Belakangan ini hidup terasa mengimpit bagi warga. Kalaupun tak perlu mengantre gas ”melon,” nurani dan kompas moral kita diganggu oleh ketidakadilan yang semakin tampak. Kita sedang menyaksikan gonjang-ganjing anggaran, yang dampaknya langsung terasa bagi publik karena sebagian lembaga yang harus memangkas anggarannya melaksanakan fungsi-fungsi pelayanan publik dasar. Misalnya anggaran Kementerian Pekerjaan Umum yang dipangkas Rp 81,38 triliun dari semula Rp 110,95 triliun, Kementerian Perhubungan yang dipotong sehingga menjadi Rp 17,9 triliun dari Rp31,5 triliun, dan Kementerian Dasar dan Menengah dipangkas sekitar Rp 8 triliun. Dampak yang sudah mulai terasa adalah penghentian subsidi sebagian kendaraan umum dan dihentikannya kontrak sebagian pegawai.
Belakangan, publik justru gusar karena di tengah pemotongan besar-besaran yang mulai terasa dampaknya, justru Kementerian Pertahanan melantik beberapa staf khusus baru, yang tentunya akan membebani anggaran. Yang juga perlu diingat, besarnya kabinet juga menimbulkan beban biaya yang sangat besar. Apalagi setiap pejabat juga meminta keistimewaan berlebihan, seperti pengawalan jalan raya, yang tak hanya mengganggu lalu lintas jalan raya, tetapi juga menggunakan uang publik.
Di wilayah publik, apa pun harus berdasar pada moralitas kepublikan, yaitu pertimbangan untuk kepentingan publik, orang banyak, bukan kepentingan elite ataupun ambisi penguasa. Maka anggaran negara adalah anggaran publik. Ia bukan sekadar deretan angka, melainkan cerminan cara pandang dan nilai-nilai yang tengah digunakan oleh pemerintah. Para ekonom yang menyusun anggaran menerjemahkan apa saja yang diputuskan secara politik. Inilah ”politik anggaran”, yaitu proses politik yang terjadi dalam penentuan dan pengalokasian anggaran publik.
:quality(80):watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2025/02/07/92529b5c-4c74-49c3-8115-5b5cc0f9fd54_jpg.jpg)
Maka patut kita bertanya, apa alasan di balik politik anggaran itu? Apa dasar penentuan prioritas pemerintah? Mengapa anggaran pertahanan dan keamanan dipertahankan, tapi biaya pemeliharaan dan gedung sekolah dikurangi? Mengapa staf khusus bergaji tinggi dan rekam jejak minim dianggap lebih penting daripada guru dan dosen? Apakah alasan yang diberikan bisa diterima dalam cara pandang moralitas publik? Patutkah, misalnya, jika pertahanan diterjemahkan sebagai ketahanan pangan?
Penting pula untuk digali, apakah pembuatan kebijakannya dilakukan sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik? Sebab tak berhenti pada soal anggaran yang akhirnya mencekik, publik juga diimpit oleh kebijakan yang berdampak buruk bagi publik. Harusnya, kerja-kerja pemerintah, berikut anggarannya, dibuat dalam pembentukan kebijakan. Masalah, kebijakan juga kerap hanya dilihat sebagai cara pemerintah bekerja, lagi-lagi tanpa moralitas.
Kebijakan juga harus sedari awal memperhitungkan anggaran untuk mengimplementasikan kebijakan itu dan memperhitungkan dampak dan risiko yang mungkin timbul.
Kebijakan bukan sekadar soal mengeluarkan regulasi atau merevisinya melalui pidato dan unggahan di media sosial. Kebijakan juga harus sedari awal memperhitungkan anggaran untuk mengimplementasikan kebijakan itu dan memperhitungkan dampak dan risiko yang mungkin timbul. Makan Bergizi Gratis (MBG), misalnya, mestinya dilihat bukan hanya sebagai program, apalagi proyek untuk sekadar memenuhi janji kampanye. Program ini mesti dibuat sebagai kebijakan, yang sudah memperhitungkan anggaran serta memastikan tujuan akhir kebijakan ini, yaitu cara negara untuk mewujudkan keadilan sosial bagi anak-anak miskin. Bukan bagi anak-anak yang orangtuanya sebenarnya mampu memberikan makan siang yang layak.
:quality(80):watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2025/02/03/922e0408-72cd-4dde-a021-d7fa52943863_jpg.jpg)
Tak hanya pemprioritasan anggaran dan implementasi kebijakan yang tak jelas. Pengelolaan negara juga diperlakukan bak laboratorium atau tempat uji coba kebijakan. Keterlibatan publik dilihat dari reaksi setelah kebijakan dikeluarkan, bukan dalam mekanisme partisipasi yang bermakna. Kebijakan tentang gas, misalnya, yang sempat menyebabkan kelangkaan elpiji, diubah setelah banyaknya protes dari warga. Sama halnya dengan kenaikan pajak pertambahan nilai yang juga diubah formulanya setelah adanya penolakan besar. Bahkan, kritik juga bisa dibungkam dengan keriuhan pendengung dan pemengaruh di media sosial, yang bahkan diangkat pula menjadi pejabat oleh pemerintah. Seakan-akan moralitas publik dikecilkan oleh suara lantang pendengung tanpa dasar data, argumen, apalagi moralitas publik.
Politik anggaran dan pembentukan kebijakan harus diubah jika pemerintah memang serius melaksanakan konstitusi. Anggaran publik dan kebijakan bukan milik elite dan untuk memenuhi ambisi pribadi, melainkan kekuasaan yang harus dipergunakan untuk warga dan bisa dipertanggungjawabkan.
Tanggal: 13 Februari 2025
Dipublikasikan oleh:
