Kita semua dibuat tercengang. Penangkapan mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Rikar, yang diduga terlibat suap kasus Gregorius Ronald Tannur, membuka tabir pengurusan perkara selama belasan tahun dengan nilai fantastis.
Bersamaan dengan itu, tiga hakim kasus pembunuhan Dini Sera Afrianti di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya ditangkap karena dugaan suap (Kompas, 5/11/2024).
Sebelumnya, hakim agung Gazalba Saleh divonis 10 tahun penjara karena korupsi dan pencucian uang terkait pengurusan perkara (Kompas, 15/10/ 2024). Ini tak lama setelah hakim agung Sudradjad Dimyati dihukum MA tujuh tahun penjara karena suap.
Aktor lain yang tak luput disebut saat membahas korupsi di pengadilan ialah mantan Sekretaris MA Hasbi Hasan dan Nurhadi, beberapa hakim yustisial dan pegawai di MA, serta tidak sedikit hakim dan panitera di pengadilan tingkat pertama dan banding.
Sebagian hakim, advokat, jaksa, polisi, terjebak dalam strategi litigasi dan penanganan perkara yang bersifat sembrono (frivolous).
Pola korupsi di lembaga peradilan
Dari kasus-kasus itu, termasuk dari informasi yang diterima Komisi Yudisial, bisa ditarik beberapa pola dalam korupsi peradilan yang menjadikannya relatif sulit diberantas.
Transaksi perkara umumnya dilakukan tunai. Tujuannya untuk menghindari deteksi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan lembaga penegak hukum.
Mata uang asing (dollar Singapura atau dollar AS) dengan pecahan besar (misalnya 1.000 dollar) biasa digunakan agar tumpukan uang kartal yang beredar tidak mencolok.
Mayoritas transaksi menggunakan perantara, baik pegawai, panitera, maupun pejabat di pengadilan. Pegawai biasanya jadi pintu masuk. Mereka lincah karena sering di luar radar. Panitera punya kemampuan menyalurkan komunikasi ke majelis hakim yang dibantunya dalam perkara tertentu.
Sementara, pejabat, karena keluasan jaringan dan pengaruhnya, bisa menjangkau hakim yang ditarget, di mana pun mereka, apa pun perkara yang dipegangnya. Inisiatif transaksi tak melulu datang dari pihak berperkara, kadang tawaran justru datang dari sisi pengadilan.
Pola lain adalah nilai korupsi yang beragam. Mulai dari hitungan juta hingga miliar, tergantung jenis dan tingkat penanganan perkara. Selain uang, tidak jarang yang diterima adalah janji, yang baru akan ditunaikan beberapa waktu kemudian, atau setelah berakhirnya masa tugas. Tentu saja komoditasnya adalah produk kekuasaan kehakiman, mulai dari putusan, penetapan, bahkan hingga ke komposisi majelis hakim, yang diatur sesuai pesanan.
Dalam praktik gelap peradilan, muncul pula apa yang dinamakan ”menembak di atas kuda”. Ini terjadi ketika sebenarnya yang diperjualbelikan hanyalah bocoran informasi putusan, oleh oknum yang secara sepihak mengklaim memengaruhi isi putusan tersebut, meski sesungguhnya perkara diputus secara benar dan sesuai.
Pola terakhir yang bisa diungkap, korupsi peradilan umumnya mengandalkan kepercayaan buta. Jarang sekali ada bukti transaksi, baik mengenai nilainya, pihaknya, maupun obyeknya. Maksudnya, mengaburkan dan tak menyisakan sedikit pun jejak untuk ditelusuri.
Tafsir independensi hakim yang absolut
Ada beberapa penyebab yang dapat diidentifikasi, internal ataupun eksternal, kenapa korupsi peradilan terus terjadi, meski harus diakui MA dan pengadilan tidak pernah sepi dari aktivitas reformasi.
Secara internal, rasanya ada pemahaman keliru selama ini tentang independensi hakim.
Kuat pandangan, independensi hakim bersifat absolut dan individual. Bersih dan kompeten secara individu sudah cukup. Tidak boleh ada pretensi meragukan, apalagi mempertanyakan, kebersihan dan kompetensi hakim lain yang punya independensinya sendiri.
Akibatnya, para hakim jadi tidak merasa terpanggil untuk saling mengawasi, bahkan ketika bau amis terendus oleh penciuman mereka yang karena posisinya, paling sensitif.
Putusan hakim yang salah, atau dibuat dengan cara salah, seolah hanya bisa dikoreksi lewat upaya hukum. Bahkan jika kesalahan tersebut terindikasi mengandung itikad buruk dan rekayasa, seperti tidak ada konsekuensi langsung yang diterima hakim pemutus, selain dampak pada perkaranya.
Absolutisme dalam memandang independensi hakim ini agaknya sejalan dengan mati surinya eksaminasi putusan. Dulu hakim dinilai dan dibina berdasarkan jumlah perkara yang diputus dan kualitas dari putusan-putusan itu. Sekarang mekanisme itu hampir dilupakan (Mahkamah Agung, 2003).
Reformasi peradilan masih berkutat pada hal-hal yang sifatnya kelembagaan dan prosedural, belum optimal menyentuh aspek yang lebih substansial dan kultural (Crouch, 2021), seperti peningkatan kualitas dan konsistensi putusan serta pengelolaan konflik kepentingan.
Pembudayaan sikap antikorupsi pun seakan cukup diselebrasi dengan sertifikasi formal pengadilan.
Absennya lingkungan yang memampukan
Secara eksternal, kerangka legislasi di bidang peradilan masih banyak kelemahan. UU MA hanya salah satunya, yang masih mengintroduksi pembatasan perkara secara minimal. Hanya kasasi pidana dan tata usaha negara (TUN) yang dibatasi, itu pun secara sempit.
Kasasi perdata belum dibatasi sama sekali. Padahal, terbukti dari satu perkara perdata, seperti KSP Intidana, atau satu perkara pidana seperti kasus Ronald Tannur saja, jagat peradilan kita sudah berlumuran suap di sana-sini. Bayangkan apa jadinya jika 27.000 perkara lain yang masuk ke MA pada 2023, karena tidak dibatasi, ikut tercemari praktik korupsi.
Penyebab eksternal lainnya ialah kelemahan di sisi lembaga penegak hukum dan lembaga pengawas eksternal. Lembaga penegak hukum, baik KPK maupun kejaksaan, agaknya masih enggan menjadikan korupsi peradilan sebagai prioritas.
Padahal, membongkar suatu praktik korupsi di pengadilan bak membuka kotak pandora. Korupsi lain potensial ikut terungkap karena jaringan yang relatif berujung pada aktor-aktor tertentu meski mungkin ada regenerasi. Keengganan tersebut pasti ada sebabnya. Bukan mustahil ada efek bumerang yang dihindari.
KY yang punya mandat spesifik mengawasi hakim pun memang didesain sebagai lembaga penegak etika perilaku.
Desain itu menjadikan kewenangannya terbatas. Apalagi, dalam perjalanannya, KY terus dilemahkan, baik lewat uji materi berbagai UU yang mengatur kewenangannya maupun melalui kriminalisasi sebagian anggotanya, pun saat menjalankan fungsi (Rositawati, 2022).
Penyebab eksternal berikutnya adalah pragmatisme yang makin menjalar di kalangan komunitas hukum. Sebagian hakim, advokat, jaksa, polisi, terjebak dalam strategi litigasi dan penanganan perkara yang bersifat sembrono (frivolous).
Perkara tanpa dasar kuat sekalipun terus digulirkan hingga ke level tertinggi (kasasi, bahkan peninjauan kembali) sambil berharap pengadilan lengah di titik tertentu dan memutus sesuai keinginan mereka, atau guna memanjangkan umur perkara supaya peluang transaksi terus menganga.
Strategi litigasi dan penanganan perkara yang menyusahkan (vexatious), bahkan jahat (malicious), juga makin kerap dilancarkan. Akademisi hukum yang seharusnya ambil jarak dari ingar-bingar praktik hukum untuk mengawal pemenuhan prinsip dan doktrin hukum, makin sering hadir dalam pusaran perkara dengan posisi yang memihak.
Penyikapan semestinya
Beragam agenda pembenahan pengadilan yang sudah hampir roboh ini, yang perlu dijalankan para pemangku kepentingan, termasuk amendemen UU MA, UU KY, hukum acara, serta menggulirkan RUU Jabatan Hakim. Namun, jangka pendek, ada beberapa langkah urgen yang bisa segera diambil.
Presiden Prabowo bisa mendorong penegak hukum, termasuk KPK, agar fokus pada korupsi di sektor peradilan.
Minta mereka menggunakan semua kewenangan yang ada. Penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan, termasuk penyadapan, harus dilakukan lebih agresif dan masif. Pelaporan dan pemeriksaan harta kekayaan dan gratifikasi bisa jadi strategi yang mendampingi. KY dengan datanya juga dapat membantu.
Ketua MA yang baru, Sunarto, dengan reputasinya seharusnya tak punya beban ambil langkah berani memimpin perang melawan korupsi di lembaganya. Diawali dengan membentuk kepemimpinan MA yang solid, memastikan para wakil ketua, ketua muda, jajaran pejabat, hingga pimpinan pengadilan diisi oleh orang-orang dengan rekam jejak terbaik dari sisi integritas, kompetensi, dan visi.
Mereka yang permisif pada korupsi, baik dalam kata maupun sikap keseharian, terpapar jejaring hitam, dan gaya hidupnya tidak wajar, harus dicegah dari jabatan-jabatan kunci di pengadilan.
Kepemimpinan tersebut kemudian akan menerapkan transparansi secara menyeluruh, menghapus ruang-ruang rahasia, baik ruang fisik maupun ruang proses, serta memublikasikan setiap informasi yang menjadi hak pencari keadilan dan publik.
Kepemimpinan tersebut juga perlu memperbaiki manajemen SDM hakim dengan sistem mutasi dan promosi yang lebih rasional, kedap dari pendekatan transaksional, serta berbasis pada catatan perilaku dan eksaminasi putusan.
Tagih terus hakim agung dan hakim di bawahnya, yang pada 2022 dan 2024 sudah mendapat perbaikan kesejahteraan, untuk bebersih. Runtuhkan pemahaman tentang independensi hakim yang keliru.
Semua hakim harus saling mengontrol dan merasa berkepentingan memastikan koleganya berperilaku etis. Jangan ragu jadi peniup peluit. Jika perlu buat semacam edaran, demi merestorasi kepercayaan publik, sanksi pidana bagi hakim yang korup harus diperberat dari sebelumnya.
Resistensi, apalagi destruksi terhadap peran KY, harus dikikis habis. Rekomendasi sanksi etik, usulan pembentukan Majelis Kehormatan Hakim, ajakan pemeriksaan bersama, catatan rekam jejak hakim, hingga berbagai masukan bagi perbaikan peradilan yang berasal dari KY, agar dihormati dan diikuti, meski secara obyektif tetap bisa dikontestasi.
Bagi KY sendiri, banyak pekerjaan rumah menanti. Terpenting adalah memaksimalkan pengawasan hakim, pemantauan sidang, seleksi hakim agung, advokasi hakim, analisis putusan hakim, hingga peningkatan kapasitas hakim, serta memperkuat kaitannya satu sama lain. Tujuannya, agar KY makin bergigi dalam membantu mewujudkan peradilan yang mandiri dan bersih, sekaligus independen dan akuntabel.
Binziad Kadafi, Anggota Komisi Yudisial RI; Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.
Sumber: https://www.kompas.id/artikel/hampir-robohnya-pengadilan-kami
Tanggal: 27 Desember 2024