Tujuan akhir Undang-Undang Cipta Kerja untuk mendorong pertumbuhan ekonomi seolah-olah memberikan justifikasi terhadap prosedur pembentukan hukum yang minim partisipasi publik. Apakah pengabaian ini punya ruang dalam negara hukum? Sejauh mana sirkus kelahiran undang-undang berbentuk omnibus law ini bisa diterima untuk mewujudkan negara hukum?
Gerakan untuk mewujudkan negara hukum di Indonesia pernah disampaikan oleh Dan S. Lev dalam “Judicial Authority and The Struggle for Indonesian Rechstaat: A Political Sketch” di jurnal Law and Society Review. Menurut Lev, sebuah gerakan hukum adalah tuntutan terus-menerus untuk menundukkan kekuasaan politik dan ekonomi pada proses dan gugus peraturan yang mandiri. Hukum terlihat sebagai sarana untuk perbaikan nasib dan perumusan tertib etika. Gerakan hukum bertujuan mengubah bagaimana kekuasaan mengorganisasi diri dan cara memerintah (Lev, 1978).
Perencanaan, pembahasan, dan persetujuan Undang-Undang Cipta Kerja menunjukkan adanya pengorganisasian yang rapi antara eksekutif dan legislatif. Pengerahan aparat penegak hukum terhadap aksi penolakannya memperlihatkan peran kekuasaan yang janggal. Alih-alih mengimbangi peran eksekutif, legislatif justru menjadi bagian dari orkestrasi yang mendukung.
Bukan tidak mungkin metode omnibus akan menjadi preseden dalam praktik legislasi. Perlu ada usaha pencegahan agar penggunaan metode ini tidak menambah kesemrawutan perundang-undangan kita.
Becermin dari kelahiran Undang-Undang Cipta Kerja, terdapat beberapa permasalahan mendasar yang perlu dicegah agar tidak terulang lagi. Pertama, kompleksnya materi muatan menjadi pertimbangan untuk berhati-hati dalam menggunakan metode ini. Disiplin yang ketat mengenai materi muatan sebuah undang-undang perlu menjadi pertimbangan. Studi Bayu Dwi Anggono (2014) menunjukkan adanya ketidaktaatan terhadap asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan dalam pembentukan undang-undang kita.
Kedua, materi yang dibahas dalam ribuan halaman tidak mencerminkan analisis yang berimbang soal biaya dan manfaat. Padahal regulasi ini akan sangat berdampak pada lingkungan, sumber daya alam, hingga administrasi pemerintah. Maka pengaturan tentang bagaimana undang-undang dibuat perlu dibenahi, misalnya dengan menyempurnakan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini penting karena pengaturan masyarakat tidak selamanya harus dengan undang-undang. Masih ada norma lain, seperti adat dan kebiasaan.
Ketiga, sebagai dokumen yang wajib menyertai rancangan undang-undang, naskah akademik perlu menggunakan bahasa yang mudah dicerna publik. Sebuah naskah akademik tak hanya memberikan dasar filosofis, sosiologis, dan yuridis, tapi juga argumentasi ilmiah mengapa suatu undang-undang perlu mengatur hal tertentu dan bukan instrumen hukum lain. Revisi atas panduan penyusunan naskah akademik yang berlaku kini menjadi penting.
Keempat, perlu kejelasan mengenai penerapan jangka waktu pembahasan sebuah rancangan undang-undang. Sidang DPR memang dibatasi sampai tiga kali dan dapat diperpanjang. Pengaturan mengenai masa pembahasan ini perlu dirombak dengan mempertimbangkan partisipasi publik secara maksimal. Perubahan pasal-pasal perlu pula disampaikan dalam format yang mudah dibaca masyarakat. Teknologi bisa menjadi solusi untuk kejelasan dan transparansi legislasi.
Kelima, pemantauan dan peninjauan atas perencanaan, penyusunan, serta implementasi undang-undang merupakan bagian dari rangkaian legislasi yang tidak hanya dilaksanakan oleh pemerintah, tapi juga oleh DPR dan DPD. Sayangnya, hingga kini peraturan pelaksana dari kewenangan tersebut belum tersedia.
Pemahaman mengenai negara hukum sesungguhnya adalah partisipasi politik yang luas, pemerintahan yang jujur, distribusi ekonomi yang merata, dan pengawasan efektif terhadap birokrasi. Perbaiki prosedur legislasi, sayangnya, baru bisa terlaksana dengan modalitas politik yang hanya ada di pemegang kuasa legislasi, yaitu presiden dan DPR. Apakah mereka ingin tercatat dalam sejarah sebagai penguasa yang responsif terhadap rakyat atau sengaja menutup pancaindra demi kebutuhan sesaat?
Sumber: https://koran.tempo.co/amp/opini/459199/gerakan-hukum-setelah-cipta-kerja?__twitter_impression=true