Seperti udara, aktor politik juga harus mengalami sirkulasi atau penggantian secara rutin. Udara yang berpolusi akan membuat kita sakit. Udara yang terperangkap di ruang tertutup akan membuat suasana pengap. Begitu pula politikus yang tak kunjung berganti akan membuat kehidupan bernegara jumud.
Namun, penggantian politikus tidak boleh hanya dimaknai mengganti elite politik, yaitu sekelompok kecil orang yang memiliki kekuasaan sangat besar untuk menentukan jalannya negara melalui posisi-posisi kunci mereka di lembaga-lembaga politik. Elite politik bukan sekadar orang-orang yang menduduki jabatan-jabatan formal di lembaga negara, melainkan juga orang-orang yang ada di tampuk kepemimpinan partai politik.
Pemilihan umum seharusnya menjadi sarana melakukan penggantian politikus. Namun, elite politik tidak berkeinginan untuk diganti. Alih-alih mengubah konfigurasi politik, sejak Reformasi 1998, sesungguhnya Indonesia masih dikuasai aktor-aktor sejak masa sebelum Reformasi.
Dari pemilu ke pemilu, kita hanya memilih politikus dari lingkaran politik yang sama. Sebabnya, partai politik tidak pernah mengalami perubahan signifikan. Tidak sedikit partai pasca-Reformasi yang hanya bermetamorfosis dari Golongan Karya dan dikuasai kelompok-kelompok dari masa Orde Baru.
Elite politik terus berupaya untuk mempertahankan kemandekan ini dengan menyempitkan peluang lahirnya partai politik baru. Kalau Anda bukan bagian dari elite atau bermodal sangat besar, jangan berharap bisa membangun partai politik baru yang bisa mengikuti pemilu.
Sebab, Undang-Undang Pemilu mengatur, partai politik dapat menjadi peserta pemilu hanya apabila memiliki kepengurusan di semua provinsi, di 75 persen jumlah kabupaten/kota di provinsi, serta di 50 persen jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan, juga berbagai syarat lain yang kemudian harus dibuktikan secara hukum. Sementara itu, undang-undang partai politik lebih banyak mengatur aspek teknis serupa ketentuan administratif ketimbang demokrasi internal dan sirkulasi kepemimpinan di dalam partai politik.
Di wilayah pencalonan presiden dan wakil presiden, ada pula ketentuan ambang batas pencalonan presiden. Akibatnya, tidak banyak calon pemimpin yang benar-benar baru yang dimungkinkan muncul. Siapa pun yang ingin maju menjadi pemimpin baru harus bernegosiasi dengan pemilik tiket eksklusif itu. Negosiasi ini tentunya sulit untuk membuka ruang bagi gagasan baru. Elite politik memiliki daya tawar yang terlalu kuat untuk memelihara kepentingan mereka sendiri agar tidak digantikan.
Begitulah, seperti sirkulasi udara dalam ruang tertutup, kepemimpinan politik tidak pernah benar-benar berganti dengan politikus yang baru sehingga gagasan juga selalu tak segar. Atas nama demokrasi, warga digiring datang ke tempat pemungutan suara untuk memilih, tetapi elite politiklah yang menentukan siapa yang bisa dipilih.
Elite politik memosisikan warga sebagai obyek pemilih dalam pemilu dengan ilusi tentang orang-orang yang mewakili kepentingannya. Padahal, di antara pemilu yang satu dengan yang lain, saluran penyampaian aspirasi warga ditutup. Tidak ada lagi dialog antara konstituen dan wakilnya di luar ritual lima tahunan itu. Saat warga ingin berpartisipasi, misalnya dalam pembentukan undang-undang, rapat dengan wakil rakyat hanya formalitas.
Partisipasi tidak bermakna karena amat jarang para wakil rakyat memberi jawaban balik tentang status masukan yang diberikan dengan itikad baik. Demonstrasi dan kebebasan berpendapat, yang sebenarnya juga fasilitas sah dalam demokrasi, juga dibungkam serta diancam dengan hukum dan kekerasan. Partisipasi politik dikecilkan sebagai partisipasi dalam pemilu, bukan dalam penentuan nasib yang sejati.
Nyatanya, prosedur demokrasi seperti pemilu hanya dimaknai sebagai fasilitas untuk meraih kekuasaan. Begitu didapat, kekuasaan ingin dibuat absolut dengan meruntuhkan pagar penjaga akuntabilitas berupa kebebasan berpendapat, posisi berlawanan dalam politik, bahkan penegak hukum dan pengadilan, seperti dalam kasus Mahkamah Konstitusi belakangan ini.
Padahal, demokrasi sebenarnya menempatkan warga, demos, sebagai subyek penentu jalannya negara. Maka, tak ada jalan lain, kita harus mengubah cara berpolitik agar tidak sepenuhnya kita serahkan dalam rutinitas pemilu.
Politik seharusnya menjadi aktivitas keseharian dengan mengkritik dan memberi masukan dalam soal-soal kehidupan sehari-hari kita. Untuk itu, kita harus menghapus ancaman hukum dan kekerasan yang membungkam kebebasan serta pendidikan yang tidak membiasakan warga untuk berpikir kritis.
Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2023/12/06/darurat-sirkulasi-politikus