Memasuki satu tahun periode jabatannya, DPR gagal membuktikan hasil kerja legislasinya. Bukan persoalan jumlah. Namun kinerja selama ini tidak memberikan bukti nyata bidang legislasi.
Menilai kinerja legislasi tidak bisa semata dilihat dari sisi kuantitas produk yang dibuat. Kualitas menjadi faktor penting dalam menilai produk legislasi. Akan tetapi, dalih mengejar kualitas dengan mengabaikan kuantitas juga bisa menjadi persoalan pada saat pencapaiannya sangat minim dibandingkan dengan perencanaan yang telah disusun.
Tulisan singkat ini akan mencermati strategi legislasi dengan mengacu pada isi pidato Ketua DPR, 30 Oktober 2015.
Dalih mengejar kualitas produk legislasi ini muncul dalam pidato ketua DPR pada Penutupan Masa Sidang I Tahun Sidang 2015-2016. Pidato itu disampaikan dalam Rapat Paripurna tanggal 30 Oktober 2015.
Sesuai tata tertib DPR, penutupan masa sidang dilakukan dengan penyampaian kegiatan DPR. Secara umum terdiri atas penjelasan pelaksanaan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Selain itu juga dijelaskan mengenai agenda DPR lainnya baik dalam lingkup nasional mauun internasional.
Penjelasan mengenai pelaksanaan fungsi legislasi dalam pidato tersebut diawali dengan pernyataan bahwa DPR ingin undang-undang yang dihasilkan betul-betul dirasakan manfaatnya oleh rakyat, tidak saja sekedar tulisan di atas kertas.
Oleh karena itu, jumlah RUU yang dihasilkan, bukan menjadi ukuran utama dalam pencapaian target legislasi.
Pada bagian berikutnya, Ketua DPR juga mengeluhkan bahwa DPR sering menanggung beban penilaian legislasi padahal dalam proses legislasi pemerintah juga mempunyai peran.
“Keseriusan kinerja legislasi DPR belum tentu ditanggapi serius oleh pemerintah, akan tetapi ekses negatif dari itu semua DPR-lah yang menanggungnya,” jelasnya. Lebih lanjut, pidato Ketua DPR tersebut mengusulkan perlunya diskursus efektivitas pembentukan undang-undang, antara lain meninjau kembali peran para pihak yang terlibat dalam proses tersebut.
Dalih mengejar kualitas di tengah minimnya prestasi legislasi dan keluhan tentang kemitraan dengan pemerintah dalam proses legislasi tersebut perlu dicermati lebih jauh. Satu tahun sejak dilantik belum banyak undang-undang yang dihasilkan oleh DPR.
DPR hanya berhasil menyusun dua undang-undang dari 39 yang direncanakan. Dua undang-undang itupun berupa revisi. Situasi politik di awal periode memang seringkali didominasi pada perebutan kekuasaan di DPR. Mulai dari pertarungan merebut kursi pimpinan maupun alat kelengkapan DPR.
Proses ini berimbas pada terhambatnya pelaksanaan fungsi-fungsi DPR. Terutama fungsi legislasi.
Alasan mengejar kualitas dapat dipahami apabila DPR menunjukkan kinerja bidang legislasi dengan baik. Tidak selalu melihat pada hasil akhirnya, terbentuknya undang-undang, akan tetapi juga proses yang terjadi. Atau pada strategi yang diatur untuk membentuk undang-undang.
Isi pidato terkait pelaksanaan fungsi legislasi tersebut cenderung melakukan pembelaan atas capaian yang minim. Uraian strategi atau upaya yang sudah dilakukan malah tidak dipaparkan.
Pertanyaannya apakah memang tidak ada kebijakan khusus untuk menjalankan fungsi legislasi menjelang akhir program legislasi tahunan?
“Pertanyaannya apakah memang tidak ada kebijakan khusus untuk menjalankan fungsi legislasi menjelang akhir program legislasi tahunan?”
Misalnya pengaturan pembagian hari kerja di DPR. Periode sebelumnya, untuk mengejar pencapaian fungsi legislasi pernah menerapkan kebijakan 60% hari kerja untuk fungsi legislasi. Sisanya untuk pelaksanaan fungsi DPR lainnya.
Pelibatan tenaga perancang, peneliti, tenaga ahli maupun sistem pendukung lainnya, juga seharusnya dapat menjadi bagian upaya DPR dalam mengatur manajemen fungsi legislasi. Bagian ini yang tidak terungkap dari penjelasan Ketua DPR tersebut.
Di sisi lain, publik sering ditunjukkan agenda studi banding yang sangat perlu ditanyakan signifikansi dan pengaruhnya terhadap hasil kerja, pemberitaan media tentang minimnya tingkat kehadiran anggota DPR dalam rapat-rapat, dominasi fungsi pengawasan karena kepentingan politik, maupun kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR.
Kejadian-kejadian tersebut dan ditambahkan dengan tidak adanya penjelasan strategi legislasi dalam pidato Ketua DPR, menyulitkan untuk menerima dalih bahwa minimnya prestasi legislasi karena upaya mengejar kualitas.
Persoalan lain yang diungkapkan dalam pidato tersebut adalah perlunya diskursus efektifitas pembentukan undang-undang. Salah satunya terkait aktor yang berperan dalam membentuk undang-undang. Hal ini didasarkan pada beban penilaian legislasi yang hanya mengarah pada DPR sementara pemerintah yang juga berperan, sering luput dari penilaian.
Sayangnya, dalam pidato tersebut tidak ada penjelasan memadai. Padahal, pernyataan itu memiliki konsekuensi yang serius dalam sistem perundang-undangan.
Kewenangan legislasi sudah diatur dalam UUD. Kuasa DPR dalam menjalankan kekuasaan legislasi lebih besar ketimbang Presiden. Seharusnya kendali manajemen legislasi juga ada pada DPR. Tapi pernyataan tersebut malah kontraproduktif dengan semangat untuk memperkuat kewenangan legislasi di DPR.
Isi pidato tersebut menunjukkan kegagalan DPR mengelola kewenangan legislasinya ketika berhadapan dengan pemerintah.
“Isi pidato tersebut menunjukkan kegagalan DPR mengelola kewenangan legislasinya ketika berhadapan dengan pemerintah”
Catatan berikutnya adalah terkait wacana peninjauan kembali peran para pihak dalam proses legislasi. Lagi-lagi, pidato Ketua DPR tersebut tidak menjelaskan aktor mana yang dimaksud.
Apakah aktor yang memiliki kewenangan membentuk undang-undang yaitu DPR, DPD dan Presiden atau aktor yang merupakan sistem pendukung yaitu peneliti, perancang dan tenaga ahli. Apabila dikaitkan dengan pernyataan sebelumnya maka dapat dimaknai bahwa aktor yang dimaksud adalah lembaga yang berwenang dalam proses legislasi.
Gagasan tersebut akan terkait dengan perubahan undang-undang bahkan UUD yang sudah mengatur kewenangan masing-masing dalam pembentukan undang-undang.
Isi pidato tersebut menunjukkan kelemahan dalam pengelolaan fungsi legislasi di DPR. Minim strategi ketika proses legislasinya terhambat. Padahal pencapaian terhadap rencana sendiri (prioritas tahunan) sudah pasti gagal.
Pada tahun berikutnya, DPR perlu lebih serius melakukan manajemen pelaksanaan fungsi legislasi. Persoalan lain dari isi pidato tersebut adalah banyaknya gagasan atau pernyataan yang miskin penjelasan sehingga penafsirannya bisa beragam. Padahal menyangkut hal mendasar dalam sistem ketatanegaraan.
Penyampaiannya pun dalam forum resmi. Koreksi dan perbaikan perlu dilakukan dalam menyampaikan hasil kerja DPR melalui penyampaian pidato tersebut. Karena itu menggambarkan proses kerja, hasil dan kapasitas DPR.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh www.selasar.com pada tanggal 13 November 2015. Artikel ini dapat diakses melalui tautan berikut:
https://www.selasar.com/politik/gagalnya-strategi-manajemen-legislasi-dpr