Dalam dialog hukum dan HAM yang berlangsung 30 Mei lalu di Istana Merdeka, salah satu masalah HAM yang saya sampaikan kepada Presiden Joko Widodo adalah bahwa tidak satu pun kasus pelanggaran HAM di Papua yang diselesaikan pemerintah. Presiden mengakui dan menyesalkan seraya menjelaskan dirinya telah memerintahkan Menkopolhukam dan Jaksa Agung untuk menyelesaikannya.
Sebuah janji yang masih menanti untuk ditepati.
Saat kunjungan perayaan Natal di Jayapura, 27 Desember 2014, tak lama pasca penembakan oleh aparat keamanan yang menewaskan empat remaja di Pondok Natal, Jalan Poros Madi-Enarotali, Distrik Paniai Timur, Kabupaten Paniai, Presiden mengatakan “Saya ikut berempati terhadap keluarga korban kekerasan, dan saya ingin diselesaikan secepat-cepatnya. Agar tidak terulang kembali di masa yang akan datang.”
Pada April 2016, pemerintahan Jokowi melalui Menkopolhukam Luhut Pandjaitan membentuk “tim terpadu” untuk penanganan lebih dari selusin pelanggaran HAM serius di Papua. Tim ini melibatkan Mabes Polri, TNI, BIN, Polda Papua, Komnas HAM, Kejaksaan Agung, Masyarakat Adat Papua, pegiat HAM dan pemerhati Papua. Luhut berjanji menyelesaikan 11 kasus HAM pada akhir 2016.
Menkopolhukam pengganti- nya, Wiranto bahkan menambahkan menjadi 13 kasus HAM dengan tiga prioritas: Wasior 2001, Wamena 2003, dan Paniai 2014. Sampai kini tak diketahui hasil kerja tim terpadu ini. Tiba-tiba Wiranto mengusulkan pembentukan Dewan Kerukunan Nasional untuk penyelesaian kasus HAM masa lalu melalui jalur non-yudisial yang juga akan digunakan untuk Papua.
Merujuk pada adat di Papua, yakni tradisi bakar batu, Wiranto berargumen, “saling membunuh antar-suku di Papua saja ada musyawarah mufakat. Begitu mereka ada acara bakar batu, makan bersama, dengan membakar batu dan makan di situ, selesai kok (persoalan pembunuhan).”
Pranata adat ini juga sudah digunakan aparat keamanan untuk menyelesaikan delapan kasus pelanggaran HAM. Namun menurut Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua (PGBP) pendeta Socratez Sofyan Yoman, yang harus dilakukan pemerintah adalah menangkap pelaku, diadili dan dihukum.
Ketakjelasan arah penyelesaian kasus-kasus HAM menimbulkan keraguan akan janji Presiden. Menurut Setara Institute, kalau dilihat dari tiga dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019, Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) dan rencana kerja pemerintah, HAM bukan prioritas. Dengan kata lain, semua komitmen itu hilang tak berbekas sebagai janji, bukan bukti.
Polisi dan militer harus dengar Presiden
Pernyataan Presiden “agar tidak terulang di masa depan” menunjukkan niat baik Presiden agar kasus HAM di Papua tidak berulang. Karena itu pimpinan polisi dan militer sebagai pembantu presiden harus serius menjalankannya di lapangan.
Menurut laporan Amnesty International yang berjudul “Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati”: Pembunuhan dan Akuntabilitas di Papua” yang dirilis pada 2 Juli 2018, terdapat 69 kasus pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat keamanan sejak Januari 2010 hingga Februari 2018 di Papua. Sejak pelantikan Jokowi sebagai presiden pada Oktober 2014 sampai Februari 2018 sudah 39 nyawa melayang akibat kejahatan tersebut. Sebanyak 34 kasus melibatkan polisi, 23 kasus melibatkan militer, 11 kasus melibatkan polisi dan militer, dan 1 kasus melibatkan Satpol PP. Kebanyakan korban, 85 dari 95 orang di antaranya adalah Orang Papua Asli (OAP).
Terdapat dua pola. Pertama, sebanyak 41 kasus dengan jumlah korban 56 orang terjadi dalam konteks non-politis, tak terkait seruan kemerdekaan atau referendum Papua. Tipe ini terjadi ketika aparat keamanan menangani protes sosial, membubarkan aktivitas publik, menangkap tersangka kriminal, dan kelalaian aparat.
Kedua, 28 kasus yang merengut nyawa 39 orang berkaitan aktivitas politik menuntut referendum atau kemerdekaan. Ini terjadi saat aparat keamanan menghadapi protes politik damai seperti pengibaran bintang kejora, perayaan agama, dan peringatan tertentu yang mendatangkan ratusan orang.
Semua pembunuhan di luar hukum melanggar hak hidup, sebuah hak fundamental yang dilindungi hukum internasional dan konstitusi Indonesia. Indonesia juga meratifikasi perjanjian HAM internasional yang melindungi hak hidup, di antaranya adalah Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik.
Oleh karena itu Amnesty telah menyampaikan sekilas isi laporan itu kepada pimpinan kementerian serta lembaga pemerintah, termasuk memaparkan langsung temuan itu kepada menlu, gubernur Lemhanas, sesjen Wantanas, pimpinan DPR hingga Presiden dalam dialog di atas dan menyampaikan agar pejabat yang berwenang mengambil tindak lanjut sesuai tugas pokok dan fungsi mereka.
Penegakan hukum lemah
Dari 69 kasus, tak satu pun diselesaikan oleh mekanisme independen. Sebanyak 25 kasus bahkan tanpa investigasi sama sekali. Otoritas keamanan mengaku melakukan investigasi internal atas 26 kasus, tapi hasilnya tidak untuk publik. Aparat yang terlibat tidak dihadapkan ke pengadilan sipil. Beberapa polisi mendapat hukuman disiplin internal dan beberapa anggota militer dihadapkan ke Pengadilan Militer dengan hukuman ringan.
Temuan ini mengonfirmasi hasil riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2009 dalam buku Papua Road Map dan Updating Papua Road Map pada 2017 bahwa satu dari empat persoalan mendasar yang menjadi penghambat hubungan Jakarta dan Papua adalah masih terjadinya kekerasan politik dan pelanggaran HAM di Papua. LIPI memberikan solusi perlunya pengadilan HAM agar hubungan antara Jakarta-Papua membaik.
Temuan ini juga mempertanyakan kembali keseriusan pimpinan kementerian yang mengurusi kasus HAM Papua yang menurut riset Institute for Policy Analysis and Conflict (IPAC) pada 2017 pembentukan Tim Terpadu Papua lebih sebagai pencitraan pemerintah atas kritik negara-negara Pasifik ketimbang upaya menghadirkan keadilan.
Kasus-kasus ini tidak bisa dianggap remeh atau semata dilihat sebagai pelanggaran hak sipil-politik biasa. Laporan penelitian terbaru Amnesty juga meliputi kasus penembakan seorang penyandang disabilitas Irwan Wenda atau penembakan pekerja Petrus Ayamiseba dan Leo Wandagau terkait mogok massal ribuan pekerja PT Freeport Indonesia.
Pelanggaran hak-hak sipil dan politik di Papua kini kian sulit dipisahkan dengan pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Bahkan pelapor khusus PBB untuk hak atas pangan yang berkunjung ke Indonesia pada April lalu, dan pelapor khusus untuk hak atas kesehatan yang berkunjung ke Papua tahun lalu, menemukan banyaknya masalah hak atas kesehatan dan hak atas pangan di tanah Papua yang subur dan kaya.
Secara khusus, Kompas juga telah membeberkan masalah HAM berupa krisis kesehatan di Papua yang terjadi bukan hanya karena keterbatasan fasilitas kesehatan, tetapi juga ketersediaan sumber makanan tradisional mereka. Saya setuju, korelasi kedua dimensi pelanggaran HAM ini tak bisa dipisahkan dari implikasi negatif masifnya pembangunan infrastruktur, perambahan hutan, dan perluasan kebun sawit sejak pemerintahan terdahulu.
Kita tak menginginkan Papua menjadi killingfield sebagaimana diingatkan majalah Time pada 2014, majalah yang menaruh harapan tinggi pada kepemimpinan Jokowi namun pada 2017 masih menulis laporan serius tentang kematian dan kemiskinan di tanah Papua yang “terlupakan”.
Dari keseluruhan kasus HAM, pemerintahan Jokowi setidaknya bisa menuntaskan penyelesaian kasus penembakan empat remaja di Paniai yang dijanjikannya di awal memimpin pemerintahan.
==============================================================
Sumber: https://kompas.id/baca/opini/2018/07/04/agenda-ham-jokowi-untuk-papua/
Terbit pada: 4 Juli 2018