PADA 1957, ketika Sukarno memerintahkan Suwiryo membentuk “Kabinet-Zaken” secara resmi dalam sebuah keputusan presiden, presiden pertama Indonesia itu mulai tak sabar dengan kabinet yang tujuh kali berganti sejak Undang-Undang Dasar Sementara 1950 berlaku. Puluhan tahun kemudian, istilah “kabinet zaken” muncul karena kita juga mulai tak sabar melihat perilaku politikus dalam pemerintahan yang memperlakukan negara seperti perusahaan penghasil kekayaan bagi diri dan gerombolannya.
Hari ini kita menggunakan istilah “kabinet zaken” untuk menamai harapan tentang pemerintahan yang lebih baik, meskipun frasa itu dibawa Sukarno dalam konteks sistem pemerintahan yang berbeda dengan hari ini, yaitu sistem parlementer. Uniknya, istilah kabinet zaken disebut setiap kali ada pergantian pemerintahan setelah Reformasi yang bersistem presidensial. Padahal percakapan tentang kabinet zaken semestinya tak muncul dalam sistem ini karena wewenang menentukan menteri sepenuhnya ada pada presiden. Nyatanya, situasi multipartai dalam sistem kita membuat presiden kerap harus berpikir seperti perdana menteri dalam membentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan menghimpun koalisi. Masalahnya, koalisi saat ini dibentuk oleh partai-partai politik yang melihat jabatan hanya sebagai alat untuk merawat kekuasaan dan sumber dana. Akibatnya, yang terbentuk dalam dunia politik Indonesia adalah kartel politik (Slater, 2004; Ambardi, 2009).
Kartel politik beroperasi serupa kartel dagang: mengatur transaksi di antara mereka sendiri untuk kepentingan mereka sendiri. Sementara kartel dagang merugikan konsumen, kartel politik merugikan publik, bahkan menggerogoti republik. Sementara kartel dagang membagi penguasaan komoditas perdagangan, kartel politik membagi kekuasaan dengan jabatan-jabatan. Ini yang kita lihat dalam susunan kabinet pemerintahan Prabowo Subianto. Sulit bagi kita tak menilai susunan menteri dalam Kabinet Merah Putih hanya pembagian kue kekuasaan karena kabinet ini dimulai bahkan sebelum Prabowo dilantik menjadi presiden. Undang-undang kementerian negara diubah untuk mempermudah pembagian jabatan menteri beberapa minggu sebelum presiden baru dilantik. Demikian pula undang-undang tentang dewan pertimbangan presiden yang kelak menjadi tempat parkir beberapa nama yang dianggap berjasa memenangkan Prabowo dalam pemilihan presiden.
Saat ini Indonesia memiliki jumlah menteri dan wakil menteri yang besar: 109, terdiri atas 48 kementerian dan 5 badan, berikut 56 wakil menteri. Tentu saja, tak ada teori tentang jumlah menteri ideal. Jumlah menteri tak bergantung pada luas wilayah atau banyaknya penduduk. Tapi, dalam kabinet negara modern, jumlah menteri semestinya mengacu pada teori organisasi, karena negara pada dasarnya adalah organisasi kekuasaan. Tumpuan teori organisasi modern biasanya efisiensi dan efektivitas, yang bisa dianalisis berdasarkan tujuan organisasi yang diterjemahkan ke dalam unit-unitnya.
Dalam konteks pemerintahan, kekuasaan eksekutif dipilah menjadi wewenang-wewenang yang dibutuhkan dalam mengelola negara. Wewenang yang bersifat abstrak dibuat dalam bentuk yang lebih konkret dalam bentuk kementerian dan relasi antarkementerian. Basisnya wewenang, bukan jabatan. Karena itu, banyaknya jabatan tidak akan serta-merta membuat suatu pemerintahan efektif. Efektivitas bisa didapat bila ada kewenangan yang jelas. Nyatanya, dalam catatan birokrasi Indonesia, yang kerap terjadi justru tumpang-tindih kewenangan. Fenomena obesitas regulasi serta panjangnya pengurusan dokumen dalam birokrasi dan perizinan adalah gejala silang sengkarut kewenangan.
Efisiensi, dalam konteks bernegara, akan mengantarkan kita pada biaya akibat besarnya kabinet. Dipecahnya beberapa kementerian, ditambah dengan wakil menteri, berarti menambah biaya untuk gaji dan fasilitas kerja. Kantor-kantor baru harus dicari, staf-staf baru harus direkrut atau dipindahkan dari tempat lain. Paling tidak, dalam setahun pertama, pemerintahan akan disibukkan oleh hal-hal seperti ini. Sementara itu, situasi ekonomi juga tidak menggembirakan dan anggaran tahun ini sudah ditetapkan sebelum pemerintahan baru berjalan. Alokasi anggaran berdasarkan postur pemerintahan baru seharusnya menunggu sampai adanya kesempatan mengubah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pertengahan tahun depan.
Tak berhenti pada jabatan menteri dan wakil menteri yang berlebihan, Prabowo juga mengenalkan jabatan utusan khusus dan penasihat khusus. Penasihat khusus dikoordinasikan oleh Sekretaris Kabinet, yang sebenarnya menimbulkan konsekuensi kelembagaan serius karena Sekretariat Kabinet ditujukan mengatur administrasi, termasuk peraturan perundang-undangan dan protokoler. Dalam struktur kementerian yang ditopang direktorat jenderal yang mengelola kewenangan teknis, jabatan wakil menteri sebenarnya tak diperlukan.
Memang, penunjukan pembantu adalah hak prerogatif presiden. Tidak ada benar dan salah dalam tata kelola pemerintahan seperti dalam matematika dan ilmu pasti. Tapi tata kelola pemerintahan, tata negara, dan politik harus tetap ada ukurannya karena negara demokrasi bertumpu pada pengelolaan negara untuk demos, untuk warga negara. Sebab, negara eksis karena warga, bukan sebaliknya. Maka, dalam negara demokrasi, ukuran pengelolaan negara adalah sejauh mana pemerintahan didesain untuk menghormati, memenuhi, dan melindungi hak-hak warga negara. Jangan sampai pengelolaan negara hanya untuk kebaikan elite politik. Berbagai sumber daya—alam, manusia, uang hasil memajaki penduduk—tak boleh digunakan hanya untuk kepentingan kelompok-kelompok yang dekat dengan kekuasaan.
Maka penggunaan hak prerogatif presiden ini perlu dianalisis untuk bisa membaca arah dan karakter pemerintahan lima tahun ke depan. Kita bisa meminjam istilah yang digunakan Juan Linz (1990): ”consociational democracy” atau demokrasi yang dibangun dengan membentuk kerja sama di antara kelompok-kelompok yang berbeda untuk membagi kekuasaan. Kelompok yang berbeda di sini bukan hanya soal perbedaan kepentingan, tapi kelompok yang memegang kekuatan sosial yang signifikan dalam sebuah negara. Linz memotretnya dari fenomena di Belanda pada abad ke-19, meskipun ia sendiri mengakui bahwa fenomena ini sudah terjadi sejak dulu. Model demokrasi ini pada intinya mencoba meleburkan kekuatan-kekuatan sosial agar terbentuk stabilitas dalam pemerintahan.
Pendekatan ini seharusnya dibatasi oleh dua hal agar tetap bisa dikatakan demokratis, bukan otokrasi. Pertama, karena demokrasi bertumpu pada akuntabilitas warga negara, peleburan tidak boleh menghilangkan pengawasan. Pembentukan pemerintahan yang bersifat konsosiasonalisme tetap harus dibuat dengan membiarkan adanya “oposisi” yang efektif, bukan sekadar nama. Semua pengambilan keputusan harus tetap bisa diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan lembaga yudikatif secara efektif. Kedua, kabinet yang bersifat consociational ini harus berhenti pada tujuan untuk meleburkan kekuatan sosial, bukan membuka jalan menuju kartel politik yang merugikan warga negara.
Untuk menguji keduanya, kita harus melihat siapa yang menduduki jabatan-jabatan dalam pemerintahan. Sejauh ini kepentingan balas budi lebih terlihat ketimbang rekam jejak sesuai dengan bidang kementerian. Ada sebagian menteri yang langsung terlihat koneksinya dengan partai politik atau pengusaha besar. Sebagian lagi mungkin tak langsung bisa ditelusuri jejak formalnya, tapi rekaman perilakunya menunjukkan koneksi kepada partai politik ataupun pengusaha besar.
Tentu ada pula menteri atau wakil menteri yang punya rekam jejak yang meyakinkan, tapi karakter pemerintahan tak ditentukan hanya oleh segelintir orang, melainkan desain organisasi serta cara pemerintahan dikonstruksikan. Tak mudah memberikan nilai positif atau benefit of the doubt pada titik ini. Bukan hanya analisis karakternya yang menimbulkan skeptisisme, pengorganisasian pemerintahan pun dimulai dengan mengubah lebih dulu aturan main yang ada, sama persis dengan bagaimana pemerintahan ini mendapatkan kekuasaan.
Sumber: https://majalah.tempo.co/read/kolom/172681/kabinet-prabowo-subianto