Sindiran para pegiat seni Jogja yang menyelenggarakan “Lomba Mural Dibungkam” perlu diapresiasi. Lomba ini unik, karena akan memberikan nilai lebih untuk karya yang dihapus aparat. Lomba ini merupakan bentuk protes para pegiat seni atas penghapusan beberapa mural dengan muatan pesan seperti “Tuhan Aku Lapar”, “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit”, atau “404: Not Found”. Selain dihapus, polisi bahkan memburu pembuat mural “404: Not Found”, dan ada orang yang “diamankan” untuk kemudian minta maaf di kantor polisi karena menawarkan kaus bergambar mural tersebut di media sosial.
Awalnya polisi beralasan bahwa mural itu diindikasikan menghina Presiden Jokowi, dan perlu diproses karena (menurut polisi) presiden adalah lambang negara. Belakangan polisi menyatakan bahwa kasus ini untuk sementara tidak diproses, dan bahwa mural tersebut merupakan bentuk ekspresi seni. Kabareskrim Komjen Agus Andrianto menyampaikan bahwa Presiden Jokowi tidak berkenan polisi responsif menindak kritik yang disampaikan lewat ekspresi seni seperti mural.
Penghentian proses ini tentu melegakan, tapi tetap menyisakan ganjalan. Jaminan kebebasan berekspresi tidak bisa digantungkan pada rasa berkenan atau tidak dari seseorang. Tanpa ada pembenahan mendasar, kasus pembungkaman ekspresi seni sangat mungkin berulang terus.
Terlebih lagi, bibit rasa takut sudah terlanjur muncul. Sebagian media yang menulis berita soal ini menuliskannya sebagai “mural mirip Jokowi”, “bergambar mirip Presiden Jokowi”, atau “sosok yang diduga mirip Presiden Jokowi”. Terkesan ada rasa takut di balik penulisan itu. Seolah-olah, demi rasa aman, kita semua diajak untuk ragu dan membuka kemungkinan bahwa bisa saja mural itu bermaksud menggambar wajah orang selain Presiden Jokowi.
Kita tentu tak ingin presiden di Indonesia menjadi sosok yang menakutkan. Presiden tidaklah boleh jadi sosok he/she who must not be named, di mana orang bisa takut bahkan untuk menyebut nama atau menggambar wajahnya. Kita pernah mengalaminya di masa Orde Baru, dan bersama kita harus menjaga agar tak kembali ke situasi itu.
Dalam dunia seni jalanan (street art), para pegiat seni mural sebenarnya sudah biasa dengan pola bergantian saling menimpa karya, karena menyadari bahwa kanvas mereka berupa tembok milik bersama. Pegiat seni mural juga sudah biasa berurusan dengan penghapusan mural oleh aparat ketertiban-kebersihan dari pengelola kota. Namun penghapusan mural dengan tambahan pembuatnya diburu polisi, dan sampai ada orang yang minta maaf di kantor polisi karena menawarkan kaus hasil sablonan, jelas lebih dari sekadar urusan kebersihan tembok kota.
Menyuarakan Protes
Lintasan sejarah dunia mencatat, bagaimana seni bisa menyuarakan protes dan menggerakkan perubahan. Pegiat seni memantulkan realita kehidupan di sekitarnya, untuk kemudian diwujudkan jadi ekspresi seni yang bisa menggerakkan orang lain. Seni dan pegiat seni tak bisa dipisahkan dari kegelisahan dan rasa peduli yang ada di masyarakat. Sebagaimana pernah dikatakan WS Rendra dalam Sajak Sebatang Lisong (1977): “…apalah artinya renda-renda kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan”.
Misalnya, lewat lukisan Guernica (1937), Pablo Picasso memprotes brutalitas perang dan fasisme ketika terjadi pengeboman kota Guernica di Spanyol tanah kelahirannya. Raden Saleh memperbesar proporsi kepala Letjen De Kock dan para perwiranya dalam lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857), yang menurut para ahli merupakan bentuk protes Raden Saleh pada kesombongan dan penindasan kolonialisme Belanda.
Penguasa otoriter pastinya anti-kebebasan, dan takut pada protes yang disuarakan melalui ekspresi seni. Penguasa otoriter cenderung membatasi seni dan pegiat seni, hingga hanya boleh berperan seperti dalam kisah dongeng raja-ratu lalim: jadi badut yang bertugas melucu saat raja sedih, atau menyanyi-menari menghibur para bangsawan saat pesta.
Di Indonesia, hubungan antara seni dan suara protes punya jejak lumayan panjang. Seni sudah teruji dan terbukti tangguh untuk jadi jalan perlawanan atas ketidakadilan. Di masa Orde Baru misalnya, ada karya puisi Wiji Thukul, lagu Iwan Fals, atau lakon Teater Koma yang bisa jadi contoh ekspresi seni yang menyuarakan protes dengan caranya masing-masing.
Kita semua berutang pada beragam protes yang telah membawa umat manusia ke kondisi yang lebih baik. Indonesia bisa merdeka salah satunya karena ada protes, berbagai rezim otoriter bisa jatuh karena protes. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menjaga ruang protes ini, termasuk protes yang disuarakan lewat ekspresi seni.
Kebebasan Artistik
Hukum sebenarnya tak bisa dilepaskan dari kebebasan. Masalahnya, masih banyak salah kaprah yang menyempitkan hukum sekadar jadi alat untuk membatasi, melarang, atau memberi sanksi demi ketertiban. Pemujaan berlebihan pada efektivitas larangan, sanksi pidana, maupun efek jera, sering menempatkan hukum seolah selalu berseberangan dengan kebebasan.
Lebih dari 300 tahun lalu, John Locke menuliskan pandangannya soal hubungan antara hukum dan kebebasan: “What law is for is not to abolish or restrain freedom, but to preserve and enlarge it; for in all the states of created beings who are capable of laws, where there is no law there is no freedom.” (Second Treatise on Government, 1689). Kutipan ini penuh makna dan perlu didiskusikan mendalam pada kesempatan lain di luar tulisan sederhana ini. Hukum bukan untuk membatasi kebebasan, melainkan untuk melestarikan (to preserve) dan memperbesarnya (to enlarge). Jika kita sepakat dengan pandangan Locke ini, maka kita akan bisa memandang hukum, seperti juga seni, sebagai karib dari kebebasan.
Kebebasan artistik (artistic freedom) didefinisikan oleh UNESCO sebagai kebebasan untuk berimajinasi, berkarya, dan mendistribusikan ekspresi kebudayaan yang bebas dari sensor pemerintah, campur tangan politik, atau tekanan aktor non-negara (non-state actors). Pengaturan terkait kebebasan artistik ada di Universal Declaration of Human Rights, International Covenant on Civil and Political Rights (diratifikasi UU No.12 Tahun 2005), International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (diratifikasi UU No.11 Tahun 2005), dan dalam konstitusi kita UUD 1945. Pasal 28C UUD 1945 mengatur antara lain tentang hak untuk memperoleh manfaat dari seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidup dan demi kesejahteraan umat manusia.
Persinggungan antara hukum dan kebebasan artistik, biasanya mulai bermasalah ketika membahas soal pembatasan. Perlu diingat, kebebasan artistik merupakan bagian dari kebebasan berekspresi (freedom of expression) yang merupakan hak yang bisa dikurangi (derogable right). Bagaimana misalnya, jika ada propaganda kebencian yang dibuat dan disebarkan seolah-olah sebagai karya seni? Apa batasannya?
Pasal 19 (3) International Covenant on Civil and Political Rights membolehkan pembatasan ekspresi artistik. Pembatasan ini dibolehkan hanya dalam hal telah diatur undang-undang (provided by law) dan sepanjang dipandang perlu: 1) Untuk menghormati hak atau reputasi orang lain, dan 2) Untuk melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum, atau kesehatan publik atau moral publik. Bisa diduga, kerumitan lanjutan akan muncul ketika membahas rincian unsur-unsur ini. Misalnya, soal apa yang dimaksud dengan melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan publik, atau moral publik.
Mendung Kebebasan
Secara umum, situasi ruang kebebasan sipil di dunia memang tidak baik. Laporan CIVICUS Monitor tahun 2021 menunjukkan bahwa dari 196 negara yang dipantau, hanya 3,4% negara yang kebebasan sipilnya masuk kategori terbuka (open). Sementara 9,3% menyempit (narrowed), 18,3% terhambat (obstructed), 43,6% tertekan (repressed), dan 18,1% tertutup (closed). Untuk Indonesia, laporan Freedom House tahun 2021 masih menempatkan Indonesia dalam status “Partly Free”.
Tak berbeda, situasi kebebasan artistik dunia juga mendung. Freemuse, sebuah organisasi yag memiliki consultative status dengan UNESCO, melaporkan bahwa di tahun 2020 ada 17 pegiat seni dibunuh (killed), 82 dipenjara (imprisoned), 133 ditahan (detained), 107 dituntut (prosecuted). Laporan itu juga menunjukkan, bahwa dari 82 pegiat seni yang dipenjara (tersebar di 20 negara) itu, 74%-nya karena mengkritik pemerintah. Sementara untuk membaca situasi kebebasan artistik di Indonesia, bisa dilihat dari laporan studi Koalisi Seni tentang kebebasan artistik di Indonesia (Gumay et al., 2020). Laporan ini memaparkan temuannya tentang 84 pelanggaran kebebasan artistik dalam 45 kasus yang terpisah pada periode 2010-2020 di Indonesia.
Melihat situasi di atas, nampaknya perlindungan kebebasan artistik di Indonesia belum akan bisa cepat membaik dalam waktu dekat. Penghapusan beberapa mural yang terjadi baru-baru ini, sepertinya belum akan jadi pembungkaman ekspresi seni yang terakhir di Indonesia. Ada banyak hal mendasar yang masih perlu diperbaiki. Terlebih lagi, kebijakan pidana kita masih belum cukup melindungi Hak Asasi Manusia. Kebebasan berekspresi kita, yang tentunya termasuk di dalamnya kebebasan artistik, masih berada dalam ancaman jeratan pidana yang bertebaran dalam pasal-pasal draconian di UU ITE, pasal makar dan lain sebagainya. Persoalan kebebasan ini sangat mendasar untuk terlebih dahulu dibenahi.
Perlu ada kerangka hukum yang lebih menguatkan kebebasan warga, dengan mengubah atau mencabut berbagai peraturan pengekang kebebasan yang tersebar. Penegakkan hukum perlu dipastikan berjalan dengan proses hukum yang fair, ketika menerapkan batasan atas kebebasan. Perlu ada keberpihakan yang memadai dari pembentuk kebijakan dan penegak hukum kita, dalam penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia. Pada akhirnya, perlu disadari bahwa memperjuangkan kebebasan bukan urusan hukum semata. Sebagaimana dinyatakan dalam salah satu kutipan terkenal Frederick Douglass: “The law on the side of freedom is of great advantage only when there is power to make that law respected”.