Peradilan atas isi kepala pasti keji dan penuh stigma. Mulai dari yang mendakwa, yang membela diri, sampai yang menghakimi, pasti kesulitan dalam pembuktian. Tak seorangpun boleh dihukum karena isi pikiran apalagi wawasannya. Kalau isi pikiran bisa dihukum, niscaya kita semua akan jadi kriminal.
Para pemikir hukum umumnya sepakat untuk tidak membenarkan penghukuman atas pikiran, walaupun dengan alasan berbeda-beda. Salah satu kutipan terkenal tentang ini adalah dari James Fitzjames Stephen (1883), yang menyatakan bahwa kalau kita menghukum setiap pikiran yang salah, maka “all mankind would be criminals, and most of their lives would be passed in trying and punishing each other for offenses which could never be proved.”
Banyak yang belum menyadari bahwa dari 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), ada 51 orang yang ditarget akan dipecat dengan alasan isi pikirannya tak berwawasan kebangsaan. Pemecatan adalah salah satu bentuk sanksi. Sementara, sanksi tidak boleh dijatuhkan atas isi kepala. Kecuali telah mewujud dalam perbuatan, pikiran tak seharusnya berbuah hukuman.
Para pegawai KPK ini akan dipecat bukan karena melakukan pelanggaran. Mereka bukanlah orang-orang yang mencuri barang bukti, menerima suap, ataupun mengendarai helikopter mewah. Mereka akan dipecat karena isi pikirannya telah diberi stigma tak berwawasan kebangsaan, bukan karena perbuatannya.
Parade stigma ini bahkan kemudian ditampilkan terbuka di hadapan publik. Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana mengumumkan bahwa 51 pegawai KPK itu dinilai negatif untuk aspek yang merupakan “harga mati”, yaitu aspek PUNP (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Pemerintah yang sah). Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan bahwa menurut asesor, 51 pegawai KPK ini “sudah merah”, tak mungkin dibina lagi, dan oleh karenanya tidak bisa bergabung lagi dengan KPK.
Stigmatisasi berujung pemecatan ini menciderai freedom of thought dan right of mental integrity. Setiap orang berhak atas kemerdekaan berpikir, dan bebas dari paksaan pemikiran. Memecat karena isi pikiran, bukan karena perbuatan, jelas melanggar hak asasi para pegawai KPK. Kita perlu waspada akan kemungkinan bahaya kekuasaan Orwellian yang hendak mengendalikan isi pikiran (thought policing), menghukum isi pikiran warganya (thought crime), dengan mengatasnamakan Pancasila, wawasan kebangsaan, atau yang lainnya.
Pemecatan ini juga bertentangan dengan penegasan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK No. 70/PUU-VIII/2019. MK menegaskan bahwa pengalihan status pegawai KPK jadi Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat jadi ASN dengan alasan apapun di luar desain yang telah ditentukan. Bahkan MK juga menjelaskan sebabnya, yaitu karena pegawai KPK selama ini telah mengabdi dan dedikasinya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tak diragukan lagi. Kalau isi pikiran bisa dihukum, niscaya kita semua akan jadi kriminal.
Jangan Wajarkan TWK-KPK
Selain soal penting untuk tidak menghukum orang karena isi pikirannya, penting juga bagi publik untuk tidak mewajarkan TWK-KPK. TWK yang dilaksanakan di KPK ini tidak wajar, dan jangan sampai diwajarkan. Ini bukan soal kepegawaian biasa, melainkan berkaitan langsung dengan konteks besar serangan pelemahan KPK.
Sudah barang tentu, para pendukung pelemahan KPK akan terus berupaya mewajarkan TWK. Upaya normalisasi TWK ini terus digaungkan dengan memelintir seolah TWK merupakan tes yang wajar, bahwa TWK sama saja dengan tes yang dihadapi oleh jutaan CPNS setiap tahun, dan bahwa 75 Pegawai KPK yang tak lolos hanyalah barisan sakit hati yang “playing victim”, dan hanya mempertahankan jabatannya.
TWK di KPK jelas berbeda dengan tes CPNS yang rutin. Hal yang paling membedakan tentunya adalah tentang konteks pelemahan KPK. Terkuaknya daftar pertanyaan yang bermasalah, hingga munculnya nama-nama pegawai KPK yang tak lolos TWK yang justru memegang kunci penanganan kasus besar di KPK, semakin membuka mata publik bahwa TWK di KPK bukan tes biasa dan tidak wajar.
Banyak yang lupa bahwa pegawai KPK yang mengikuti TWK bukanlah calon pegawai di entry level yang baru mau masuk KPK. Sebanyak 1.351 pegawai KPK mengikuti TWK bukan dalam rangka seleksi ulang, tapi untuk beralih status jadi ASN sesuai amanat UU KPK hasil revisi.
Undang-Undang KPK tidak memerintahkan KPK untuk melakukan seleksi ulang pada pegawainya. Pasal 69C UU KPK mengatur bahwa pegawai KPK yang belum berstatus ASN dapat diangkat jadi ASN paling lama dua tahun sejak UU KPK berlaku. Sigap menindaklanjuti, Presiden Jokowi kemudian menetapkan PP No.41/2020 Tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN (PP Pengalihan)
Jika kita baca secara seksama, baik UU KPK maupun PP Pengalihan sama sekali tidak menggambarkan adanya kemungkinan pegawai KPK bisa gagal beralih jadi ASN, apalagi sampai dipecat. Walau UU KPK menggunakan kalimat “dapat diangkat”, namun tampak jelas desainnya adalah agar seluruh pegawai KPK bisa beralih jadi ASN, paling lambat 17 Oktober 2021.
Pergeseran dari “alih status” jadi “seleksi ulang pegawai” baru terjadi saat pimpinan KPK menetapkan Peraturan KPK No.1/2021 Tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN (Perkom). Ditandatangani Firli Bahuri, Perkom ini menyelipkan tambahan asesmen TWK untuk bisa dianggap memenuhi syarat setia dan taat pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan pemerintah yang sah. Tambahan asesmen TWK ini tidak ditemukan di UU KPK maupun PP Pengalihan. Seperti kita saksikan bersama, proses TWK kemudian berjalan penuh kejanggalan. Meski dinamai sebagai asesmen alias penilaian, TWK dijalankan sebagai seleksi yang mengakibatkan pemecatan pegawai KPK.
Mendukung 75 pegawai KPK yang sedang coba disingkirkan melalui TWK tentunya bukan dalam rangka mengunggulkan mereka dibanding 1200-an pegawai lain. Narasi bahwa mereka yang tak lolos TWK hanya 5,4%, dan oleh karenanya tak signifikan, dapat dilihat sebagai upaya keji untuk mengecilkan mereka jadi sekadar angka tak penting. Padahal publik sudah bisa melihat dengan jelas, betapa mereka adalah orang-orang yang telah membuktikan pengabdiannya untuk pemberantasan korupsi di Indonesia.
Menagih Presiden
Penyingkiran pegawai KPK melalui TWK ini adalah pukulan pamungkas dari rangkaian serangan pelemahan KPK. Serangan ini terkesan dimuluskan jalannya oleh sikap-sikap ambigu Presiden Jokowi, sejak revisi UU KPK dan pemilihan pimpinan KPK yang kontroversial.
Soal TWK, walau kejanggalannya sudah terungkap sejak awal, Presiden Jokowi tak pernah benar-benar mempermasalahkan proses maupun substansi TWK. Dalam pidatonya tanggal 17 Mei 2021, Presiden Jokowi menyatakan bahwa hasil TWK hendaknya tidak serta-merta jadi dasar pemberhentian pegawai KPK. Presiden juga menyatakan bahwa ia sependapat dengan MK bahwa proses pengalihan status tidak boleh merugikan pegawai KPK.
Dibaca sekilas, pidato Presiden Jokowi memang seperti membela pegawai KPK. Namun jika dibaca seksama, ada kalimat-kalimat ambigu dari presiden yang menyediakan ruang tafsir akrobatik bagi Pimpinan KPK maupun Kepala BKN. Kenyataannya, pidato ini kemudian dibaca oleh bawahan presiden seperti umpan lambung untuk smash pamungkas penyingkiran pegawai KPK.
Sepertinya pernyataan presiden agar TWK “tidak serta-merta jadi dasar pemberhentian” dipandang oleh Pimpinan KPK dan Kepala BKN sebagai arahan untuk menjelaskan sederetan pertimbangan aspek dan indikator kenapa ada 51 pegawai yang dinilai negatif tidak dapat bergabung lagi di KPK. Bahkan pendapat presiden yang menyetujui pertimbangan MK bahwa “proses pengalihan status tidak boleh merugikan pegawai KPK”, dimaknai oleh Kepala BKN dengan penjelasan bahwa pegawai KPK akan mendapatkan hak-haknya saat nanti diberhentikan. Puncaknya, Kepala BKN menyatakan bahwa keputusan terkait pegawai KPK tersebut sudah sesuai arahan Presiden Jokowi.
Meski sering terbukti sulit diharapkan, tapi Presiden Jokowi tetap harus ditagih respon dan tanggungjawabnya. Sejak undang-undangnya direvisi, KPK ditegaskan masuk dalam “rumpun kekuasaan eksekutif”. Sudah sepatutnya Presiden Jokowi mengambil langkah penyelesaian agar penyingkiran pegawai KPK bisa dibatalkan. Publik perlu aktif menagih tanggungjawab presiden. Mungkin perlu kita nyanyikan bersama lagu ciptaan Abdee Negara, ketika di tahun 2012 menagih keberpihakan Presiden SBY pada KPK: …Where are you Mr. President?
Sumber: https://new.hukumonline.com/berita/baca/lt60c02f5c54f27/mengadili-isi-kepala-pegawai-kpk/?page=all