Fiat justitia ruat caelum: tegakkan keadilan meskipun langit akan runtuh. Adagium ini dijadikan pegangan utama bagi para penegak hukum dalam upaya memperjuangkan keadilan. Namun, apa yang terjadi apabila justru langit hukum runtuh karena pilar-pilarnya roboh?
Pilar-pilar hukum sedang goyah belakangan ini. Lihat peristiwa hakim konstitusi Aswanto diganti DPR dengan Guntur Hamzah, yang sebelumnya Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi. Penggantian didahului kontroversi karena prosesnya melanggar undang-undang. Berbagai protes dilayangkan, termasuk kepada Presiden agar tidak menandatangani keputusan presiden yang mengesahkan tindakan lancung DPR itu. Namun, Presiden bergeming. Maka, seperti dikatakan anggota DPR sendiri, seorang hakim telah diberhentikan karena putusannya dianggap melawan kehendak pembuat undang-undang.
Begitu ada hakim yang dicopot karena putusannya tidak disukai, sesungguhnya pilar negara hukum runtuh. Sebab, ini bermakna ada kontrol penguasa terhadap yudikatif, dengan mengancam mereka untuk diganti jika putusannya tidak menyenangkan penguasa. Karena itu, di mana pun di dunia, model pemberhentian di tengah masa jabatan ini dilarang keras apabila suatu negara ingin mempunyai kekuasaan kehakiman yang independen.
Berita buruknya, bahkan DPR sudah menyusun revisi UU Mahkamah Konstitusi, yang intinya berisi legalisasi atas tindakan ”meng-Aswanto-kan” hakim. Revisi undang- undang ini, jika Presiden menyetujuinya, akan segera mulai dibahas. Bukan tidak mungkin, tindakan mencopot jabatan yang ditunjuk politisi jika tindakannya tidak sesuai dengan keinginan akan menjadi pola baru dalam hukum tata negara.
Kekuasaan kian menampakkan karakternya yang sewenang-wenang dan tidak beretika. Namun, ini semua sulit dilihat langsung karena dikuatkan dengan produk hukum dan proses politik legal. Ini ciri khas autocratic legalism, yaitu cara pandang mengedepankan legalisme, tetapi dengan karakter otokratis. Fenomena legalisme otokratik biasanya ditandai pelemahan semua lembaga yang mampu mengawasi kekuasaan (Corrales, 2015; Scheppele, 2018).
Tiga institusi demokratis yang berperan mengawasi kekuasaan dilemahkan: Komisi Pemberantasan Korupsi dengan revisi UU KPK, oposisi di DPR dengan menggunakan aturan main berkaitan dengan koalisi, dan masyarakat sipil lewat cara legal dan kekerasan fisik, serta siber. Tersisa satu dan akhirnya tuntas kemarin: lembaga yudikatif.
Dalam fenomena legalisme otokratik, banyak hal berjalan sesuai hukum sehingga seakan-akan benar, tetapi sesungguhnya melanggar prinsip negara hukum dan demokrasi. Berbagai undang-undang dibuat untuk tujuan kekuasaan. Sebut saja UU Cipta Kerja yang terasa dampaknya kini, saat banyak pemecatan dilakukan karena krisis ekonomi, sementara perangkat perlindungan hak-hak pekerja dipangkas.
Ada pula UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang membuat 332 orang dihukum karena menyatakan pendapat mereka pada Januari 2019-Mei 2022 (Amnesty International Indonesia, 2022). Sewaktu dilaksanakan, undang-undang juga dilaksanakan dengan cara pandang kaku (positivistik) sehingga hanya menguntungkan orang-orang yang memiliki akses pada penegakan hukum.
Parahnya, tak hanya legislatif dan eksekutif yang turut campur dalam kemandirian kekuasaan kehakiman. Para hakim juga mencemarkan sendiri profesi mereka. Dua hakim agung menjadi tersangka kasus dugaan korupsi. Kita ingat pula dua hakim konstitusi dihukum karena korupsi, serta perilaku advokat, jaksa, dan polisi kerap dikritik.
Banyak pekerjaan rumah untuk mengatasi persoalan penegakan hukum. Hal ini perlahan menggerogoti pilar- pilar negara hukum, tetapi dapat diselesaikan dengan aksi kelembagaan. Masalah perilaku, misalnya, dapat diatasi dengan penegakan hukum dan etik, sedangkan pencegahannya lewat perbaikan sistem pengawasan, perekrutan, dan pendidikan hukum.
Persoalan berat terletak pada intervensi kekuasaan. Kemandirian kekuasaan kehakiman ibarat tiang utama bangunan negara hukum. Bayangkan banyaknya legislasi ataupun langkah politik yang mungkin inkonstitusional, tetapi Mahkamah Konstitusi tidak lagi berani memutus secara obyektif. Dalam hitungan pragmatis, jangan lupa, Mahkamah Konstitusi akan menyidangkan sengketa hasil Pemilihan Umum 2024.
Jangan sampai fiat justitia ruat caelum berhenti menjadi semboyan dan hanya bisa menjadi bahan tertawaan. Jika tak dilawan, barangkali langit memang akan runtuh dan keadilan tetap tidak tegak.