Begitu pentingnya kekuasaan kehakiman dalam suatu negara karena ia berfungsi memastikan penyelenggaraan negara berdasarkan hukum dan menyelesaikan konflik-konflik hukum di masyarakat, serta memastikan akuntabilitas penyelenggara negara berdasarkan hukum. Kekuasaan kehakiman atau lembaga yudikatif karena itu didesain dengan dasar pemikiran yang berbeda dengan lembaga eksekutif dan legislatif dalam dua hal.
Pertama, ia tidak didesain dengan logika keterwakilan. Jumlah hakim serta cara hakim bekerja tak berkaitan dengan jumlah penduduk dan logika elektoral. Ia juga membuat putusan, dengan penalaran hukum berdasarkan kualifikasi keilmuannya, bukan berdasarkan partisipasi publik.
Kedua, karena fungsinya untuk memastikan akuntabilitas penyelenggaraan negara, ia juga
memiliki suatu konsep independensi yang khusus, agar ia tetap dapat memutus kasuskasus secara independen. Independensi itu berlaku baik bagi institusinya maupun bagi hakim-hakim dalam hal membuat putusan.
Begitu pentingnya kekuasaan kehakiman sehingga banyak studi mengungkapnya pembalikan demokrasi di banyak negara sering kali dilakukan melalui perusakan lembaga peradilannya, terutama Mahkamah Konstitusi (Ginsburg, 2018). Belakangan ini, sayangnya, Indonesia juga tengah mengalami situasi itu pula.
Kita tentu ingat, akhir 2022, intervensi sebenarnya telah terjadi oleh DPR, dengan digantikannya hakim Aswanto oleh Guntur Hamzah, dengan cara yang melanggar undang-undang. Apa lacur penggantian itu diamini presiden dengan melantik hakim yang baru. Saat itu para mantan hakim
Mahkamah Konstitusi dan akademisi sudah memberikan masukan formal bahwa proses itu melanggar undang-undang, tetapi masukan itu tidak diindahkan.
Merusak kemandirian kekuasaan kehakiman
Dalam draf revisi UU MK yang pembahasannya hampir selesai ini, ada ketentuan mengenai periodisasi masa jabatan hakim. Yang mengkhawatirkan, ada ketentuan peralihan yang menyebutkan hakim konstitusi yang telah menjabat 5 tahun dan kurang dari 10 tahun, dapat melanjutkan jabatannya sampai 10 tahun, jika disetujui lembaga yang memilihnya. Sementara itu, bagi hakim konstitusi yang telah menjabat lebih dari 10 tahun, melanjutkan masa jabatannya hingga usia 70 tahun atau maksimal menjabat selama 15 tahun.
Sekarang, dengan adanya ketentuan peralihan itu, ada tiga hakim konstitusi yang nasibnya belum jelas dan sangat bergantung pada keputusan lembaga pengusul. Mereka ialah Saldi Isra dan Enny Nurbaningsih yang nasibnya di tangan Presiden, serta Suhartoyo yang ditentukan Mahkamah Agung.
Tak salah jika publik menilai ada keinginan kuat untuk mengganti hakim-hakim tersebut, mengingat pendapat-pendapat mereka selama ini dalam putusan-putusan yang kontroversial seperti putusan mengenai Undang-Undang Cipta Kerja, serta putusan mengenai syarat calon presiden dan wakil presiden yang memungkinkan Gibran Rakabuming dicalonkan sebagai
wakil presiden.
Ketentuan semacam itu bermasalah dalam dua hal. Pertama, ketentuan itu justru melanggar prinsip dalam undang-undang tentang pembentukan peraturan perundangundangan mengenai ketentuan peralihan. Undang-undang itu menyebutkan ketentuan peralihan justru harus memuat penyesuaian pengaturan yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan, sedangkan ketentuan itu akan memberikan dampak buruk bagi hakim yang akan dievaluasi.
Kedua, dengan adanya ketentuan itu, ketika lembaga pemilih hakim, yaitu DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung, seakan-akan dapat melalukan evaluasi hakim. Padahal, justru di sinilah titik penting kemandirian kekuasaan kehakiman. Dalam bangunan mengenai kemandirian kekuasaan kehakiman, ‘mengancam’ hakim melalui pencopotan di tengah masa jabatan oleh lembaga politik berdasarkan putusannya ialah bentuk ancaman terhadap kemandirian kekuasaan kehakiman.
Ketentuan semacam itu bertentangan dengan Butir 20-21 Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region dan The Bangalore Principles of Judicial Conduct. Poin pertama The Bangalore Principles of Judicial Conduct, yaitu nilai independensi, menyatakan bahwa independensi peradilan adalah syarat utama prinsip negara hukum atau rule of law dan harus dipahami dalam konteks individual ataupun institusional.
Prinsipnya, hakim harus mempunyai ruang yang bebas dari intervensi politik yang dapat membuat politikus mengontrolnya. Ancaman untuk mengganti hakim di tengah masa jabatannya, bisa membuat hakim ragu bila putusannya tidak menguntungkan lembaga yang memilihnya. Putusan hakim semata harus ditentukan penalaran hukum (legal reasoning) hakim, serta keyakinannya atas kebenaran berdasarkan buktibukti dan argumen para pihak.
Sebagai pengemban amanah, tentu hakim tetap bisa dievaluasi karena itu ada lembaga penegakan kode etik dan perilaku hakim. Hakim bisa diberhentikan atas dasar pelanggaran etik dan tentu saja pelanggaran hukum, seperti korupsi, yang sudah terjadi pada dua hakim MK: Patrialis Akbar dan Akil Mochtar. Namun, model evaluasi hakim oleh lembaga politik jelas merupakan bentuk intervensi.
Tidak etis dalam masa transisi
Apa yang terjadi di Mahkamah Konstitusi belakangan ini dengan adanya Majelis Kehormatan yang telah memecat Anwar Usman sebagai Ketua MK, memang membuat kita harus memikirkan berbagai lengkah pembaruan MK. Namun, langkah itu harus dilakukan tidak dengan terburu-buru
dan jelas tidak bisa dilakukan hanya dengan mengutak-atik masa jabatan hakim.
Mahkamah Konstitusi membutuhkan perbaikan dalam hal metode dan pendekatan, dalam pemilihan hakim oleh ketiga lembaga pemilihnya. Begitu pula harus ada institusi yang bisa secara efektif melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim serta staf MK. Begitu pula hukum acara Mahkamah Konstitusi yang selama ini diatur dalam peraturan Mahkamah Konstitusi, harus diatur dengan lebih baik dalam undang-undang.
Perlu diingat, draf revisi yang saat ini dibahas justru sama sekali tidak memasukkan hal-hal tersebut. Alih-alih memperbaiki MK, revisi pada saat ini hanya akan membuka jalan intervensi MK oleh politikus. Apalagi, MK tahun depan akan menangani sengketa hasil pemilihan anggota legislatif, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah. Ada kepentingan jangka pendek partai-partai politik untuk mengubah komposisi hakim.
Padahal, justru saat ini DPR dan pemerintah tidak boleh merevisi UU Mahkamah Konstitusi ini. Secara etis, berdasarkan nilai-nilai konstitusionalisme, pembuat undang-undang tidak boleh melakukan perubahan yang berdampak signifikan pada ketatanegaraan pada masa transisi pemerintahan (lame duck period). Apalagi, saat ini pemerintah dan DPR sedang direpotkan oleh urusan pemilihan umum. Perlu pula diingat, proses pembahasan revisi UU Mahkamah Konstitusi ini tidak membuka ruang partisipasi publik. Tak banyak yang mengetahui proses pembahasan
itu karena dilakukan dalam ruang tertutup.
Memang banyak hal yang harus dievaluasi untuk memperbaiki Mahkamah Konstitusi. Justru karena itulah, perubahan undangundang tidak boleh dilakukan dengan terburu-buru, apalagi terlihat jelas diwarnai oleh kepentingan jangka pendek pembentuk undang-undang. Ruang kontrol lembaga yudikatif terhadap kekuasaan tidak boleh dipersempit. Adanya kekuasaan kehakiman yang independen ialah pembeda utama antara sebuah negara demokratis dan negara yang otoriter.