibu kota negara dan ada dampak pembangunan bagi masyarakat yang sudah ada di situ serta lingkungan hidup.
Namun lebih dari itu, dalam prosesnya, partisipasi masyarakat adat di Kalimantan Timur diabaikan. Kita keberatan dengan pembahasan UU Cipta Kerja yang juga kilat. Kita bisa berdebat soal cukupkah 9 bulan untuk membahas 1.187 halaman, tetapi soal sebenarnya bukan pada kuantitas waktu, tetapi soal tiadanya partisipasi bermakna, seperti yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi dan membuat UU itu dinyatakan oleh MK inkonstitusional bersyarat.
Di sinilah kita harus membongkar gagasan yang menggunakan terminologi dalam demokrasi, tetapi secara substantif sebenarnya tidak demokratis: wakil rakyat. Konsep demokrasi perwakilan sering kali dijadikan acuan untuk menjustifikasi pengambilan kebijakan yang elitis atau bersifat top-down.
Asumsinya, karena anggota DPR, DPD, dan Presiden adalah pilihan rakyat, mereka mendapat mandat penuh untuk membuat kebijakan untuk dan atas nama rakyat, tanpa membicarakannya lagi dengan orang-orang yang sudah memilihnya. Undang-undang dianggap sebagai kontrak sosial (meminjam istilah John Locke) dan pembuat kontrak diasumsikan sebagai penerima kuasa penuh dari orang yang akan diikat oleh undang-undang. Kabar baiknya, teori ini sudah tak lagi kontekstual.
Deliberative democracy atau demokrasi deliberatif pada dasarnya mengatakan, pengambilan keputusan tidak bisa diambil secara gegabah oleh wakil rakyat dengan landasan teori demokrasi perwakilan.
Saat ratusan tahun yang lalu teori mengenai demokrasi perwakilan dan kontrak sosial dibuat, negara-negara belum sebesar dan seplural saat ini. Jurang pemisah berupa akses informasi, kekayaan, dan kekuasaan pun belum selebar dan serumit abad ke-21 ini. Karena itulah, teori demokrasi deliberatif dibangun dan dipraktikkan. Deliberative democracy atau demokrasi deliberatif pada dasarnya mengatakan, pengambilan keputusan tidak bisa diambil secara gegabah oleh wakil rakyat dengan landasan teori demokrasi perwakilan.
Sederhananya, deliberation adalah pengambilan keputusan yang dilakukan dengan diskusi yang mendalam dan setara, untuk mempertimbangkan berbagai pilihan terlebih dulu beserta dampak-dampaknya (Rawls, 1971; Habermas, 1981). Kata yang agak mirip maknanya barangkali musyawarah, tetapi kata musyawarah sudah mendapat pemaknaan baru yang mengutamakan mufakat tanpa pengambilan suara.
Deliberasi berbeda dengan musyawarah yang kita kenal sekarang karena konsep itu mengedepankan kesetaraan dalam berpendapat, argumen rasional, dan keterbukaan informasi. Tiga hal ini belum ada dalam praktik demokrasi kita.
Masalah lanjutannya, partisipasi kemudian diturunkan ke tingkatan teknis dan undang-undang dianggap sebagai hasil karya akademik sehingga mengundang banyak ahli dengan gelar berderet dianggap sebagai keberhasilan partisipasi. Padahal, ahli bisa membicarakan pengetahuan, tetapi tidak bisa mendiskusikan pengalaman, yang bisa berbeda-beda antara pemangku kepentingan satu undang-undang dan lainnya.
Seperti halnya dalam pembahasan RKUHP tadi, penolak partisipasi dan keterbukaan berpendapat, kalau dibahas terlalu luas, RUU tidak akan pernah selesai dan hanya akan menimbulkan kegaduhan. Argumen seperti itu menunjukkan cara pikir yang tidak demokratis dan sangat teknokratis. Undang-undang diberi target seperti sinetron kejar tayang. Semakin sedikit waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi undang-undang dan tidak gaduh, politik dianggap baik karena stabil.
Seperti halnya dalam pembahasan RKUHP tadi, penolak partisipasi dan keterbukaan berpendapat, kalau dibahas terlalu luas, RUU tidak akan pernah selesai dan hanya akan menimbulkan kegaduhan. Argumen seperti itu menunjukkan cara pikir yang tidak demokratis dan sangat teknokratis
DPR dan pemerintah seperti pabrik yang membutuhkan efisiensi dalam berproduksi. Padahal demokrasi tidak bisa diukur dengan penggaris ekonomi, tetapi seberapa jauh warga negara biasa bisa berpartisipasi dalam hidup bernegara. Jangan takut dengan partisipasi. Partisipasi akan menjadi saluran politik yang baik sehingga ”kegaduhan” yang muncul adalah keramaian pendapat yang justru penting dalam demokrasi. Yang terpenting, undang-undang membutuhkan legitimasi politik. Cara pandang yang legal-prosedural belaka lama-kelamaan akan membuat demokrasi runtuh.
Sumber: https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/07/06/wakil-rakyat-bukan-pabrik-undang-undang
Tanggal: 7 Juli 2022