Memisahkan antara urusan publik dan urusan privat adalah tugas penting dalam sebuah republik. Sebab prinsipnya, bangunan negara republik bertumpu pada gagasan bahwa negara adalah milik seluruh warga, bukan hanya raja dan kaum bangsawan. Dalam republik, penguasa tidak boleh lagi mengandaikan dirinya sebagai raja yang negara dan warga negara sebagai subyek yang tunduk pada segala kemauannya. Justru berkebalikan, begitu seseorang menjadi pejabat dalam negara, maka segala perilakunya harus bisa dipertanggungjawabkan kepada warga negara.
Pejabat sebenarnya menerima mandat dari warga untuk menyelenggarakan negara untuk kepentingan warga: kesejahteraan, kebahagiaan. Dalam bentuk yang lebih nyata: penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak-hak warga, yang tidak hanya berupa prinsip universal tetapi juga dituangkan dengan jelas dalam konstitusi. Misalnya: hak atas pendidikan, hak atas lingkungan hidup yang sehat, dan hak atas kesehatan.
Jangan lupa, sumbangan sekian juta rumah atau lahan oleh pengusaha harus dihitung dari kacamata pengusaha: apa yang akan ia dapatkan dari pemberian itu?
Sebaliknya, pembiayaan urusan publik juga tidak boleh dilakukan secara privat tanpa kejelasan skema administrasi. Jangan lupa, menyelenggarakan negara adalah juga soal mengelola sumber daya negara itu: alam, manusia, uang, dan segala sesuatu dalam konteks ekonomi politik. Jangan lupa, sumbangan sekian juta rumah atau lahan oleh pengusaha harus dihitung dari kacamata pengusaha: apa yang akan ia dapatkan dari pemberian itu? Apa yang dijanjikan oleh pemerintah sehingga pengusaha bisa membalik semua prinsip ekonomi sehingga rela merugi untuk tujuan publik. Padahal, penguasa memang tak dituntut melayani publik. Mereka ada di wilayah privat.
Kalaupun ada ”sumbangan” yang ingin diberikan, sumbangan itu harus dibuat terang, apa, mengapa, bagaimana, dan apakah patut dilakukan dalam kondisi saat itu. Sumbangan melegenda yang diberikan warga Aceh pada masa awal kemerdekaan Indonesia, misalnya, dilakukan pada saat yang tepat dalam kondisi ekonomi yang sulit. Dalam kondisi sekarang, kesulitan ekonomi memang tampak bagi kehidupan sebagian warga, tetapi penuhnya pusat-pusat perbelanjaan oleh sebagian warga dan banyaknya pejabat negara berfasilitas fantastis dan sama sekali tak menggambarkan keprihatinan yang sama.
Prinsipnya, pejabat pemerintahan wajib bertindak sesuai dengan kewenangannya. Ia tidak boleh mengasumsikan begitu saja, apa yang menjadi kewenangannya, bahkan ketika asumsinya itu mungkin dilandasi tujuan baik. Prinsip-prinsip ini sebenarnya sudah dituangkan dengan cukup lengkap dalam peraturan perundang-undangan, terutama undang-undang tentang administrasi pemerintahan. Maka, bantuan sosial, seharusnya hanya diberikan dengan anggaran yang sudah dialokasikan untuk Kementerian Sosial dan pertemuan kabinet, pelatihan menteri-menteri, dan acara kementerian, tidak boleh dibiayai dari dana pribadi pejabat ataupun pengusaha.
Padahal, kalau memang ada tujuan baik untuk menyejahterakan, silakan gunakan kewenangan itu untuk membuat kebijakan tentang kesejahteraan, yang sifatnya lebih berkelanjutan. Bukankah memang itu tujuan wewenang penyelenggara negara? Buatlah, misalnya, skema ketenagakerjaan yang lebih adil, upah yang layak bagi kemanusiaan, dan jaminan sosial. Jangan sampai terjadi, seakan-akan kemiskinan dibiarkan secara struktural agar pahlawan-pahlawan pembagi sumbangan datang di saat tertentu membagikan bantuan sosial untuk tujuan elektoral.
Kita berhak, bahkan harus menuntut, pertanggungjawaban dari setiap sen yang digunakan oleh pejabat.
Bagian penting dari mengikis nilai-nilai feodalisme adalah untuk lebih tajam membedakan sifat kepublikan dari jabatan politik. Esensi jabatan dalam negara adalah untuk melayani warga, bukan untuk status seseorang yang menjadi pejabat. Bahkan, semua gaji dan fasilitas yang untuk para penyelenggara berasal dari pajak warga, dan pengusahaan sumber-sumber daya alam, yang dimiliki oleh seluruh warga. Maka, kita berhak, bahkan harus menuntut, pertanggungjawaban dari setiap sen yang digunakan oleh pejabat. Republik adalah milik warga, bukan milik keluarga dan kroni.
Sumber: https://www.kompas.id/artikel/urusan-publik-dalam-republik