Kita mungkin sudah terlalu sering mendengar ungkapan bahwa hukum selalu tertinggal dibanding teknologi. Teknologi digambarkan selalu melesat maju dan cepat berkembang, sementara hukum seperti juru parkir kesiangan yang muncul tergopoh-gopoh mengejar dari belakang dan berusaha mengatur. Hubungan hukum dan teknologi sering digambarkan seperti hubungan Tom & Jerry. Penuh adegan kejar-kejaran yang konyol, dan jadi tontonan lintas generasi.
Secara teori sebenarnya ada diskusi yang cukup rumit soal hubungan hukum dan teknologi. Benarkah hukum perlu merespon dan berubah dalam menghadapi teknologi baru? Seberapa besar pengaruh teknologi baru dalam memaksa hukum untuk menyesuaikan dan berubah?
Ada contoh pertanyaan menarik yang digunakan oleh Meg Leta Jones (2017) dalam pengantar tulisannya: apakah mobil tanpa pengemudi (driverless cars) adalah suatu hal baru? Seberapa baru? Apakah perlu pendekatan hukum atau peraturan baru? Kalau baru, tentu jawabannya bisa iya. Kalau ternyata bukan hal baru, jawabannya tentu bisa tidak.
Pertanyaan sederhana itu ternyata rumit jawabannya. Sekilas tentu kita bisa mudah menjawab bahwa mobil tanpa pengemudi jelaslah merupakan suatu hal yang baru. Tapi kemudian, kita bisa saja langsung ragu soal kebaruan itu, ketika diminta menjelaskan apa hal yang baru tentang itu secara hukum? Bukankah pada dasarnya dari kacamata hukum semua mobil, terlepas ada tidaknya sang pengemudi, adalah alat transportasi biasa saja? Pertanyaan bisa saja berlanjut, misalnya: apakah karena mobil itu tak berpengemudi, lantas tidak ada yang bisa diminta pertanggungjawaban bila terjadi kecelakaan?
Diskusi itu dikenal dengan diskusi tentang technological exceptionalism. Sederhananya, diskusi Technological Exceptionalism ini membahas soal seberapa berpengaruh suatu teknologi yang baru muncul terhadap kebutuhan adanya hukum baru. Diskusi soal technological exceptionalism ini sempat marak didiskusikan dalam pembahasan mengenai hukum siber (cyberlaw) di tahun 90an.
Ada suatu pertanyaan, apakah ranah siber sedemikian istimewanya sehingga perlu pengaturan dan instrumen hukum khusus? Hal ini dikenal sebagai debat “the law of the horse”, yang berangkat dari analogi terkenal dari Frank H. Easterbrook (1996) yang mengandaikan bahwa pembahasan mengenai hukum siber sebenarnya tak lebih, atau sama saja dengan pembahasan tentang hukum kuda. Diskusi itu kemudian ditanggapi oleh Lawrence Lessig (1999), dan terus bergulir dan berkembang lintas bidang hukum, teknologi, dan kemasyarakatan.
Lalu bagaimana dengan perkembangannya di Indonesia? Bagaimana sebaiknya strategi pembentukan hukum di Indonesia dalam merespon kemunculan teknologi baru? Tulisan sederhana ini adalah sekadar upaya kecil memantik diskusi tentang hukum, teknologi, masyarakat, dan perkembangannya di Indonesia. Tulisan ini dibuat dalam rangka perayaan ulang tahun Hukumonline ke-20. Karena Penulis merupakan bagian dari organisasi pendiri Hukumonline, maka bias dan subyektivitas dalam bagian yang membahas tentang Hukumonline pasti ada, dan bisa dinilai sendiri oleh sidang pembaca.
Benahi Fondasi
Tentu jelas bahwa judul tulisan ini mengambil dari peribahasa Indonesia yang lengkapnya: takkan lari gunung dikejar, hilang kabut tampaklah dia. Arti peribahasa ini kurang lebih adalah bahwa janganlah kita tergesa-gesa mengejar sesuatu yang telah pasti. Perkembangan teknologi pasti terjadi. Sebelum pontang-panting coba mengatur teknologi baru, hukum sebaiknya berbenah diri dulu.
Kita perlu melakukan pembenahan sistematis terhadap berbagai hal mendasar dalam hukum kita. Sebelum bongkar pasang peraturan untuk merespon munculnya teknologi baru, ada baiknya kita tilik dulu seberapa jelas dan kuatnya fondasi dasar hukum yang tersedia untuk merespon teknologi tersebut. Jangan dulu kita pusingkan diri dengan hal-hal yang terkesan canggih dan rumit, sebelum kita periksa dasar-dasarnya.
Sekadar contoh, sebelum panjang kita berdebat soal apakah robot dengan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) bisa dimintai pertanggungjawaban hukum atau tidak, ada baiknya kita periksa dulu pengaturan tentang subyek hukum yang ada. Apakah persoalan subyek hukum (baik natuurlijk persoon maupun rechtspersoon) dalam KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek) ataupun KUH Pidana (Wetboek van Straftrecht), keduanya berusia lebih dari seratus tahun, sudah cukup diatur dengan jelas untuk menjawab tantangan terkini?
Penilikan yang sama juga perlu kita lakukan misalnya dalam hal kemeriahan e-commerce. Transaksi lintas batas yang menerabas soal wilayah dan kewarganegaraan ini jelas memerlukan kerangka hukum yang mendukung. Perlu diperiksa misalnya, apakah pengaturan Hukum Perdata Internasional kita (pengaturan utamanya masih diatur dengan Pasal 16, 17 dan 18 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands-Indie (AB) Staatsblad 1847 No 23 tahun 1847), masih bisa menjawab permasalahan yang timbul saat ini?
Ajakan pemeriksaan ulang ini tentunya bukan dalam rangka sekedar anti peraturan usang ataupun buatan asing. Tentu masih banyak contoh-contoh lainnya. Tapi pemeriksaan menyeluruh memang diperlukan, agar kita tidak sering kaget dan reaksioner membuat peraturan baru tiap ada teknologi baru. Penulis tentu menyadari bahwa sudah ada berbagai upaya, dari para pemangku kepentingan termasuk pemerintah maupun parlemen, untuk melakukan pemeriksaan ini.
Hal lain yang juga perlu diperiksa dan dipersiapkan adalah kesiapan hukum dalam menghadapi berbagai dampak teknologi terhadap perlindungan hak-hak fundamental. Dampak yang paling sering dijadikan contoh ialah dampak teknologi terhadap privacy, misalnya dalam hal perlindungan data pribadi.
Peran Legal-Tech Company
Dalam rangka menjawab tantangan hukum dan teknologi ke depan, ada peran penting yang perlu dilakukan oleh sektor swasta, dalam hal ini termasuk legal-tech companies. Besarnya tantangan dan kebutuhan untuk akses pada pengetahuan dan pemahaman hukum, tidak mungkin dihadapi dan diselesaikan hanya oleh organisasi masyarakat sipil atau oleh pemerintah saja.
Bermacam terobosan dan inovasi baru dari legal-tech companies tentunya sangat dibutuhkan bagi perkembangan hukum di Indonesia. Ada banyak kemudahan di bidang hukum yang dulu seperti mustahil, kini dimungkinkan dengan adanya bantuan teknologi. Tidak terbayangkan di masa lalu, betapa lebih mudahnya akses terhadap informasi hukum (peraturan, putusan dan lain-lain) di masa sekarang ini.
Hukumonline lahir dua puluh tahun lalu dengan semangat untuk membuka akses informasi hukum seluas mungkin. Sebagai perusahaan yang juga memosisikan diri sebagai legal-tech company, Hukumonline selalu mengupayakan terobosan teknologi yang kreatif dalam berbagai proses dan hasil kerjanya.
Sebagai perintis dan penyambung bagi dunia praktisi, pembentuk kebijakan, dan publik, Hukumonline memegang kunci penting dalam arus perubahan hukum di Indonesia. Peran Hukumonline dalam menyediakan database peraturan dan putusan, menjawab pertanyaan hukum dari masyarakat melalui klinik hukum, penulisan berita hukum, dan berbagai terobosan lainnya benar-benar mewarnai perkembangan hukum negeri ini.
Kini Hukumonline telah menjadi suatu legal-tech company yang punya peran dan kotribusi penting terhadap perubahan hukum di Indonesia. Tentu masih ada banyak tantangan bagi Hukumonline, terutama dalam menghadapi tantangan perubahan hukum dan teknologi di masa mendatang. Semoga dengan kerja keras dan dukungan berbagai pihak, Hukumonline bisa menjawab tantangan itu dengan baik.
Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f0bbdf65992f/takkan-lari-teknologi-dikejar-oleh–eryanto-nugroho