Semua mata saat ini tertuju pada kasus Ferdy Sambo di pengadilan. Kemarahan, kesedihan, kebohongan bertaburan bersama dengan spekulasi soal buku hitam dan jaringan perjudian serta narkoba. Hal yang harus kita cemaskan, taburan-taburan persoalan itu nantinya seakan-akan selesai dengan vonis pengadilan.
Beberapa waktu lalu, saat Presiden Joko Widodo memanggil pejabat-pejabat kepolisian, ada perintah untuk tidak menampilkan kemewahan. Namun, soal intinya tidak disentuh: bagaimana kemewahan itu didapatkan? Akibatnya, merek mobil yang berseliweran di kantor-kantor polisi berubah, tetapi pertanyaannya, apakah perilaku dan cara penegakan hukum akan ikut berubah?
Di balik soal baju, jam tangan, dan mobil mewah sesungguhnya bersemayam persoalan-persoalan akut tentang institusi penegakan hukum yang nyatanya membutuhkan banyak perbaikan.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan yang juga Ketua Komisi Kepolisian Nasional Mahfud MD sudah mengungkapkan sesuatu yang selama ini ditakutkan masyarakat untuk disampaikan adalah ketika masyarakat melaporkan tindakan pelanggaran oleh anggota kepolisian. Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo juga sudah menyatakan secara terbuka untuk menghilangkan budaya setoran dari bawahan ke atasan dalam tubuh kepolisian.
Ada potongan-potongan puzzle yang sudah tampak secara formal karena sudah dibicarakan secara terbuka oleh aktor politik formal. Isu-isu ini sebenarnya sudah lama dibicarakan masyarakat, tetapi dengan kehati-hatian ekstra karena khawatir mendapat tekanan balik. Bukan apa-apa, yang dibicarakan adalah institusi yang begitu kuat karena memegang kekuasaan yang sangat besar dalam penegakan hukum. Adagium yang mengatakan hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas bisa dikatakan tergambar dari bagaimana hukum ditegakkan oleh penegaknya.
Di Georgia, salah satu negara pecahan Uni Soviet, pada 2004, sebanyak 30.000 polisi dipecat untuk memulai reformasi kepolisian. Tentu konteks Indonesia sangat berbeda dengan negara-negara lain. Langkah sedrastis itu barangkali tak perlu sampai dilakukan, tetapi ada satu bacaan penting dari Georgia yang bisa kita ambil: perlu ada ”titik nol” bagi reformasi kepolisian.
Reformasi ini harus berdasarkan pada fakta atau masalah yang nyata terjadi di lingkungan aparat penegak hukum tersebut, bukan pada citra kepolisian yang tergambar dari pameran kemewahan.
Langkah reformasi harus didasarkan pada masalah nyata, bukan persepsi. Karena, kalau hanya persepsi, ujungnya hanya pencitraan, bukan menyelesaikan masalah nyata.
Hal yang tak boleh dilupakan, tak semua persoalan kepolisian bisa ditimpakan pada institusi itu sendiri. Cukup banyak institusi lain yang menikmati kekuasaan yang besar ini, dengan menciptakan hubungan saling menguntungkan (simbiosis mutualisme). Mulai dari pengusaha, investor yang ingin menggusur masyarakat dari tanahnya, sampai politisi yang mempunyai kepentingan ekonomi dan politik.
Tim independen
Pembaruan kepolisian seharusnya dilakukan oleh tim independen karena reformasi Polri bertujuan membongkar relasi kuasa yang hingga kini masih bercokol. Tim yang independen ini harus lepas dari kepolisian itu sendiri dan lepas juga dari kalangan akademisi serta aktivis dan politisi yang dekat dengan kepolisian. Apabila titik nol dengan membuat tim independen ini tak diciptakan, niscaya jalan keluar yang ditawarkan akan kembali pada soal-soal di permukaan karena faktor waktu dan banyaknya isu yang beredar akan mudah memudarkan ingatan kita akan problem-problem yang hari-hari ini mengisi ruang diskusi.
Sudah tak kurang banyaknya usulan tentang pembaruan kepolisian, bahkan sejak reformasi 1998 dimulai. Usulan ini tak tuntas dilaksanakan. Kita mendapatkan ketegasan konstitusional tentang pemisahan Polri dan TNI, tetapi belum ada perubahan dalam hal perbaikan institusional, terutama yang terkait dengan evaluasi kewenangan, sistem pengawasan, dan jati diri Polri yang cenderung tetap berkarakter militeristik (Bambang Widodo Umar, 2008). Tugas konstitusional kepolisian adalah keamanan, tetapi keamanan yang dijaga cenderung pada keamanan penguasa dan pengusaha, bukan rakyat biasa.
Namun, tugas konstitusional ini pun melebar sampai ke soal-soal administratif, seperti penerbitan surat-surat kendaraan, yang di banyak negara lain dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Begitu pula wewenang dalam penegakan hukum yang masih terlepas dari proses penuntutan yang dilakukan oleh kejaksaan perlu ditinjau kembali.
Banyaknya kajian yang sudah ada akan memudahkan analisis awal pembaruan kepolisian, dalam hal akademik. Namun, kita paham, soalnya tidak hanya analisis dan solusi kebijakan, tetapi tantangan politik karena begitu banyak yang juga merasa nyaman dengan situasi yang ada sekarang.
Untuk itu, ketegasan presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan sekali lagi dibutuhkan. Ini tentu tak mudah dilaksanakan dalam tahun-tahun politik seperti saat ini. Namun, gagasan tentang titik nol pembaruan kepolisian tidak boleh pudar dari perbincangan.
Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/26/titik-nol-pembaruan-kepolisian