Mengapa tak sedikit akademisi dan kaum intelektual yang masuk ke lingkungan penyelenggara negara justru menjadi bagian dari pelaku korupsi, merusak tata kelola negara, mengabaikan keadilan dan kesetaraan, melanggar sumpah, dan membusukkan peradaban bangsa?
Perjalanan berbangsa dan bernegara selalu mengalami dinamika. Kaum cendekiawan atau intelektual selalu jadi bagian penting dinamika itu. Demikian juga lembaga atau institusi akademik tempatnya bernaung dan berkarya merupakan pemangku kepentingan yang diharapkan dapat berkontribusi pada kemajuan dan martabat bangsa.
Dalam pendidikan, guru dan cendekiawan sangat diharapkan mampu mengajarkan nalar waras, kesetaraan, keadilan, moralitas, dan etika sebagai dasar untuk menjadi bangsa yang maju, bermartabat, beradab. Cara-cara culas, curang, dan menjauh dari sifat mulia harus dihindari. Namun, di lapangan, bahkan dalam praktik bernegara, semua itu tampak menjauh, rapuh, bahkan runtuh.
Idealisme yang tergerus
Demikian halnya para penyelenggara negara, mereka diharapkan menunjukkan politik kemuliaan par excellence membangun tata kelola dan kemajuan bangsa sesuai amanat konstitusi. Faktanya, tak jarang para penyelenggara negara justru menunjukkan perilaku, sikap, dan keputusan sebaliknya.
Yang dilakukan bertentangan dengan sumpahnya, melemahkan tata kelola dan agenda pemberantasan korupsi, mempertontonkan transaksi kepentingan dengan cara-cara niretika, berjarak dengan rakyat, bahkan mempertontonkan panggung kemunafikan.
Dalam pendidikan, guru dan cendekiawan sangat diharapkan mampu mengajarkan nalar waras, kesetaraan, keadilan, moralitas, dan etika sebagai dasar untuk menjadi bangsa yang maju, bermartabat, beradab.
Para akademisi dan kaum intelektual yang masuk ke lingkungan penyelenggara negara—baik di lembaga eksekutif, yudikatif, maupun legislatif—selayaknya menjadi sumber inspirasi untuk perbaikan standar etika, tata kelola negara, pencapaian visi kemajuan bangsa, agenda pemberantasan korupsi, serta proses legislasi untuk mewujudkan keadilan bagi semua warga bangsa.
Namun, faktanya, sering kali idealisme dan standar etika justru tergerus dan menempatkan mereka menjadi bagian dari para pelaku korupsi, merusak tata kelola negara, mengabaikan keadilan dan kesetaraan, melanggar sumpah, dan membusukkan peradaban bangsa.
Sementara institusi akademik tempatnya bernaung dan berkarya juga mengalami degradasi. Salah satunya ditandai dengan maraknya pengangkatan profesor kehormatan karena kepentingan pragmatis individu/kelompok.
Proses seperti ini dapat dianggap diskriminatif, mengabaikan prinsip kesetaraan dan keadilan, bahkan mengkhianati dedikasi para dosen yang berjuang keras dengan berbagai upaya membangun karier dan masa depannya dengan dedikasi, kerja keras, dan secara terhormat.
Kebijakan tersebut juga menimbulkan demoralisasi bagi para dosen dan akademisi yang ada di perguruan tinggi (PT). Kepercayaan dosen terhadap martabat profesi serta institusinya tergerus, tata kelola pendidikan tinggi tak bisa diandalkan dan tak memberi harapan.
Semangat pengabdian dan dedikasi terhadap tugas dan tanggung jawabnya sebagai pendidik dan intelektual merosot. Pengangkatan profesor kehormatan merupakan ujian untuk bersikap: antara intelektualitas dan pragmatisme atau vested interest.
Pembusukan institusi
Universitas adalah benteng akal sehat dan keberadaban. Nilai dan tradisi yang dikembangkan adalah pemikiran yang jernih, etis, dan beradab; pertaruhannya adalah kebenaran, kejujuran, dan kemaslahatan. Jika otoritas perguruan tinggi berpihak pada kepentingan pragmatis dan keuntungan individu atau kelompok, benteng itu telah keropos, akal sehat dan kebenaran tergadaikan.
Pengabaian terhadap intelektualitas berarti sengaja merendahkan martabat PT dan sivitas akademika yang berproses di dalamnya; bahkan menjebak PT sebagai lingkungan yang anarkistis dan kumuh. Pilihan seperti itu juga mencerminkan perilaku koruptif atau penyalahgunaan kekuasaan (abuse of powers) di lingkungan PT.
Pengangkatan profesor kehormatan yang tak berkontribusi pada pencapaian misi utama PT justru merendahkan martabat dan reputasi, merusak ekosistem dan tata kelola. Kebijakan otoritas PT yang didasari kepentingan pragmatis individu/kelompok sama saja menggadaikan etika dan standar akademik, bertentangan dengan karakter cendekiawan, bahkan membusukkan institusinya.
Tanpa komitmen merawat dan mempertahankan intelektualitas, nilai-nilai etis dan integritas akademik institusi pendidikan tinggi akan terperosok pada praktik kumuh dan pembusukan institusional. Situasi semacam itu juga menguatkan asumsi bahwa di lingkungan PT pun intelektualitas sering dikalahkan oleh pragmatisme dan private interest.
Salah satu peran penting para akademisi di ruang publik adalah menjaga akal sehat dan kejernihan nurani dengan menyuarakan kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Peran itu dilakukan dengan menyuarakan pikiran jernih dan kritis.
Jika otoritas perguruan tinggi berpihak pada kepentingan pragmatis dan keuntungan individu atau kelompok, benteng itu telah keropos, akal sehat dan kebenaran tergadaikan.
Bukan untuk mendukung atau menentang seseorang atau kelompok tertentu, tapi demi kebaikan bersama, demi kemajuan peradaban bangsa. Bersikap kritis tidak berarti menentang atau tidak mendukung upaya baik negara atau pemerintah. Sikap kritis dan jernih kaum intelektual justru membantu menyeimbangkan dan merespons tekanan vested interest group dalam proses keputusan politik yang sangat penting bagi perjalanan bangsa dan negara.
Sikap kritis tersebut membantu mengontrol dan mendorong pemegang kuasa yang ada berfungsi sebagaimana tujuan semestinya, seperti mandat yang diharapkan semua warga negara.
Saat ini, kita memerlukan pemikiran diskursif para akademisi di tengah ketidakpastian situasi serta beragam kepentingan yang berhadapan dan berkontestasi. Pemikiran diskursif menjaga kewarasan nalar; menerima penerapan logika, upaya generalisasi, pemecahan masalah dengan berbagai cara, dan pertukaran gagasan; serta menghargai kesetaraan dan gagasan pihak lain.
Merawat sikap kritis
Ke depan, posisi dan sikap intelektual ini harus dirawat dan dipertahankan. Diskusi dan sikap kritis terhadap kebijakan penyelenggara negara dengan beragam cara dan gaya bukanlah upaya untuk menggagalkan pelaksanaannya.
Mereka yang menyampaikan pandangan dan sikap yang berbeda bukan berarti sedang memusuhi, menghambat, atau menentang upaya baik untuk memajukan negara. Pandangan dan sikap berbeda yang disampaikan dapat dipandang sebagai upaya menawarkan pilihan yang dapat dipertimbangkan. Pandangan yang berbeda dapat melengkapi dan menyempurnakan konsep dan kebijakan yang sudah ada.
Jika kita tak mampu menjaga dan mempertahankan kewarasan nalar, kejernihan pikir, dan nurani, negara ini akan terus terjebak pada perilaku hipokrisi (kemunafikan), regresi demokrasi, pembenaran tindakan koruptif, kerusakan tata kelola, dan pembusukan rule of law. Perangkat perundang-undangan tersedia, lembaga penegakan hukum dibentuk, tetapi kebenaran dan keadilan tak dapat dihadirkan.
Kekuasaan kehakiman yang ada tak dapat diandalkan karena justru menjadi bagian dari gejala inkonsistensi hukum (legal inconsistency) dan sistem hukum yang rusak (chaotic legal system).
Suatu kemunduran dan proses involusi bagi sistem hukum dan ketatanegaraan Indonesia.
Akademisi selalu diharapkan menjadi kompas perubahan dan perbaikan peradaban, berani menyuarakan kebenaran dan keadilan, bukan pembenaran dan dukungan pada kepentingan pragmatis.
Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2024/01/02/negara-dan-peran-akademisi
Tanggal: 3 Januari 2024