Sejak kapan mendiskusikan riset disebut kejahatan? Fatia Maulidiyanti, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, menggugat melalui pertanyaan ini ketika membacakan pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin, 27 November 2023. Jawabannya tentu: tidak pernah. Berdiskusi dan mengkritik kapan pun tidak boleh dianggap sebagai kejahatan dalam sebuah negara demokrasi. Tapi di situlah titik soalnya: apakah demokrasi di Indonesia adalah demokrasi substantif atau semata prosedural yang sandaran penilaiannya hanya pada adanya institusi-institusi penyelenggara negara dan penyelenggaraan pemilihan umum.
Fatia dan Haris Azhar, pembela hak asasi manusia, didakwa menyiarkan berita bohong yang melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pencemaran nama dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik karena mendiskusikan hasil riset tentang Papua di YouTube. Riset berjudul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya” itu diterbitkan pada Agustus 2021 oleh Koalisi Bersihkan Indonesia, organisasi masyarakat sipil. Persoalannya, menurut jaksa, diskusi riset itu membuat Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, orang yang namanya disebut dalam studi tersebut, sakit hati.
Membuat seseorang sakit hati, menteri ataupun bukan, semestinya bukan kejahatan yang bisa dipidanakan karena tidak mengganggu publik. Luhut Pandjaitan sama seperti Cinta menghujat Rangga dalam film Ada Apa dengan Cinta karena mengabaikannya: “yang kamu lakukan ke saya itu jahat.” Karena menyangkut perasaan yang tak ada urusannya dengan publik, perlakuannya pun semestinya sama: Cinta tak memperkarakan perbuatan Rangga itu memakai hukum pidana.
Hukum pidana dikonsepsikan mengatur dengan ketat tindakan-tindakan yang mengganggu kehidupan bermasyarakat. Pembunuhan, pencurian, dan penipuan adalah contoh tindakan yang jelas harus dianggap kejahatan. Hukum pidana mengaturnya agar tindakan-tindakan itu mendapat hukuman. Tapi penghukuman sesungguhnya adalah pelanggaran hak asasi manusia yang dibolehkan atas nama hukum. Karena itu, bukan hanya kualifikasinya yang ketat. Proses pemeriksaan sampai sanksi atau vonis juga harus diatur sangat ketat agar tak menyalahgunakan hukum. Misalnya, memenjarakan orang yang tak bersalah.
Hukum pidana kini berkembang dalam koridor keadilan dan kemanusiaan sehingga sanksi bukan soal pembalasan dendam atau keadilan retributif seperti pada masa lalu. Memenjarakan penipu tak bertujuan melampiaskan rasa kesal orang yang ditipu, melainkan menimbulkan efek jera. Maka sakit hati seseorang tidak semestinya juga dilampiaskan dengan memenjarakan orang yang membuatnya sakit hati. Hukum pidana tidak didasarkan pada logika hukum antarpihak yang privat, melainkan hukum publik.
Apa lacur, justru karena efek menghukumnya yang kuat dengan legitimasi legal, hukum pidana kerap digunakan untuk kepentingan kekuasaan yang bengis. Literatur hukum mengenal istilah sedition law, yaitu kerangka hukum yang mengatur penghasutan untuk melawan penguasa. Model sedition law ini mulai digunakan secara sistematis pada abad ke-16 oleh pemerintah Inggris. Akarnya pemerintahan pada masa Romawi saat mulai ada orang yang melawan kekuasaan. Pada masa pemerintahan Ratu Elizabeth I,sedition law dimaknai sebagai gagasan melalui kata-kata lisan dan tulisan yang melawan negara atau kekuasaan (Breight, 1996). Ketentuan ini marak dipakai negara penjajah di tanah jajahannya untuk mencegah pemberontakan masyarakat di koloninya. Belanda membawanya dalam KUHP untuk penduduk Nusantara.
Dalam sebuah konferensi pegiat demokrasi yang membahas sedition law pada Maret 2023, pengalaman berbagai negara kami bahas dan bandingkan. Kesimpulannya, ada tren di berbagai belahan dunia tentang penggunaan hukum untuk membungkam kritik terhadap kekuasaan atau kemapanan. Di negara bekas koloni, hukum yang berlaku sekarang juga warisan pemerintahan kolonial yang berwatak menindas. Dengan demikian, segala bentuk kritik kepada penguasa dan unjuk rasa dianggap berbahaya. Sebab, hal itu bisa menggoyahkan kekuasaan pemerintah kolonial yang sedang mengeksploitasi sumber daya tanah jajahannya. Pidato, pamflet, atau terbitan lain yang dianggap bisa menghasut orang banyak untuk memberontak dianggap mengancam kemapanan penguasa kolonial.
Ternyata hukum seperti ini disukai oleh pemerintah yang juga ingin menggunakan hukum pidana untuk membungkam kebebasan berpendapat. Sebagian negara mempertahankan hukum kolonial meski sudah merdeka, sebagian lagi mereproduksi pendekatan yang sama. Adanya hukum serupa pada masa lalu dianggap sebagai legitimasi bagi model pengaturan itu dalam kerangka menjaga ketertiban dan nama baik penguasa.
Ada dua model kekuasaan yang kerap menggunakan hukum antipenghasutan warisan kolonial. Pertama, pemerintah yang banyak melakukan pelanggaran hak dan korupsi. Kedua, pemerintah yang berupa melindungi kekuasaan monarki ataupun agama dan suku mayoritas.
Cara pandang hukum antipenghasutan adalah kepentingan negara dengan penguasa yang dianggap sebagai negara. Dalam ungkapan yang terkenal Raja Louis XIV dari Prancis, L’ etat c ‘est moi, negara adalah saya. Padahal inilah titik pembeda antara negara hukum dan negara kekuasaan. Dalam konsep negara hukum, titik tekannya ada pada kekuasaan yang bisa berlebihan sehingga harus dibatasi oleh pemenuhan, pelindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi warga. Negara adalah warga. Karena itu, penguasa justru harus mempertanggungjawabkan cara dan perilakunya dalam menjalankan kekuasaan negara kepada warga. Konstitusi dan hukum harus mengoperasikan konsep ini. Ketika penguasa menyalahgunakan kekuasaannya, misalnya dengan melakukan korupsi atau melanggar hak asasi manusia, hukum harus membiarkan warga membahas dan mengkritiknya serta membawanya ke institusi hukum.
Selain soal rasa tersinggung, Fatia dan Haris dianggap menyebarkan berita bohong yang menimbulkan keonaran dalam siniar tersebut. Masalahnya, apakah riset itu suatu kebohongan atau tidak, ini juga tidak diungkapkan dengan terang di sidang. Dalam riset, mungkin saja ada kesalahan data atau penyimpulan. Kesalahan-kesalahan ini, dalam sebuah negara hukum, seharusnya dibantah dengan riset pula, atau setidaknya membahas data yang dianggap salah. Bukan membawa periset atau orang-orang yang mendiskusikannya ke muka hakim dengan tujuan menghukum mereka.
Membawa diskusi dan riset ke pengadilan membuat inti penelitian itu, yaitu penempatan militer di Papua, malah tidak terselesaikan. Fatia dan Haris mengungkapkan banyak persoalan di Papua selama sidang berlangsung, tapi negara hanya berfokus pada bagaimana diskusi di sebuah ruang digital bisa membuat keonaran dan mencemarkan nama seorang menteri.
Kebebasan berpendapat di Indonesia memang sangat buruk. Kasus Fatia dan Haris bukan satu-satunya. Pola pembungkaman berpendapat melalui hukum banyak terjadi, meski tak semuanya menggunakan pasal yang sama. Misalnya kejadian yang dialami Budi Pego. Aktivis lingkungan ini memprotes rencana penambangan emas di Banyuwangi, Jawa Timur. Ia didakwa memakai pasal kejahatan terhadap keamanan negara karena dianggap menyebarkan ajaran komunisme. Pada Mei 2023, sejumlah orang dan aktivis juga mendapat tuduhan pidana penghasutan saat memprotes pembayaran ganti rugi atas rumah dan kebun mereka yang digusur untuk proyek jalan.
Alih-alih menjalankan kekuasaan secara adil, pembuat dan aparat hukum menyalahgunakan hukum untuk melanggar hak setiap orang berpendapat. Kenyataan ini adalah ironi dalam demokrasi, karena hukum dibuat dalam sebuah tatanan demokrasi. Catatan Haris Azhar dalam pleidoi yang dibacakannya pada 27 November 2023 meringkas fenomena ini dengan pas “Demokrasi runtuh dari dalam, dikhianati oleh orang-orang yang justru dimuliakan lewat proses demokratis, diangkat ke jabatan yang tinggi dengan segala keistimewaannya lewat demokrasi. Ketika demokrasi tidak lagi memenuhi kepentingannya, mereka memilih membunuhnya.”
Sumber: https://majalah.tempo.co/read/kolom/170329/ironi-demokrasi