Sementara upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di beberapa negara lain mengalami beberapa perkembangan positif dengan menguatnya dampak gerakan #MeToo, perlindungan terhadap perempuan Indonesia belum membaik.
Mayoritas perempuan Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual dan fisik. Menurut data yang dirilis pemerintah–dibantu United Nations Population Fund (UNFPA) pada Maret 2017, sepertiga populasi perempuan Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual dan fisik.
Berakhirnya kasus kekerasan seksual mahasiswa Universitas Gadjah Mada dengan kesepakatan damai dan dikriminalisasinya perempuan yang melaporkan pelaku pelecehan seksual, menunjukkan bahwa budaya impunitas, di mana pelaku kekerasan bisa bebas dari hukuman, masih mengakar.
Saya mengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera dan mengemban tugas sehari-hari sebagai Direktur Amnesty International Indonesia, organisasi yang memperjuangkan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan hak-hak asasi perempuan. Saya juga ayah dari seorang putri, yang membuat saya memiliki kepentingan yang sangat tinggi untuk memperjuangkan perlindungan perempuan demi masa depan anak saya.
Beberapa analis telah menjelaskan pentingnya mendorong pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) untuk menguatkan upaya perlindungan perempuan. Analis yang lain melihat bahwa perlindungan terhadap perempuan dapat meningkat jika lebih banyak perempuan mewakili rakyat dalam parlemen.
Di luar analisis-analisis yang penting tersebut, saya berargumen bahwa untuk mendorong penguatan upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan, pemerintah dan DPR perlu memperkuat Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sebagai “lembaga negara yang independen” untuk penegakan hak asasi manusia perempuan Indonesia, dengan memperkuat landasan hukumnya dengan sebuah undang-undang khusus.
Saat ini landasan hukum pembentukan Komnas Perempuan berdasarkan keputusan presiden. Dengan penguatan landasan hukum, lembaga ini dapat diberikan kewenangan untuk membantu pemerintah dalam pembuatan kebijakan publik yang berperspektif gender hingga kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sehingga bisa membawa pelaku kekerasan berbasis gender ke pengadilan.
Posisi subordinat Komnas Perempuan
Komnas Perempuan berdiri pada Oktober 1998, beberapa bulan sesudah jatuhnya rezim Soeharto.
Berkat dorongan aktivis gerakan perempuan yang menuntut pertanggungjawaban negara atas kekerasan yang dialami perempuan pada kerusuhan Mei 1998, Bacharuddin Jusuf Habibie yang kala itu menggantikan Soeharto yang telah mengundurkan diri, mengeluarkan keputusan presiden untuk mendirikan Komnas Perempuan.
Selama 17 tahun terakhir, Komnas Perempuan melakukan pencatatan kasus kekerasan terhadap perempuan, dan dari tahun ke tahun jumlah laporan kekerasan ini meningkat.
Per Maret 2019, Komnas Perempuan mencatat terdapat 406.178 kasus, meningkat 16,5% dari tahun sebelumnya.
Namun, disebabkan landasan hukumnya, sejauh ini posisi Komnas Perempuan masih berada di bawah badan eksekutif, ketimbang berdiri secara independen dan setara dengan badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Posisi sub-ordinat Komnas Perempuan, menurut saya, merupakan pangkal dari lemahnya upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan berbasis gender.
Penguatan landasan hukum Komnas Perempuan akan menguatkan posisi komisi ini dalam beberapa aspek:
1. Daya tawar lebih kuat dalam negosiasi perundang-undangan
Status Komnas Perempuan saat ini masih lebih berkarakter gerakan sosial, bahkan kerap terlihat seperti organisasi non pemerintah pada umumnya. Sebenarnya itu tidak keliru. Tetapi karakter ini cenderung membuat Komnas Perempuan terpinggirkan dari proses pembuatan kebijakan publik. Dari pengamatan saya, Komnas Perempuan lebih jarang terlibat secara resmi dan intensif dalam konsultasi dengan DPR, dibanding Komnas HAM, apalagi KPK.
Dengan penguatan landasan hukum yang memberikan Komnas Perempuan posisi yang setara dan independen dengan badan eksekutif, legislatif, yudikatif, Komnas Perempuan akan memiliki daya tawar dan terlibat langsung dalam negosiasi perundang-undangan.
Untuk konteks saat ini, misalnya, jika Komnas Perempuan memiliki posisi independen dan setara dengan badan pemerintahan lain, komisi ini bisa berbicara langsung dan mengawal pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di parlemen agar memastikan RUU tersebut berperspektif gender.
2. Memandu pembuatan kebijakan publik soal perempuan
Dengan posisinya yang lebih kuat, Komnas Perempuan bisa mendorong pembuatan dan pengawasan kebijakan publik lain yang berhubungan dengan perempuan, misalnya dalam bidang pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development Goals—SDGs).
Komnas Perempuan bukan hanya dapat memantau rencana dan pelaksanaan dari target SDGs tersebut, tetapi juga menjadikan keputusan hasil pemantauannya sebagai pedoman tindakan sekaligus cambuk bagi badan-badan pemerintah. Setiap rencana pemerintah wajib dikonsultasikan dengan Komnas Perempuan. Apalagi, menurut PBB, dan juga menurut catatan Komnas Perempuan untuk kasus Indonesia, pencapaian program yang terdahulu dengan Milenium Development Goals (MDGs) menunjukkan kegagalannya sebagian disebabkan oleh lemahnya pengawasan.
3. Menyelidiki kasus kekerasan terhadap perempuan
Lembaga ini juga perlu diberi kewenangan yang menempatkannya menjadi bagian dari sistem peradilan pidana. Untuk itu, penguatan landasan hukum Komnas Perempuan dalam bentuk undang-undang sebaiknya memberi mandat untuk melakukan penyelidikan, seperti mandat yang dimiliki Komnas HAM. Lebih baik lagi jika mandatnya meliputi wewenang penyidikan dan penuntutan seperti Komisi Pemberantasan Korupsi sehingga mampu membawa pelaku ke pengadilan, sekaligus tentunya membawa kebutuhan sebuah pengadilan khusus yang hakim-hakimnya memiliki perspektif gender.
Hal-hal ini perlu dirumuskan secara lengkap dalam naskah UU. Wewenang ini juga meliputi perlindungan saksi dan korban perempuan, termasuk reparasi bagi korban, tanpa harus menunggu vonis hakim atas pelaku.
Sejak pendiriannya, Komnas Perempuan sempat melibatkan diri dalam kerja-kerja penyelidikan Komnas HAM atas peristiwa-peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran HAM yang berat. Meski pun mandatnya terbatas pada kekerasan terhadap perempuan, dan meski keterlibatan itu sebatas pada komisioner-komisioner atau staf-stafnya, keterlibatan itu telah melengkapi kelemahan Komnas HAM yang kerap luput dalam mengidentifikasi kasus-kasus pelanggaran HAM berbasis jender.
Sebagai contoh, dalam penyelidikan Komnas HAM untuk kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur pada tahun 1999, tanpa keterlibatan aktivis dan anggota Komnas Perempuan, antara lain Kamala Chandrakirana, Zumrotin, dan Nursyahbani Katjasungkana, maka kasus-kasus perkosaan yang sistematis terhadap perempuan nyaris luput dari penyelidikan.
Saya pernah berkesempatan dua kali bekerja bersama dua mantan Ketua Komisi ini. Pertama, bersama Saparinah Sadli dalam Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM Trisakti, Semanggi I dan II pada 2001 yang menyelidiki penembakan mahasiswa yang berunjuk rasa pada sepanjang 1998/1999.
Selain mempengaruhi proses dan kualitas hasil pencarian fakta, keterlibatannya sebagai Ketua Komnas Perempuan memperlihatkan integritas moral yang tinggi, terutama ketika pihak-pihak tertentu mendiskreditkan KPP dengan menggalang massa dan adanya oknum elite TNI yang menolak panggilan penyelidikan.
Kedua, ketika bersama Kamala Chandrakirana bekerja dalam Tim Pencari Fakta (TPF) untuk kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib pada 2004 . Munir meninggal di pesawat Garuda Indonesia ketika terbang menuju Amsterdam. Hasil otopsi menunjukkan ia diracun.
Peran Kamala begitu penting dalam memeriksa saksi dan menggali keterangan-keterangan saksi khususnya saksi perempuan serta memeriksa dokumen-dokumen yang diperoleh dari Garuda Indonesia, Badan Intelijen Negara (BIN) dan badan-badan resmi lainnya.
Dengan memberi kewenangan penyelidikan kepada Komnas Perempuan, mereka nantinya dapat membentuk tim pencari fakta untuk bermacam-macam kasus kekerasan seksual. Ini akan membantu negara khususnya pemerintah dalam memperkuat upaya penghapusan atau setidaknya penurunan angka kekerasan terhadap perempuan.
Tanggung jawab pemerintah
Pada November 2017, ketika bertatap muka dengan para komisioner Komnas Perempuan, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengajak masyarakat untuk menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan.
Namun, menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan tidak bisa diwujudkan hanya dengan ajakan retoris. Tugas mengurangi kekerasan adalah tanggungjawab pemerintah dengan memberlakukan kebijakan-kebijakan yang melindungi perempuan.
Maka, pemerintahan Jokowi seyogyanya, perlu mulai bergerak untuk memperkuat status hukum Komnas Perempuan untuk memungkinkan komisi ini mendobrak dominannya cara pandang dan praktik yang cenderung patriarkis dan merendahkan harkat dan martabat perempuan, akibat tak dibekali perspektif kesetaraan gender.
Penguatan Komnas Perempuan akan memperkuat keputusan Presiden Habibie yang di tengah turbulensi politik 1998 dapat merespons aspirasi perempuan dengan begitu serius dan berani membentuk Komnas Perempuan, setelah sebelumnya juga membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta untuk menyelidiki perkosaan terhadap perempuan dalam kerusuhan rasial 1998.
Melanjutkannya dengan memperkuat posisi Komnas Perempuan dalam pengambilan keputusan publik pemerintahan maupun dengan penambahan wewenang hukum untuk menyelidiki, menyidik, menuntut, dan mengadili kasus-kasus kekerasan berbasis gender, bukan hanya akan menyediakan mekanisme keluhan bagi korban, tetapi juga mengisi kekosongan hukum agar para pelaku kekerasan tidak terus merasa bebas dari penghukuman.
Pemberian posisi yang lebih kuat tersebut merupakan langkah yang dibutuhkan jika Indonesia benar-benar ingin memperbaiki situasi perlindungan perempuan dan penghormatan atas kesetaraan berbasis gender, dengan lebih berpihak pada hak-hak korban. Sudah waktunya kita mendengarkan suara-suara korban.
Tautan sumber: https://theconversation.com/bagaimana-menguatkan-perlindungan-perempuan