preloader

Survei dan Pemerintahan Populis

Apakah survei kepuasan publik mencerminkan keberhasilan pemerintahan? Pertanyaan ini muncul setelah Litbang Kompas mengungkapkan hasil survei opini publik mengenai kepuasan pada kinerja pemerintahan pada 20 Januari 2025. Pasalnya, survei itu menunjukkan angka kepuasan yang sangat tinggi, yaitu 80,9 persen. Padahal, di sisi lainnya, sehari-harinya kita membaca di berbagai media massa dan media sosial, berbagai cerita dari lapangan dan analisis tentang pemerintahan yang tidak berpihak pada warga dan nilai-nilai demokrasi. Mulai dari perilaku polisi dalam kasus penembakan Gamma Rizkynata Oktafandy di Semarang, polemik tentang kenaikan pajak pertambahan nilai, sampai dengan kritik tentang program makan bergizi gratis yang dipaksakan dalam situasi ekonomi yang buruk.

Jadi, mana yang benar, kepuasan yang tinggi dalam survei atau cerita naratif dari kejadian faktual di lapangan? Tulisan ini tidak ingin mengajak kita memilih salah satunya, tetapi mendiskusikannya secara kritis. Yang jelas, persentase hasil survei harus dibaca bersamaan dengan metodologinya. Jangan lupa, survei dilakukan pada waktu tertentu (4-10 Januari 2025) dan dengan bentuk pertanyaan yang mungkin akan menimbulkan persepsi berbeda pada sekelompok orang yang dipilih secara acak. Survei menangkap persepsi tentang kepuasan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ’persepsi’ bermakna: tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu.

Tetapi terlepas dari hasil survei, kita harus membongkar dulu: apa itu keberhasilan suatu pemerintahan? Tentu, skor survei tidak bisa menjadi ukuran keberhasilan. Pemerintah harus diukur dari tugas konstitusionalnya, yaitu penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak-hak konstitusional warga, dengan tujuan kesejahteraan, kecerdasan, serta keadilan sosial, seperti tertulis dalam Pembukaan UUD 1945. Dan tentu saja, 100 hari tak cukup untuk mengevaluasi tugas konstitusional. Namun masalah muncul ketika pandangan warga kebanyakan dianggap sebagai representasi keberhasilan.

Pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis di Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (13/1/2025). Program ini sudah menjangkau 21.271 pelajar di tingkat TK, SD hingga SMP.

PEMKOT BANDUNG
Pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis di Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (13/1/2025). Program ini sudah menjangkau 21.271 pelajar di tingkat TK, SD hingga SMP.

Sebenarnya banyak pertanyaan kualitatif yang harus kita ajukan untuk mengevaluasi pemerintahan. Apakah program pemerintah yang dijadikan ukuran evaluasi sekadar diukur dari ada atau tidaknya atau proses dan dampaknya? Apakah kerja-kerja yang dilakukan oleh pemerintah benar berdampak pada banyak orang atau segelintir orang yang dekat dengan pemerintahan? Apakah kerja-kerja itu berkelanjutan atau hanya untuk unjuk keberhasilan?

Semuanya pertanyaan di atas mungkin terdengar teknokratis, tetapi pemerintahan memang bukan hanya politis, melainkan juga teknokratik. Untuk bisa berdampak pada publik, politik harus diturunkan menjadi soal-soal teknis tata pemerintahan. Misalnya, apakah ada pemerataan pendidikan yang berkualitas, bagaimana mencegah dan mengatasi perusakan lingkungan, dan lain sebagainya. Politik adalah lanskapnya, tetapi pemerintahan membuat kebijakan-kebijakan, kebijakan kemudian diturunkan menjadi program, lantas proyek. Keseluruhan proses itu harus dilakukan dengan prinsip-prinsip partisipasi, transparansi, dan akuntabel. Tidak asal dibuat, apalagi hanya diumumkan di media sosial.

” Bila pemerintahan hanya dilihat dari ukuran politik, yang terjadi adalah populisme. “

Bila pemerintahan hanya dilihat dari ukuran politik, yang terjadi adalah populisme. Populisme dalam konteks politik, sederhananya adalah saat seseorang menggunakan strategi yang seakan pro-rakyat (populer) untuk mendapat dukungan politik, tetapi sebenarnya ia tidak sedang benar-benar menyelesaikan masalah-masalah mendasar yang dibutuhkan, melainkan hanya di permukaan, untuk meraih sokongan. Salah satu ciri populisme yang digambarkan oleh Francis Fukuyama (2017) adalah banyaknya kebijakan yang terdengar populer walaupun dipaksakan dan justru berpotensi menimbulkan guncangan pada soal-soal yang fundamental seperti anggaran dan korupsi. Populisme, ujar Fukuyama, juga akan cenderung mempunyai konsep yang sempit tentang siapa itu populasi yang pemerintah layani. Maka bisa saja muncul narasi nasionalisme sempit, yang anti-asing atau menganggap etnis tertentu bukan bagian dari populasi. Pemerintahan yang populis juga akan menyempitkan kritik. Dalam konteks saat ini, pendengung di media sosial menjadi cara yang efektif.

Ilustrasi

Ilustrasi

Pemerintahan populis justru akan mendapatkan dukungan dalam model-model survei kepuasan. Bukan karena metodologi survei, melainkan begitulah paradigma yang dibangun dalam menjalankan pemerintahan. Resep jitu untuk meraih popularitas adalah: membuat kebijakan populis, mewartakannya dengan gegap gempita, sembari membungkam narasi perlawanan. Jika perlu, rekrut pula pendengung dan tukang kritik untuk masuk dalam pemerintahan.

Inilah kecenderungan-kecenderungan yang sudah tercatat dalam banyak penelitian tentang populisme di berbagai negara. Pelantikan Donald Trump 20 Januari 2025 kemarin, kembali memunculkan diskusi tentang populisme ini. Namun bisa jadi, kita juga tengah melihat gejala-gejala yang mirip dalam 100 hari ini.

Dipublikasikan oleh:

Bivitri Susanti

Bivitri Susanti merupakan pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera. Ia pernah menjadi menjadi research fellow di Harvard Kennedy School of Government pada 2013-2014, visiting fellow di Australian National University School of Regulation and Global Governance pada 2016, dan visiting professor di University of Tokyo, Jepang pada 2018.