preloader

Kepemimpinan Hakim Perempuan

Perempuan telah lama berperan dalam sistem peradilan di Indonesia, tetapi hingga kini mereka masih menghadapi tantangan besar dalam mencapai posisi kepemimpinan.

Hari Hakim Perempuan Internasional pada 10 Maret bukan sekadar peringatan, melainkan juga pengingat bahwa perjuangan untuk kesetaraan di pengadilan masih berlangsung.

Sejarah mencatat, Sri Widoyati Soekito menjadi hakim agung perempuan pertama di Indonesia pada 1968, mendahului AS yang baru memiliki hakim agung perempuan pada 1981. Namun, meski sejak lama perempuan telah masuk ke jajaran hakim agung, hingga kini belum ada yang mencapai posisi ketua Mahkamah Agung (MA).

Hakim agung perempuan terakhir yang menjabat sebagai unsur pimpinan MA adalah Mariana Sutadi Nasution (2004-2008), sebagai Wakil Ketua MA dan Ketua Kamar Pengawasan dan Pembinaan pertama pascareformasi. Ia dikenal sebagai pemimpin yang tegas dan memainkan peran kunci dalam reformasi peradilan.

Statistika dari laporan pada Badan Peradilan MA menunjukkan peningkatan jumlah hakim perempuan. Pada 2024 terdapat 2.230 hakim perempuan dari total 7.689 hakim di seluruh Indonesia, atau 29 persen. Bahkan, di pengadilan tata usaha negara (PTUN), persentasenya 39 persen, tertinggi dibandingkan lingkungan peradilan lainnya.

Sementara itu, jumlah hakim agung perempuan tujuh dari 51 hakim, atau 24 persen. Tren positif juga terlihat dalam peningkatan jumlah ketua pengadilan perempuan, baik di pengadilan negeri, pengadilan agama, maupun PTUN. Dari 1.741 pemimpin pengadilan, 23,29 persennya perempuan.

Meningkatkan keterwakilan perempuan dalam sistem peradilan bukan sekadar soal representasi, melainkan juga menyangkut kualitas keadilan itu sendiri.

Jumlah ini jauh lebih baik daripada angka keterwakilan perempuan di lembaga penegak hukum lain, yakni Polri yang hanya 5,95 persen dan kejaksaan 3,12 persen, pada 2022. Namun, angka ini masih di bawah ambang batas ideal dari standar kuota minimal 30 persen keterwakilan perempuan, apalagi dibandingkan persentase populasi penduduk perempuan di Indonesia yang sebesar 49,5 persen.

Kendala bagi perempuan dalam peradilan tak bisa dilepaskan dari konteks sosial yang lebih luas. Perempuan di Indonesia masih menghadapi hambatan struktural di berbagai bidang kehidupan, termasuk di sektor hukum. Budaya patriarki yang mengakar menempatkan perempuan dalam peran domestik yang lebih dominan, sementara kepemimpinan masih sering dianggap domain lelaki.

Stigma terhadap perempuan yang meniti karier di bidang hukum masih terasa. Hakim perempuan harus membuktikan dirinya dua kali lebih keras dibandingkan rekan laki-lakinya agar diakui kemampuannya.

Beberapa bahkan menghadapi tekanan sosial karena dianggap terlalu ambisius atau kurang berkomitmen terhadap keluarga. Akibatnya, banyak yang enggan maju ke posisi pimpinan meski memiliki kapasitas dan pengalaman cukup.

Selain itu, sistem rekrutmen dan promosi dalam peradilan sering kali tak sepenuhnya netral jender. Persyaratan promosi yang mengharuskan hakim berpindah tugas ke beberapa daerah sering menjadi hambatan bagi perempuan yang memiliki tanggung jawab domestik lebih besar. Dalam kondisi seperti ini, perempuan yang sebenarnya memiliki potensi kepemimpinan sering kali tersisih dari kompetisi struktural.

ASEAN dan dunia

Beberapa negara ASEAN telah mencatat sejarah dengan memiliki ketua MA perempuan. MA Malaysia dipimpin Tun Tengku Maimun binti Tuan Mat pada 2019. Filipina juga pernah memiliki ketua MA perempuan, Maria Lourdes Sereno, menjabat pada 2012-2018. Di Laos, Viengthong Siphandone kini menduduki posisi ketua MA.

Perjalanan hakim perempuan tak selalu mudah, tetapi ada banyak figur inspiratif yang membuktikan bahwa perubahan adalah mungkin. Ruth Bader Ginsburg, hakim MA Amerika Serikat, adalah salah satu ikon perjuangan perempuan dalam dunia hukum. Ia tidak hanya membuka jalan bagi perempuan dalam profesi hukum, tetapi juga menjadi simbol perjuangan melawan diskriminasi jender di berbagai sektor.

 

Menuju peradilan inklusif

Di Indonesia, momen historis tercipta pada 12 Januari 2024 dengan berdirinya Badan Perhimpunan Hakim Perempuan Indonesia (BPHPI) di MA.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, hakim perempuan mengorganisasi dirinya sebagai sebuah kekuatan kolektif. Ini bukan sekadar simbol, melainkan gerakan nyata guna mendorong representasi perempuan di peradilan dan mengatasi hambatan sistemik yang selama ini menghalangi mereka.

BPHPI harus jadi motor perubahan yang mendorong lebih banyak perempuan memasuki profesi hakim dan berkembang di dalamnya, termasuk dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan strategis. Namun, upaya ini tak cukup jika hanya bergantung pada individu perempuan yang berjuang sendiri.

Pengadilan sebagai institusi juga harus aktif menjadikan dirinya lembaga yang lebih inklusif. Perekrutan hakim perempuan harus diprioritaskan, dengan strategi khusus untuk mendorong perempuan memasuki profesi ini sejak awal.

Kebijakan pengembangan karier juga harus dibuat lebih fleksibel agar tidak menghambat perempuan yang memiliki tanggung jawab keluarga.

Juga diperlukan kebijakan afirmatif yang mendorong lebih banyak perempuan untuk berkembang dalam karier peradilannya, antara lain dengan kebijakan kuota bagi hakim perempuan dalam program pelatihan, seleksi pimpinan, dan penugasan strategis lainnya.

Meningkatkan keterwakilan perempuan dalam sistem peradilan bukan sekadar soal representasi, melainkan juga menyangkut kualitas keadilan itu sendiri. Peradilan yang lebih beragam akan lebih peka terhadap berbagai perspektif dan kebutuhan masyarakat.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Resolusi A/RES/75/274 yang diadopsi pada 28 April 2021 menegaskan bahwa keberagaman jender dalam peradilan berkontribusi pada sistem hukum yang lebih adil dan inklusif serta mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

 

Sumber: https://www.kompas.id/artikel/kepemimpinan-hakim-perempuan

Dipublikasikan oleh:

Dian Rositawati

Dian Rositawati, akrab disapa Tita, merupakan pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera. Ia meraih gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 2000, kemudian meraih gelar Master of Arts di School of Oriental and African Studies (SOAS), University of London, pada 2007.