Keuangan atau pasar modal syariah merupakan diantara ujung tombak perekonomian yang berkembang pesat selama dua dekade terakhir di Indonesia. Pertama kali muncul pada 1991 melalui kehadiran Bank Muamalat yang diikuti oleh munculnya produk reksa dana syariah pada tahun 1997 oleh PT Danareksa Investment Management, keuangan atau pasar modal syariah menjadi andalan sektor jasa keuangan disamping pasar modal konvensional.
Khusus untuk pasar modal syariah, sektor yang satu ini cukup berkembang sejak kehadirannya. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), per Desember 2014, jumlah saham syariah yang terbit adalah sebanyak 336 dengan nilai mencapai Rp. 2.946,89 triliun atau 56,37% dari total nilai saham di pasar modal. Sementara itu, jumlah reksa dana syariah yang terbit mencapai 74 dengan total nilai mencapai Rp. 11,24 triliun (4,92% dari total reksa dana) dan jumlah obligasi dan sukuk yang terbit mencapai 35 dengan total nilai Rp. 7,1 triliun (atau 3,18% dari total obligasi/sukuk). Jumlah dan total nilai di atas belum mencakup sukuk negara yang diterbitkan sejak tahun 2008 yaitu sebanyak 42 dengan nilai Rp. 206,1 triliun atau 30,43% dari total jumlah Surat Berharga Negara (SBN).
Di level dunia, perkembangan pasar modal syariah juga signifikan. Sukuk menjadi salah satu andalan utama dalam sektor pasar modal syariah dunia. Berdasarkan data Asian Development Bank, total sukuk terbit di dunia mencapai 3.543 dengan total nilai US$ 488,2 sepanjang 1996-2013 (Thomson Reuter Zaywa, 2014).
Perkembangan pasar modal syariah di Indonesia tidak lepas dari dukungan kerangka hukum dan kelembagaan yang ada. Munculnya Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No. 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah menjadi kerangka hukum awal bagi pengembangan pasar modal syariah. Fatwa ini kemudian diikuti oleh fatwa lainnya sebagai pengawal prinsip syariah di sektor pasar modal syariah. Tercatat bahwa ada 14 fatwa yang telah diterbitkan DSN-MUI sejak tahun 2001.
Dari aspek regulasi, Peraturan Bapepam-LK No. IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syariah baru muncul pada tahun 2006. Kehadiran peraturan ini kemudian dilengkapi dengan kehadiran peraturan lain yaitu: (a) Peraturan Bapepam-LK No. II.K.1 tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah; (b) Peraturan Bapepam-LK No. IX.A.14 tentang Akad-akad yang Digunakan dalam Penerbitan Efek Syariah di Pasar Modal; dan (c) Undang-Undang No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (UU SBSN) atau yang dikenal dengan SukukNegara.
Dari aspek kelembagaan, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) merupakan otoritas pasar modal syariah, yang kemudian diambil alih kedudukannya oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang OJK.
Agar pasar modal syariah semakin berkembang dan mampu bersaing di level regional dan global, dibutuhkan upaya untuk menguatkan kerangka hukum pasar modal syariah melalui penguatan kerangka hukum Efek Syariah. Hal mana sebetulnya telah dituangkan dalam Roadmap Pasar Modal Syariah 2015-2019.
Strategi utama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berfokus terhadap penguatan kerangka hukum yang salah satunya adalah kerangka hukum penerbitan Efek Syariah melalui undang-undang. Pertimbangan penguatan ini adalah karena kekhususan karakteristik Efek Syariah khususnya Sukuk Korporasi terkait dengan pihak penerbit Efek Syariah. Selain itu, hal ini untuk mengimbangi pengaturan Sukuk Negara yang sebelumnya sudah diatur melalui undang-undang.
Rencana OJK ini tentu saja perlu disambut diapresiasi dan disambut baik. Namun begitu, rencana ini perlu dikaji apakah Efek Syariah memang perlu dibuatkan sebuah undang-undang tersendiri ataukah hanya melalui revisi terhadap Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM). Hal ini penting karena nantinya akan berkaitan dengan soal formalitas dan materialitas pembentukan peraturan perundang-undangan yang dikaitkan juga dengan karakteristik sektor pasar modal syariah yang dinamis dan fleksibel.
Untuk mengkaji hal ini, ada baiknya jika karakteristik produk hukum berupa undang-undang diperhatikan terlebih dahulu. Undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. Berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dari segi substansi undang-undang, materi muatan yang perlu diatur dalam undang-undang meliputi materi sebagai berikut: (1) pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945; (2) perintah suatu undang-udang untuk diatur dengan undang-undang; (3) pengesahan perjanjian internasional tertentu; (4) tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK); dan/atau (5) pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Dalam membuat peraturan perundang-undangan, salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang mesti dijunjung adalah kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan. Maksud dari asas ini adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Perhatian terhadap materi muatan yang tepat adalah penting untuk memastikan bahwa materi yang dimuat memang seharusnya diatur dengan undang-undang, berguna untuk memudahkan pembentuk dalam mengidentifikasi kebutuhan pembentukan undang-undang, sebagai sarana pembeda untuk mengetahui materi apa yang harus diatur dengan undang-undang dan materi apa yang harus didelegasikan pengaturannya kepada peraturan di bawah undang-undang.
Dengan berpedoman kepada lima materi muatan ideal di atas, maka perlu dilihat satu per satu parameter tadi secara awal dan singkat akan pengaturan mengenai penerbitan Efek Syariah sebagai berikut ini:
- Terkait pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945, tidak ada satu substansi ketentuan pun dalam UUD 1945 yang memerintahkan pengaturan mengenai Efek Syariah dalam suatu undang-undang atau dengan suatu undang-undang;
- Terkait dengan perintah suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang, UUPM sebagai regulasi induk pasar modal tidak menyebutkan bahwa penerbitan Efek Syariah harus diatur melalui undang-undang. UUPM hanya memberikan kewenangan kepada Bapepam-LK (sekarang OJK) untuk menetapkan instrumen lain sebagai Efek. Kewenangan ini mungkin yang kemudian dimanfaatkan oleh Bapepam-LK dengan membuat peraturan di bidang pasar modal syariah;
- Terkait dengan pengesahan perjanjian internasional tertentu. Hingga saat ini tidak ada satu perjanjian internasional yang sifatnya multilateral atau bilateral yang mengatur penerbitan Efek Syariah, terlebih lagi yang mensyaratkan ratifikasi dan pengaturan lebih lanjut dalam undang-undang;
- Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Hingga saat ini pun tidak ada putusan MK atas UUPM yang terkait dengan penerbitan Efek Syariah.
- Terkait dengan pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat, tidak jelas apakah memang masyarakat membutuhkan undang-undang ini dalam memenuhi kebutuhan hukumnya atau tidak. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak memberikan batasan yang jelas dan tegas akan apa yang dimaksud dengan kebutuhan hukum masyarakat dan siapa yang dimaksud dengan masyarakat itu sendiri. Terkait parameter ini, masih belum jelas apakah memang Efek Syariah memenuhi parameter materi muatan ini atau tidak.
Beranjak dari parameter di atas, pengaturan Efek Syariah secara khusus dengan undang-undang tersendiri idealnya tidak dapat dilakukan. Meski demikian, bukan berarti pengaturan ini tidak dapat dilaksanakan melalui undang-undang. Efek Syariah dapat saja diatur dengan mengasimilasikannya ke dalam UUPM karena merupakan bagian dari industri pasar modal.
Sehubungan dengan itu, hal yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan revisi UUPM dengan memasukkan elemen pasar modal syariah termasuk norma hukum penerbitan Efek Syariah. Pengaturan teknis dan detail sebaiknya diserahkan kepada peraturan di bawah undang-undang yang dari aspek formalitas dan materialias pembentukannya lebih fleksibel daripada undang-undang.
Revisi UUPM sesungguhnya masuk dalam Daftar Rancangan Undang-Undang (RUU) yang akan dibahas dan disahkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR periode 2015-2019 dan hal ini pastinya membuka jalan bagi para pemangku kepentingan untuk dapat berpartisipasi menambahkan norma baru terkait pasar modal syariah dan penerbitan Efek Syariah. Secara politik, RUU yang sudah terdaftar dalam Prolegnas akan lebih mudah dibahas daripada mengusulkan RUU baru di luar Prolegnas.
Sebagai perbandingan dengan negara lain, Malaysia dan Singapura tidak mengatur penerbitan Efek Syariah secara khusus melalui sebuah regulasi yang setara dengan undang-undang. Namun, kedua negara melakukan revisi undang-undang di bidang pasar modal dan memasukkan norma pasar modal syariah. Malaysia mengatur pasar modal syariah dalam Islamic Financial Services Act 2013 dan Capital Market and Services Act 2007. Sementara itu, Singapura mengaturnya dalam Securities and Futures Act 2001. Dalam tataran teknis, otoritas pasar modal masing-masing yang kemudian mengaturnya lebih detail.
Artikel ini pertama kali dipublikasikan pada 30 Desember 2015 di Jurnal Rechtsvinding Online Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Link lengkapnya adalah sebagai berikut: http://rechtsvinding.bphn.go.id/view/view_online.php?id=176