preloader

Pemerintah Bukan Memerintah

Ke mana kita harus mengadu saat ada listrik padam, apalagi apabila itu terjadi berhari-hari seperti yang terjadi di sebagian Pulau Sumatera beberapa minggu lalu? Apa yang sebenarnya terjadi dengan serangan siber pada Pusat Data Nasional Sementara 2? Mengapa harga tiket pesawat domestik demikian mahal?

Banyak pengalaman buruk kita sebagai warga negara, yang hanya bisa kita terima sebagai berita dan cerita warung kopi. Mungkin bisa terjadi sedikit keributan di dunia maya, sering kali karena media mengorek keterangan dari para pejabat, tetapi pada umumnya pengalaman itu seakan menguap ke udara.

Dalam beberapa isu, seperti polusi udara di Jakarta, sebagian warga menggugat pemerintah ke pengadilan. Sayangnya, saat gugatan dimenangkan di pengadilan negeri, pemerintah bersikukuh tidak mau bertanggung jawab sehingga menempuh jalur banding dan kemudian kasasi. Dalam cerita-cerita lainnya, bahkan pejabat yang dikritik justru melaporkan pengkritiknya dengan pencemaran nama atau mengancam dengan cara-cara lain.

Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti berorasi di luar Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin (8/1/2024). Majelis hukum Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur memvonis bebas Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar dalam perkara dugaan pencemaran nama baik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Fatia Maulidiyanti adalah Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan dan Haris Azhar adalah Direktur Lokataru.

Sial betul menjadi warga biasa. Warga tak punya jalan keluar dari banyak persoalan yang sebenarnya adalah hak asasi. Mestinya, relasi antara warga dan negara adalah yang dilayani dan melayani. Jangan lupa, negara ada karena warga. Sekelompok orang berkumpul dalam suatu wilayah, lalu menunjuk pemimpin untuk mengelola kehidupan mereka. Dalam negara modern, inilah yang kemudian diterjemahkan dalam prosedur-prosedur demokrasi seperti pemilihan umum yang memilih penyelenggara negara dan pengambilan keputusan politik. Namun, hakikatnya, penyelenggara negara bekerja untuk warga.

Apabila mau ditelaah dalam kacamata ekonomi, ada pola yang seharusnya menjadi landasan kerja pemerintah: kita membayar pajak untuk mendapatkan pelayanan publik. Ada ungkapan yang dikenal luas: ”taxation without representation is robbery”.

Dalam dunia perpajakan Indonesia, pernyataan ini kerap dikaitkan dengan keharusan pemungutan uang oleh pemerintah melalui undang-undang. Walaupun makna ini juga benar, akar dari ungkapan tersebut sebenarnya adalah kritik para pendiri negara Amerika Serikat terhadap pemerintah kolonial Inggris pada akhir abad ke-18. ”Representation” di sini bermakna perwakilan dalam mengambil keputusan. Ujaran itu artinya: jika kita harus membayar pajak, padahal kita tidak diwakili dalam mengelola negara, maka pemajak sebenarnya adalah perampok.

Warga membayar pajak untuk bisa hidup bersama dengan baik, dengan cara membayar gaji para pengurus negara untuk memenuhi hak-hak dasar dan fasilitas umum, mulai dari listrik, transportasi publik, internet, perlindungan data pribadi, akses pendidikan, sampai pelayanan kesehatan yang berkualitas. Nyatanya, saat ada hak-hak yang tidak dipenuhi, warga dipaksa untuk menerimanya sebagai takdir dan kesialan, bukan ketidakadilan yang sifatnya struktural.

Suasana Sidang Kabinet Paripurna yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (7/12/2016).

Pemerintah lebih suka memerintah. Barangkali ini sebabnya mengapa penyelenggara negara, atau government dalam bahasa Inggris, diterjemahkan sebagai ”pemerintah”, yang dekat dengan kata ”perintah”, ketimbang mengelola atau dalam bahasa Inggris, ”to govern”. Tabiat pemerintah yang lebih suka memerintah terlihat dekat dengan feodalisme yang masih kuat dalam masyarakat Indonesia.

Ada tiga ciri khas feodalisme. Pertama, ia berfokus pada kekuasaan, yaitu sistem yang menguasai politik, sosial, ekonomi, budaya, dan segala aspek kehidupan. Kedua, kekuasaan dalam feodalisme hanya berkutat pada kelompok tertentu yang berkerabat. Ketiga, pengultusan terhadap pemimpin.

Penguasa yang berwatak feodal menganggap dirinya penguasa serupa raja atau bangsawan. Ia tak suka melayani, selalu berusaha melindungi serta memperluas kekuasaan (untuk diri dan kerabatnya), dan antikritik. Sayangnya, watak ini tak hanya sering tampak pada pejabat penting nasional, tetapi juga pada birokrasi secara keseluruhan.

Para pengurus Korpri berfoto bersama Presiden Joko Widodo di depan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (26/2/2019).

Apa yang Max Weber tulis dalam publikasi pada 1921 tentang birokrasi feodal yang berlawanan dengan birokrasi profesional sayangnya masih terlihat dengan kuat di Indonesia seabad kemudian. Keterbukaan informasi dengan cepat kepada warga yang tidak dipenuhi hak-haknya dan permintaan maaf tidak pernah kita dapatkan dari pemerintah belakangan ini. Begitu pula jangan harap ada pejabat yang mundur dari jabatannya karena menganggap dirinya gagal menjalankan amanah, seperti yang terjadi di banyak negara lain yang beradab.

Segala pikiran dan tindak tanduk keliru pemerintah yang menganggap kekuasaan itu mutlak harus kita bongkar bersama. Warga negara yang baik justru adalah yang mengkritik pengurus negara yang tak amanah di media massa dan media sosial, atau menggugatnya di pengadilan, atau membawanya ke berbagai forum lainnya untuk menyoal kegagalan pelayanan publik.

Jangan sampai pola pikir feodalistik dan pemerintah yang hanya memerintah terus menjadi kebiasaan buruk yang berurat akar di negara ini.

 

Editor: ANTONIUS PONCO ANGGORO
Tanggal: 18 Juli 2024
Dipublikasikan oleh:

Bivitri Susanti

Bivitri Susanti merupakan pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera. Ia pernah menjadi menjadi research fellow di Harvard Kennedy School of Government pada 2013-2014, visiting fellow di Australian National University School of Regulation and Global Governance pada 2016, dan visiting professor di University of Tokyo, Jepang pada 2018.