preloader

Mahkamah Rakyat: Jalan Baru Menggapai Pengadilan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kemana kita harus mencari keadilan saat ruang-ruang pengadilan seakan-akan hanya terbuka bagi mereka yang punya kekuasaan? Pada 1960-an, Bertrand Russell, Jean-Paul Sartre, dan beberapa filsuf lain berkutat dengan pertanyaan ini sehingga mereka beranjak dari pertanyaan filosofis ke aksi mengorganisasikan People’s Tribunal atau Pengadilan Rakyat.

Pengadilan Rakyat yang digelar pada 1966 dan 1967 itu mereka konstruksikan sebagai jalan keluar dari rasa kemanusiaan yang terusik saat melihat kejahatan kemanusiaan dalam Perang Vietnam. Pengadilan rakyat itu mengadili tindakan pemerintah Amerika Serikat yang melakukan kejahatan perang di sana.

Model Pengadilan Rakyat itu sekarang dikenal sebagai “Russell Tribunal” atau “Russell-Sartre Tribunal” yang meluas ke pelbagai belahan dunia. Pada 1974, Pengadilan Rakyat digelar di Brasil, Cile, dan negara Amerika Latin lain dalam isu represi dan pada 2009-2014 untuk isu Palestina. Pada 2015, di Belanda, sekelompok aktivis, akademikus, dan praktisi hukum dari berbagai negara juga pernah mengadakan International People’s Tribunal untuk tindak pidana kemanusiaan di Indonesia pada 1965. Ada pula Tribunal Kejahatan Perang Perempuan untuk Pengadilan Perbudakan Seksual oleh Militer Jepang—atau disebut The Tokyo Women’s Tribunal—pada 2020 di Tokyo, Jepang.

Pengadilan rakyat muncul saat keadilan tidak bisa didapatkan dari institusi formal. Pengadilan rakyat adalah pengadilan dalam arti sesungguhnya. Ia bukan aksi massa yang penuh orasi, melainkan forum berbasis penalaran dan pembuktian yang rapi. Model Russell Tribunal ini mirip mekanisme pengadilan formal pada umumnya dengan tata cara yang ketat. Dalam pengadilan rakyat, penggugat menguraikan secara runtut semua argumen dan alat bukti serta menghadirkan saksi dan ahli dalam persidangan. Lalu majelis hakim membacakan putusan dengan pertimbangan hukum atau legal reasoning yang bisa dipertanggungjawabkan.

Situasi yang dialami oleh Russell dan kawan-kawan pada 1960-an tengah dirasakan di Indonesia hari-hari ini. Ada keputusasaan yang memuncak tatkala melihat hukum dengan mudah disalahgunakan oleh penguasa. Pada 25 Juni 2024, di Depok, Jawa Barat, Mahkamah Rakyat Luar Biasa dengan model Russell Tribunal digelar oleh para pegiat demokrasi. Mereka mengadili kejahatan Presiden Joko Widodo beserta semua partai politik yang ada dalam pemerintahan dan legislatif dengan pendekatan pengaduan konstitusional constitutional complaint.

Rasa frustrasi publik yang paling lekat adalah penyalahgunaan hukum dan kekuasaan dalam konteks Pemilihan Umum 2024. Semua orang bisa melihat bagaimana hukum dibengkokkan oleh pengadilan—baik di Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung saat penguasa ingin memajukan anak-anaknya dalam pemilu. Saat itu pengadil justru tidak adil dan lebih berpihak pada kekuasaan ketimbang pada keadilan.

Ketidakadilan sudah lama dirasakan di banyak tempat di Indonesia. Masyarakat adat tersingkir dari tanah yang mereka tempati bahkan sebelum negara ini secara formal berdiri, hanya karena hak atas tanah mereka belum diakui secara formal oleh pemerintah. Sementara itu, korporasi, apalagi yang juga dimiliki oleh pejabat, bisa dengan mudah mendapatkan sertifikat tanah untuk kepentingan bisnis.

Sementara itu, korupsi, kolusi, dan nepotisme juga mendapatkan tempat yang nyaman. Komisi Pemberantasan Korupsi “dibunuh” melalui revisi undang-undang dan pemilihan pimpinannya. Majalah dalam editorial menyebut KPK sebagai Komisi Politisasi Korupsi ” karena aktor-aktor politik dengan kepentingannya menentukan arah penyelidikan KPK.

Nepotisme juga seakan-akan menjadi normal yang baru. Tanpa etika dan kepatutan dalam penyelenggaraan negara, praktik lancung di daerah untuk membangun dinasti politik sekarang mendapat konfirmasi kebenaran karena juga dilakukan penguasa dalam skala nasional.

Pokok soalnya: bagaimana kita bisa meminta pertanggungjawaban atas segala kekacauan itu? Bagaimana keadilan bisa didapatkan? Apakah keadilan harus selalu dihasilkan dari palu hakim di ruang pengadilan formal? Bagaimana bila ruang pengadilan formal menutup mata dan telinga saat berhadapan dengan warga yang tak punya kekuasaan?

Persepsi tentang keadilan di Indonesia tampak selalu lekat dengan kekuasaan, setidaknya bagi lembaga-lembaga pengadil formal. Bila esensinya dibongkar, kita akan lebih jelas melihat bahwa keadilan tidak hanya berada dalam kerangka formal. Padahal yang terpenting dalam proses keadilan adalah pengungkapan fakta yang ditimbang oleh nalar hakim sebagai pengadil. Karena keadilan sudah dibiaskan oleh kekuasaan, timbangan ini selalu berat sebelah.

Sebagai alternatif pencarian keadilan, Mahkamah Rakyat menentang pakem-pakem formal yang selama ini menghalangi hadirnya keadilan substantif. Di dalamnya terdapat bentuk-bentuk perlawanan terhadap formalitas yang telah mengungkung itu. Hakim pengadilan rakyat bukanlah hakim yang diseleksi sebuah sistem politik dan diresmikan oleh keputusan presiden, melainkan orang-orang yang dikenal karena integritasnya. Penggugatnya diwakili advokat yang jelas keberpihakannya pada keadilan, bukan pada uang dan kekuasaan. Warga yang hadir sebagai peserta sidang bukan mereka yang dimobilisasi dengan iming-iming uang, melainkan siapa saja yang selama ini didampingi dan kemudian difasilitasi untuk hadir dan melihat bagaimana suara mereka mendapat tempat.

Karena diselenggarakan oleh sekelompok orang yang bukan dari kalangan pemerintahan, memang, pengadilan rakyat tidak memiliki dampak langsung serupa sanksi kepada “terdakwa” yang dinyatakan bersalah. Namun gagasan itu penting dalam mengungkap berbagai persoalan warga biasa, yang selama ini dianggap tidak eksis. Pengadilan rakyat juga menunjukkan kejahatan dan kelicikan atas nama kekuasaan sehingga pengadilan formal tak mampu menjangkaunya.

Kemanusiaan adalah soal mutlak dalam nalar atau akal budi manusia. Nalar kemanusiaan itu tidak lantas hilang hanya karena institusi-institusi negara tak mampu menjamahnya. Mahkamah Rakyat bukan soal kebencian kepada penguasa, tapi nalar kemanusiaan tentang keadilan yang diretas. Karena itu, yang pertama kali mengonsepkan pengadilan rakyat adalah Bertrand Russell yang sebenarnya seorang filsuf serta ahli matematika dan logika.

Ketika mengadili pemerintah Amerika Serikat dalam People’s Tribunal 1966, Russell yang berkewarganegaraan Inggris tidak sedang menentang pemerintah Amerika Serikat. Ia sedang menyoal nalar kemanusiaan yang menemui jalan buntu. Pada 1950, Russell menerima Hadiah Nobel Sastra sebagai penghargaan atas komitmennya pada ilmu pengetahuan dan kemanusiaan.

Putusan Mahkamah Rakyat memang tak menimbulkan sanksi pidana ataupun administratif, tapi semua dokumen, kesaksian, dan penalaran hukum dalam proses ini bisa menjadi bahan dalam proses politik dan hukum dalam ruang-ruang formal, baik secara nasional maupun internasional. Misalnya dalam fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat dan proses di berbagai pengadilan serta forum-forum internasional mengenai hak asasi manusia.

Meski tak berdampak hukum formal, semestinya Mahkamah Rakyat membuat Presiden Joko Widodo dan semua partai politik di pemerintahan dan legislatif memikirkan berbagai pelanggaran konstitusi yang sudah mereka lakukan. Tentu sulit mengharapkan adanya perubahan pada pihak yang melanjutkan kekuasaan, karena justru pelanggaran-pelanggaran konstitusional itu yang membuat mereka berkuasa. Bagi mereka yang berada di luar pemerintahan, Mahkamah Rakyat menunjukkan kekuatan nalar dan pembuktian serta konsolidasi warga sebagai bagian dari kekuatan penyeimbang.

Lebih dari semua itu, Mahkamah Rakyat adalah sebuah proses pendidikan politik yang penting bagi warga Indonesia. Tak ada jalan lain, warga negara adalah kekuatan penyeimbang kekuasaan dalam demokrasi yang nyaris tanpa kontrol.

 

Penulis: Bivitri Susanti

Sumber: https://majalah.tempo.co/read/kolom/171834/pengadilan-mahkamah-rakyat                   

Dipublikasikan oleh:

Bivitri Susanti

Bivitri Susanti merupakan pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera. Ia pernah menjadi menjadi research fellow di Harvard Kennedy School of Government pada 2013-2014, visiting fellow di Australian National University School of Regulation and Global Governance pada 2016, dan visiting professor di University of Tokyo, Jepang pada 2018.