Setiap bencana besar punya potensi untuk sedikit-banyak mengubah peradaban. Tak terkecuali, pandemi global corona virus desease 2019 (Covid-19) yang sedang dihadapi oleh umat manusia di berbagai negara saat ini. Perlahan tapi pasti, kita lihat potensi perubahan di bermacam aspek peradaban dalam pandemi ini.
Suatu kondisi normal yang baru (new normal) semakin terasa mendekat dan membayangi kita semua. Meningkatnya ketergantungan pada teknologi, tanda-tanda mulai menyempitnya ruang kebebasan sipil, menguatnya peran negara dalam mendisiplinkan warga, melemahnya perekonomian berbagai negara, dan lain sebagainya. Ketika peradaban berubah, perilaku manusiapun berubah. Ketika perilaku manusia berubah, hukum pun bisa berubah.
Bacaan di atas, tentu bisa jadi berlebihan dan meleset. Kita semua pasti berharap pandemi ini segera berlalu, tidak memakan lebih banyak korban, dan tidak meninggalkan dampak buruk yang teramat besar. Namun satu hal yang pasti, umat manusia harus ambil banyak pelajaran dari rentetan krisis yang terjadi dalam pandemi ini.
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 jelas menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Dalam penjelasannya (pra-amandemen konstitusi), dijabarkan bahwa negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat), tidak berdasar kekuasaan belaka (machstaat). Tulisan pendek ini dengan sadar membatasi diri untuk tidak mengulas kompleksitas konsep Negara Hukum, Rechstaat, maupun Rule of Law. Pada dasarnya, kekuasaan negara harus dibatasi hukum, dan hak asasi manusia harus dilindungi. Lantas, bagaimana “nasib” negara hukum saat pandemi?
Sebelum pandemi, kita bisa dengan bangga mengucapkan Fiat Justitia Ruat Caelum (tegakkan keadilan walaupun langit runtuh). Kenyataannya, menegakkan keadilan tidak semudah dalam pepatah. Langit masih belum runtuh, kita sudah mulai tergoda untuk sementara mengesampingkan hukum dan hak asasi manusia dengan alasan pandemi.
Saat pandemi melanda, lalu kita mulai mengutip ungkapan latin lainnya: Salus Populi Suprema Lex Esto (keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi). Tak ada yang salah dengan kutipan dari Cicero itu. Makna ungkapan ini juga tidak bertentangan dengan makna Fiat Justitia Ruat Caelum. Namun ungkapan ini juga bisa dimaknai secara salah, dan bisa saja disalahgunakan untuk menjustifikasi kesewenang-wenangan atas nama keselamatan rakyat. Oleh karenanya, publik maupun pengambil kebijakan perlu cermat dan berhati-hati tiap kali melihat ataupun hendak menggunakan ungkapan ini sebagai dalil.
Pandemi Covid-19 ini mungkin satu-satunya masa di mana warga, termasuk para aktivis pro-demokrasi dan hak asasi manusia, meminta agar Pemerintah cepat ambil langkah untuk menerapkan pembatasan-pembatasan. Berbagai jenis dan tingkat pembatasan tentunya bukan hanya wajar, tapi juga memang harus diterapkan dalam menghadapi pandemi ini. Strategi penelusuran (tracing), pembatasan/karantina/isolasi (isolating), pemeriksaan/pengujian (testing), dan perawatan (treatment) sudah menjadi resep wajib yang dijalankan oleh berbagai negara dengan kadarnya masing-masing.
Presiden Jokowi akhirnya menetapkan kedaruratan kesehatan masyarakat Covid-19 (Keppres No.11/2020), dan mengatur tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka percepatan penanganan Covid-19 (PP No.21/2020). Presiden kemudian mentapkan bencana non-alam penyebaran Covid-19 sebagai Bencana Nasional (Keppres No.12/2020). Sederetan produk hukum dan kebijakan telah dibuat di Indonesia dalam masa pandemi ini. Paling tidak tercatat ada 1 Perppu, 1 PP, 1 Perpres, 1 Inpres, 4 Keppres, 15 Permen, 19 Kepmen, dan puluhan surat keputusan dan edaran, yang khusus dibentuk dalam rangka merespon situasi pandemi Covid-19 ini.
Penting untuk kita ingat bersama, bahwa pembatasan dalam pandemi bukanlah tak berbatas. Hukum dan hak asasi manusia harus selalu menjadi panduan agar pembatasan tidak bablas menjadi pengekangan yang berlebihan, apalagi penyalahgunaan kekuasaan. Dalam menghadapi pandemi, komitmen kita pada prinsip-prinsip negara hukum sebenarnya sedang ikut pula diuji.
Merawat Kebebasan
Diskusi tentang pembatasan dan tarik menarik antara berbagai hak kebebasan, dengan ketertiban umum (public order), perlindungan kesehatan publik (public health), perlindungan hak dan kebebasan orang lain (protection of the rights and freedoms of others), keselamatan publik (public safety), atau keamanan nasional (national security), bukanlah suatu hal yang baru.
Disebabkan karena itu pula, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru-baru ini mengeluarkan suatu policy brief mengenai Covid-19 dan Hak Asasi Manusia yang menekankan bahwa: “… This is not a time to neglect human rights; it is a time when, more than ever, human rights are needed to navigate this crisis in a way that will allow us, as soon as possible, to focus again on achieving equitable sustainable development and sustaining peace”.
Pandemi jelas tidak bisa jadi alasan untuk meminggirkan prinsip-prinsip negara hukum dan hak asasi manusia. Menyikapi pokok-pokok pikiran dari kertas kebijakan PBB itu, publik perlu terus megawasi dan mengingatkan pengambil kebijakan di negaranya, agar tidak mengambil langkah yang justru merugikan hak asasi manusia dengan alasan pandemi.
Status kedaruratan yang ditetapkan oleh pemerintah saat ini adalah status kedaruratan kesehatan masyarakat, dan pilihan ini sudah tepat. Kita semua tentunya berharap status ini tidak berubah memburuk, melainkan segera membaik dan bisa segera dicabut. Tapi seberapapun kecil kemungkinannya, status ini tentu bisa berubah, sehingga bisa saja makin berdampak pada ruang kebebasan warga.
Dalam pidato tanggal 30 Maret 2020, Presiden Jokowi sempat sepintas menyebut soal kebijakan darurat sipil. Hal ini kemudian diklarifikasi oleh juru bicara Fadjroel Rachman bahwa pemerintah mempertimbangkan darurat sipil sebagai suatu pilihan langkah terakhir, yang bisa jadi tidak akan digunakan.
Status keadaan darurat sipil tentu bukanlah sesuatu yang bisa dibahas sepintas lalu, dan bukan merupakan jalur pendekatan yang tepat untuk diambil dalam menghadapi pandemi ini. Status yang diatur dalam Perppu No.23/1959 ini merupakan status keadaan bahaya dengan tingkatan di bawah keadaan darurat militer dan keadaan perang.
Dalam keadaan darurat sipil, Penguasa Darurat Sipil punya kewenangan untuk membatasi ruang kebebasan sipil, antara lain seperti membatasi penerbitan, memerintahkan penggeledahan, memerintahkan penyitaan barang, mengetahui ataupun memutus percakapan telepon, dan lain-lain. Sekali lagi, semua tentu tak menginginkan kita untuk memasuki keadaan ini.
Namun tampaknya publik sudah perlu mencermati potensi penyempitan ruang kebebasan sejak awal, tanpa perlu menunggu terjadi atau tidaknya perubahan status kedaruratan. Sejak memasuki masa pandemi ini, kita sudah mendengar beberapa berita penetapan tersangka dan penahanan yang berkaitan dengan isu virus corona.
Pada 18 April 2020, Menkominfo memberikan keterangan pers bahwa ada 554 isu hoax terkait virus corona yang tersebar di berbagai platform media sosial. Menkominfo kemudian menjelaskan bahwa pihak Kepolisian telah menetapkan 89 orang tersangka, dengan rincian 14 orang ditahan dan 75 orang diproses.
Kita perlu cermat ketika melihat adanya kasus-kasus penyebaran berita bohong (hoax) seperti yang diumumkan Menkominfo. Melihat praktik penerapan kasusnya yang seringkali bermasalah, perlu benar-benar ditelisik apakah benar para tersangka tersebut menyiarkan suatu berita bohong? Benarkah mereka melakukannya dengan sengaja untuk menimbulkan keonaran? Harus ada kehati-hatian dalam penegakan hukum pidana penyebaran berita bohong ini, agar tidak malah semakin menyempitkan ruang kebebasan berekspresi warga.
Lalu kita juga mendengar berita penangkapan Ravio Patra, seorang peneliti kebijakan publik dan pegiat demokrasi. Ravio yang sebelumnya mengaku diretas teleponnya, kemudian malah ditangkap Polisi karena dikaitkan dengan penyebaran informasi bernada provokasi lewat aplikasi WhatsApp. Penangkapan ini mendapatkan reaksi keras dari publik yang membela Ravio, karena melihat ada banyak kejanggalan dalam penangkapan ini. Menkopolhukam Mahfud MD berkomentar bahwa kasus Ravio haruslah menjadi pelajaran bagi aparat kepolisian agar tidak asal menangkap seseorang tanpa ada bukti yang kuat.
Tak ada yang menyangkal bahwa penegakan hukum tetaplah harus berjalan dalam situasi pandemi. Tak bisa dipungkiri juga, bahwa ada berbagai pembatasan yang dibenarkan dan diharuskan ada secara proporsional, dalam rangka melindungi kesehatan masyarakat. Namun bukan berarti penegakan hukum tersebut bisa dilakukan dengan menciderai hak asasi manusia atau melanggar hukum itu sendiri. Kita harus bisa membedakan antara Rule of Law, dengan sekedar Rule by Law. Merawat kebebasan adalah bagian dari upaya merawat negara hukum dalam pandemi. Berada dalam darurat kesehatan, bukan berarti kita harus mengalami darurat kebebasan juga.
Menghadapi “Normal yang Baru”
Tidak ada orang yang tahu pasti kapan dan bagaimana pandemi ini akan berakhir. Semua orang menunggu tercapainya kurva yang rata (flatten the curve) dengan mengupayakan karantina, sambil berharap-harap cemas bisa tidaknya para ilmuwan menemukan vaksin mujarab untuk segera diproduksi masal.
Sederetan kepala negara, kepala pemerintahan, maupun politisi dari berbagai negara, terlihat kewalahan menghadapi pandemi ini. Beberapa bahkan salah langkah, terkesan meremehkan bahaya virus ini, dan baru ambil langkah serius setelah terlanjur banyak warga yang terinfeksi dan jatuh korban.
Pandemi telah menjadi disrupsi yang mendorong berbagai perubahan besar di banyak sektor dalam waktu sangat cepat. Teknologi yang sebelum pandemi sudah mewarnai kehidupan sehari-hari, kini seolah merangsek mengambil alih banyak aspek kehidupan manusia. Kemungkinannya, kita saat ini sedang meninggalkan gerbang “normal yang lama” (old normal), dan memasuki era “normal yang baru” (new normal).
Yuval Noah Harari, ahli sejarah yang belakangan ini banyak dikutip dalam berbagai tulisan tentang pandemi Covid-19, menuliskan pandangannya bahwa banyak hal yang saat ini dipandang sebagai solusi jangka pendek, akan bisa jadi sesuatu yang permanen dalam menjalani kehidupan ke depan. Harari juga memberikan peringatan soal potensi pengintaian (surveillance) dengan bantuan teknologi yang makin hari makin canggih. Hal yang mana, sudah terjadi dalam konteks pandemi saat ini: China yang memantau telepon genggam warganya dengan ketat untuk melakukan tracing maupun tracking dalam rangka mengidentifikasi warganya yang terinfeksi virus, atau Israel yang menggunakan teknologi surveillance yang biasanya digunakan untuk memerangi teroris dalam melacak penyebaran virus ini. Kita tentu tidak perlu meyakini penuh bacaan-bacaan yang disampaikan Harari, namun tak ada salahnya untuk dijadikan pertimbangan.
Mempertimbangkan berbagai hal tersebut, jelas bahwa kita perlu panduan dan strategi baru untuk menghadapi situasi baru ini. Pelapor Khusus PBB tentang Hak Berserikat Berkumpul Mr. Clement Nyaletsossi Voule mengeluarkan pernyataan, yang menegaskan bahwa pelibatan Organisasi Masyarakat Sipil (Civil Society Organization) sebagai mitra strategis pemerintah adalah suatu keharusan dalam menghadapi pandemi ini.
Pernyataan Pelapor Khusus PBB itu juga memuat prinsip-prinsip kunci yang perlu dijadikan panduan dalam menghadapi situasi pandemi ini, antara lain: prinsip perlu dipastikannya semua produk peraturan yang dibuat agar menghormati HAM, prinsip agar kedaruratan kesehatan tidak dijadikan alasan pelanggaran hak, prinsip pentingnya memastikan partisipasi publik, prinsip jaminan kebebasan berekspresi, prinsip jaminan kebebasan berserikat berkumpul secara online, dan lain-lain. Prinsip-prinsip kunci tersebut perlu dipegang sebagai panduan bagi masyarakat maupun bagi pembentuk kebijakan dalam menghadapi situasi saat ini.
Berbagai perubahan yang terjadi di Indonesia juga perlu diwarnai dengan prinsip-prinsip tersebut. Misalnya, sidang pengadilan yang kini dimungkinkan untuk dilaksanakan secara online harus dipastikan tetap memenuhi prinsip fair trial, atau rapat parlemen secara online yang membahas rancangan undang-undang harus tetap memenuhi asas keterbukaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Besar kemungkinan kita di Indonesia juga akan menghadapi beberapa persimpangan diskusi yang sama dengan negara-negara lain dalam pandemi ini. Beberapa persimpangan diskusi yang bisa mudah dilihat sudah atau akan segera hadir di depan mata antara lain: perdebatan politik kewenangan antara pusat dan daerah, pertanyaan soal kapan waktu yang tepat untuk mulai membuka kembali kegiatan bisnis, sejauh mana pembatasan masih akan perlu diterapkan, dan lain sebagainya.
Satu hal yang perlu dipastikan hadir dalam persimpangan-persimpangan tersebut adalah: komitmen bersama bahwa Indonesia adalah negara hukum, di mana kekuasaan negara harus dibatasi hukum, dan hak asasi manusia harus dilindungi.
Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5eb0f4d29ed8c/merawat-negara-hukum-dalam-pandemi-oleh–eryanto-nugroho