”One has not only a legal but a moral responsibility to obey just law. Conversely, one has a moral responsibility to disobey unjust laws” (Martin Luther King Jr, 1963).
Dari penjara di Alabama, Amerika Serikat, Martin Luther King Jr, aktivis antidiskriminasi terhadap warga berkulit hitam, mengirim kutipan di atas dalam sebuah surat kepada koleganya. Membangkang atau tidak patuh pada hukum yang tak adil adalah tanggung jawab moral, ujarnya. Pemikiran tentang pembangkangan warga sebenarnya bukan hal yang baru. Henry David Thoreau sudah membahasnya pada 1849. John Rawls kemudian menuliskan satu bagian khusus tentang pembangkangan warga (civil disobedience) pada buku Theory of Justice (1971).
Kata pembangkangan mungkin terdengar radikal dalam bahasa Indonesia sehingga kita merasa tak nyaman untuk membincangkan soal ini. Padahal, pembangkangan warga sebenarnya adalah soal menolak untuk tunduk pada hukum yang jahat, bukan soal melakukan kekerasan kepada penguasa. Penguasa tak perlu cemas karena bagaimanapun penguasa adalah empunya semua fasilitas legal dan fisik untuk memaksakan kehendak. Warga, sebaliknya, hanya punya hak-haknya sendiri yang bisa mereka gunakan untuk melawan.
Argumen tentang penolakan untuk tunduk pada ketidakadilan berlandaskan pengalaman nyata di mana pun di dunia ini, yakni bahwa hukum negara memang tak selamanya adil. Jangan lupa, hukum dibuat oleh penyelenggara negara yang tak lepas dari kepentingan diri dan jaringannya. Atas nama hukum, misalnya, masyarakat adat bisa digusur begitu saja dari tanah yang sudah mereka tempati, bahkan sebelum negara lahir, padahal justru hukum itu dibuat untuk melayani kawannya yang pengusaha. Contoh lainnya, dengan UU Cipta Kerja, hak-hak buruh bisa dikurangi secara legal; dan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belakangan bisa dibaca sebagai cara menempatkan KPK sebagai alat untuk membungkam lawan politik.
Banyak cara untuk tidak tunduk pada hukum yang jahat. Salah satunya adalah dengan berunjuk rasa dalam aksi-aksi damai, misalnya yang dilakukan oleh para perempuan dari Kendeng, yang menyemen kaki mereka sendiri di depan Istana. Bentuk-bentuk lainnya adalah dengan mogok bekerja, tidak membayar pajak, atau tidak menggunakan hak pilih dalam pemilihan umum secara massal.
Rangkaian demonstrasi yang kita lihat sejak Kamis, 22 Agustus 2024, adalah salah satu bentuk aksi penolakan. Sayangnya, ada yang berujung kekerasan aparat keamanan terhadap demonstran. Secara definisi, pembangkangan warga adalah perlawanan tanpa kekerasan. Kita boleh berdebat, apakah ada kekerasan yang dilakukan oleh para pengunjuk rasa. Namun, lebih penting untuk melihat, apakah ada kekerasan oleh aparat keamanan yang dilakukan terhadap pengunjuk rasa sebab tentu saja relasi dan kekuatan antara pengunjuk rasa dan aparat keamanan sangat tidak berimbang.
KOMPAS/RENY SRI AYU ARMAN
Aksi unjuk rasa kembali dilakukan mahasiswa di Makassar, Senin (26/8/2024). Aksi yang semula damai, berakhir ricuh.
Pengunjuk rasa datang dengan kata-kata, pengeras suara, dan peralatan aksi. Sementara aparat keamanan bersiap dengan gas air mata dan senjata, kekuatan untuk menyerang secara fisik, bahkan kekuatan hukum untuk menahan demonstran, dengan proses yang sebenarnya keliru dalam hukum acara pidana. Perlu diingat, aparat keamanan tidak bertugas melindungi fasilitas dan pejabat negara, tetapi melindungi hak-hak warga untuk menyampaikan pendapatnya dalam mengelola negara. Sesungguhnya, para demonstran mengajarkan esensi demokrasi kepada wakil rakyat. Terlepas dari model demokrasi apa pun, esensi demokrasi adalah soal bagaimana mengolah suara warga untuk mengelola negara. Tidak boleh ada undang-undang yang dibuat kilat tanpa partisipasi. Tak boleh pula suatu hal yang dinyatakan inkonstitusional dihadirkan kembali dalam undang-undang oleh pembuat undang-undang.
Kita bisa bernapas lega sejenak karena revisi UU Pilkada tidak jadi dilakukan. Namun, persoalan penyalahgunaan hukum untuk kepentingan antidemokrasi tidak hanya terjadi sekali ini. Masih lekat dalam ingatan, bagaimana, misalnya, revisi UU KPK, Mineral dan Batubara, serta Cipta Kerja dibuat dengan cara yang sama: tanpa partisipasi yang substantif.
Apa boleh buat, selama penguasa menyalahgunakan wewenangnya untuk tujuan-tujuan yang mengambil alih hak-hak warga dan merusak demokrasi, kita harus membiasakan diri kita untuk melakukan pembangkangan warga, yaitu untuk melawan tanpa kekerasan, dengan berbagai cara. Sebab, kita hanya taat pada hukum yang adil dan hanya tunduk pada penguasa yang menghormati, memenuhi, dan melindungi hak-hak asasi manusia.
Tanggal: 29 Agustus 2024
Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2024/08/29/menolak-tunduk-pada-hukum-yang-jahat