TAK ada yang perlu ditakuti dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi, kecuali bila kita berasumsi perilaku manusia hanya bisa diatur oleh hukum dan bila kita berpandangan tidak bisa ada kekerasan dalam relasi tentang seksualitas manusia.
Mereka yang khawatir terhadap frase “tanpa persetujuan korban” sebagai legalisasi zina mengabaikan fakta tentang adanya norma-norma lain yang menata kehidupan masyarakat dan gagal melihat dengan jernih tujuan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 ini.
Norma hukum bersisian dan berkelindan dengan norma-norma agama, kesusilaan, dan kesopanan. Tidak semua hal yang sudah ada dalam norma agama, kesusilaan, dan kesopanan harus menjadi norma hukum untuk bisa diterapkan. Pelanggaran terhadap norma-norma nonhukum juga bisa berujung pada penerapan norma hukum.
Norma-norma di luar hukum itu yang akan membatasi relasi seksual secara sukarela di kampus. Jika seorang dosen melakukan hubungan terlarang dengan mahasiswanya di kampus, dan salah satunya sudah menikah, ia melanggar pasal zina dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Apabila ada dua mahasiswa berciuman di tempat terbuka, norma kesusilaan akan menyetop mereka. Mungkin mereka melanggar kode etik kampus yang sanksinya berupa skors atau dikeluarkan.
Para penolak Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 menyimpulkan larangan hubungan seksual tanpa persetujuan akan membolehkan hubungan seksual yang didasari persetujuan mengandung sesat logika fatal. Istilah penafsiran hukum “argumentum a contrario” kerap digunakan untuk mengesankan validitas kesimpulan ini. Padahal, untuk menggunakan model logika “argumentum a contrario,” seorang penafsir disyaratkan untuk melihat tujuan hukum itu dibuat, supaya penafsir tidak membuat kesimpulan di wilayah diskusi yang berbeda. Intensi Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 memang hanya untuk kekerasan seksual, bukan mengatur semua hubungan seksual.
Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 adalah upaya pembuat kebijakan menjangkau apa yang selama ini belum bisa dijangkau oleh norma yang sudah ada, yakni relasi seksual akibat kekerasan. Batas kekerasan inilah yang kemudian harus didefinisikan agar hukum bisa diterapkan. Di mana batas antara kekerasan dan perilaku seksual yang diinginkan? Jawabannya ada pada persetujuan kedua belah pihak.
Dalam hukum, konsep persetujuan lazim diterapkan dan sering menjadi batas tindakan yang dibolehkan dan dilanggar. Bila seseorang mengambil barang orang lain setelah mendapat persetujuan dari pemiliknya, ia disebut meminjam. Sebaliknya, jika ia mengambil barang tanpa persetujuan pemiliknya, ia tergolong mencuri. Mencuri adalah tindak pidana.
Persetujuan juga berlaku pada dokter yang hendak mengambil tindakan untuk menyelamatkan pasien. Juga saat kita melakukan berbagai macam perjanjian. Maka kita patut mempertanyakan, mengapa untuk otoritas atas tubuh persetujuan menjadi masalah
Jawabannya amat ideologis, yaitu mengenai cara pandang bahwa tidak mungkin ada kekerasan dalam relasi tentang seksualitas manusia. Cara pandang kuno ini didasarkan pada pemahaman yang belum tuntas tentang martabat manusia. Karena soalnya ideologis, kita hanya bisa berharap statistik dan uraian fakta kasus-kasus kekerasan seksual akan membantu menuntaskan pemahaman tentang kemanusiaan dan martabat kita.
Persetujuan sebagai penanda batas antara kekerasan dan kesukarelaan dalam hubungan seksual penting karena dua sebab. Pertama, dampak kekerasan seksual terkadang tidak bisa dilihat secara kasatmata. Misalnya, seorang ekshibisionis yang menunjukkan alat kelaminnya ke muka publik tidak akan menimbulkan luka fisik pada korban, tapi ada trauma psikologis. Dampak psikologis ini yang masih menjadi tantangan dalam pembuktian hukum, meski nyata.
Kedua, ada atau tidak adanya persetujuan sebagai penanda batas kekerasan juga penting karena persetujuan hanya bisa diberikan bila ada kesetaraan. Nyatanya hubungan antarmanusia tidak selalu setara. Ketidaksetaraan ini bisa terjadi karena usia, yang tak bisa dicegah dan ditolak. Karena itu, dalam hukum ada istilah age of consent yang kita kenal di Indonesia sebagai “usia dewasa”.
Ketidaksetaraan juga terjadi saat seseorang tidak bisa menolak suatu perlakuan karena ada hubungan atasan-bawahan atau senior-junior di kampus. Persetujuan kadang hanya diasumsikan, karena cara pandang kuno yang bias gender, seperti perempuan yang diam saja berarti setuju atau orang yang tidak melawan berarti menginginkan. Ada pula ketidakmampuan menyatakan tidak setuju karena, misalnya, menyandang disabilitas atau takut tidak lulus dalam hubungan dosen-mahasiswa. Hal-hal ini yang kita kenal dengan “relasi kuasa,” yaitu pandangan mengenai hubungan antara yang dominan dan yang lemah.
Disebutnya frasa “persetujuan korban” berkali-kali dalam Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 itu tidak bertujuan membolehkan hubungan seksual bila ada persetujuan, melainkan untuk merujuk pada situasi ketika persetujuan diberikan dalam situasi tidak setara. Peraturan menteri ini merincikan relasi kuasa ini: usia belum dewasa; pelaku mengancam, memaksa, atau menyalahgunakan kedudukan; di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, atau narkotik; sakit, tidak sadar, atau tertidur; fisik atau psikologis yang rentan; mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility); serta kondisi terguncang (pasal 5 ayat 3). Penyebutan “persetujuan” dalam definisi kekerasan seksual mengacu pada rincian ini.
Mari kita perhatikan dengan saksama judul peraturan ini: pencegahan dan penanganan. Peraturan ini tidak sedang membuat larangan perilaku atau sanksi pidana baru, yang memang tidak boleh dimuat dalam sebuah peraturan menteri. Namun frasa “kekerasan seksual” itu sendiri harus didefinisikan lebih dulu agar peraturan ini bisa diterapkan. Bagaimana pencegahan dan penanganan kekerasan seksual bisa dilakukan jika kita tidak bisa mengenali apa yang akan dicegah dan ditangani?
Di banyak negara, peraturan semacam ini sudah jamak. Ada pelatihan-pelatihan rutin di kampus-kampus, bagi dosen dan tenaga kependidikan, agar mampu mengenali batas-batas kapan sebuah hubungan boleh dan tidak boleh dilakukan dan apa saja bentuk sentuhan ataupun perkataan yang sama sekali tidak dibolehkan agar batas kekerasan seksual tidak terlewati. Inilah salah satu bentuk upaya pencegahan yang diperkenalkan oleh peraturan menteri ini.
Banyak persoalan kekerasan seksual yang harus ditangani di Indonesia. Korban terus berjatuhan sementara anggota Dewan Perwakilan Rakyat masih berkutat dalam tahap penyusunan dan belum memulai tahap pembahasan. Karena itu, lembaga mana pun yang bisa segera melakukan upaya mencegah dan menangani korban harus segera bertindak sesuai dengan kewenangan mereka miliki. Di tengah kebuntuan itu, lahir permendikbud ini. Apalagi kelahirannya berdasarkan studi yang menemukan betapa angka kekerasan seksual di kampus begitu tinggi sehingga pengesahannya berbasis data.
Karena itulah, lahirnya permendikbud ini patut diapresiasi. Sama seperti kita mengapresiasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, Surat Edaran Gubernur DKI Nomor 7/SE/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Kerja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, serta berbagai peraturan internal lain untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual.
Naif apabila kita membayangkan bahwa setelah Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 diterapkan, kampus akan penuh dengan adegan mesum karena hubungan seksual dengan persetujuan tidak dilarang oleh peraturan ini. Imajinasi liar ini hanya muncul jika kita menganggap pendidikan formal dan nilai-nilai keluarga gagal mengenalkan norma-norma agama, kesusilaan, dan kesopanan.
Sumber: https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/164623/mengapa-kita-perlu-aturan-mencegah-kekerasan-seksual-di-kampus