Panggung pertunjukan pemilihan presiden sudah semakin terbuka dengan diumumkannya nama bakal calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDI-P. Sayangnya, rakyat masih menjadi penonton di pinggiran. Nama-nama yang muncul barangkali menjadi topik bahasan sembari makan ketupat Lebaran, tetapi selebihnya kita hanya bisa membaca hasil survei.
Lazimnya sebuah survei politik, elektabilitas dimaknai sebagai popularitas bakal calon presiden (dan bakal calon wakil presiden). Elektabilitas penting bagi para bakal calon dan partainya, tetapi sesungguhnya ia menyembunyikan persoalan besar dalam politik Indonesia.
Di banyak negara demokrasi, elektabilitas disebabkan oleh tanggapan seorang calon menyangkut isu-isu yang dianggap penting, seperti soal kekerasan seksual atau program konkret pengurangan listrik bertenaga batubara. Memang, ada pemilih ”ideologis” atau berloyalitas tinggi terhadap partai tertentu, tetapi pemilih bisa berubah pilihannya karena isu-isu yang dianggapnya penting.
Di Amerika Serikat, adanya konvensi internal partai membuat pemilih bisa melihat posisi calon-calon internal partai. Meskipun pada akhirnya partai menentukan calon, adu gagasan diadakan sejak awal secara terbuka. Setelah ada calon dari partai-partai, diadakan lagi debat capres yang juga substantif. Di Jerman, pemimpin partai-partai politik dan calon kuat kanselir juga diundang untuk memperdebatkan isu-isu yang penting bagi pemilih.
Sistem pemilu Indonesia masih menekankan pada popularitas semu. Hanya ada waktu sekitar 2,5 bulan untuk berkampanye (28 November 2023-10 Februari 2024).
Adapun kampanye berupa rapat umum—yang asumsinya memberi ruang berdebat—hanya bisa diadakan kurang dari sebulan, yaitu pada 21 Januari-10 Februari 2024. Sisanya, kampanye hanya bisa digunakan untuk pertemuan terbatas, tatap muka, penyebaran bahan kampanye pemasangan alat peraga. Komisi Pemilihan Umum biasanya mengadakan debat di pengujung masa kampanye. Akan tetapi, acaranya lebih terlihat sebagai seremoni kampanye dengan sorak-sorai pendukung ketimbang dialektika gagasan.
Sementara itu, partai-partai pemilik tiket pencalonan, yaitu partai politik atau gabungan partai politik yang meraih suara 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional pada pemilu lima tahun yang lalu, mendasarkan pencalonannya pada tawar-menawar politik di antara mereka sendiri. Sering dikatakan basisnya adalah elektabilitas. Akan tetapi, apa itu elektabilitas jika popularitas didasarkan hanya pada pengetahuan artifisial tentang calon tersebut?
Sering kali pemilih mengetahui calon karena calon itu sering tampak di baliho, media massa, atau media sosial. Padahal, kerap terjadi bahwa tampil di media sosial dilakukan tidak dalam rangka membicarakan isu penting, tetapi sekadar menghadiri hajatan besar atau membagikan hadiah. Popularitas semu semacam ini bisa digarap oleh lembaga konsultan komunikasi politik. Kita mafhum, survei juga dapat digunakan untuk tujuan menaikkan elektabilitas.
Kalau elektabilitas hanya popularitas dan popularitas bisa dibangun, bisa jadi yang dibicarakan pada pertemuan tertutup bukanlah elektabilitas, tetapi soal-soal lain terkait logistik alias persiapan dana kampanye serta isu politik lainnya, seperti kenyamanan dan keamanan politik.
Jadi, bagaimana seharusnya kita mengukur calon presiden? Daniel Dhakidae (2000) pernah menuliskan tiga alat ukur pokok yang berguna untuk menilai kualitas kinerja politisi dalam rangka mengolah dan mengeksekusi the power of speech yang dimiliki anggota DPR, tetapi poin-poin pentingnya relevan bagi politisi secara umum.
Hal pertama yang perlu dilihat adalah political sensibility (kepekaan politik). Kedua, agar kualitas ini dapat berfungsi optimal, ia harus didukung oleh sebuah kemampuan dasar yang khas, yakni technical ability (kemampuan teknis) yang dimaknai sebagai ”… pengetahuan tentang dan kesadaran akan tanggung jawab seorang anggota Dewan tentang hak dan kewajibannya.”
Ada tiga unsur penting dalam kualitas kemampuan teknis ini, yaitu pengetahuan tentang hak dan kewajiban serta kesadaran akan etos, etika, dan etiket sebagai wakil rakyat. Ketiga, kemampuan metode, yaitu kemampuan wakil rakyat menjaring informasi, menggodoknya dan kemudian memprosesnya dalam pembuatan kebijakan.
Ketiga poin di atas hanya dimungkinkan untuk dilihat dengan melihat rekam jejak calon, selain pandangannya dalam isu terkini. Rekam jejak calon tidak hanya perilaku, tetapi juga konsistensi pandangannya, berguna bagi kita untuk mengukur apakah program yang diajukannya hanya akan menjadi janji kosong atau tidak.
Sementara mendorong perubahan sistem pemilu dan reformasi partai politik untuk pemilu tahun depan, kita mesti bersiap untuk membongkar anggapan umum tentang bangsa Indonesia sebagai bangsa pelupa dan mudah terlena penampilan.
Sebelum memilih, rekam jejak dan pandangan calon tentang isu penting harus kita jadikan panduan.