Mengapa Indonesia yang besar dengan alamnya yang kaya raya dan nyaman ditinggali ternyata memiliki catatan buruk tentang tingkat kecerdasan?
Menurut International IQ (intelligence quotient—salah satu cara untuk mengukur tingkat kecerdasan manusia) Test, institusi yang menyelenggarakan tes IQ setiap tahun dengan metodologi tertentu, skor rata-rata IQ orang Indonesia pada 2023 adalah 92,64 atau urutan ke-95 dunia. Tak jauh berbeda, menurut studi Richard Lynn (2019), rata-rata IQ Indonesia ada di angka 78,49 dan menempati urutan ke-129 dari 192 negara.
Memang, banyak kritik ditujukan pada IQ sebagai cara mengukur kecerdasan. Akan tetapi, sebagai sebuah cara untuk mengukur kecerdasan, data ini layak kita jadikan titik awal untuk menelaah soal kualitas pendidikan. Ada beberapa data lain yang bisa kita lihat. Sebut saja data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2023 yang menyebutkan tingkat penyelesaian untuk jenjang pendidikan menengah pertama adalah 90,44 persen. Sementara tingkat penyelesaian pendidikan untuk jenjang sekolah menengah atas hanya 66,79 persen. Penelitian lanjutan dari data itu menunjukkan, ada beberapa faktor penyebab peserta didik putus sekolah: ketidakmampuan menyelesaikan pelajaran, tidak memiliki biaya sekolah, sakit parah, terpaksa bekerja, membantu orangtua di ladang, dan dikeluarkan dari sekolah (Imran, 2015).
Terlihat korelasi yang dekat sekali dengan bagaimana hak-hak konstitusional warga atas pendidikan, kesehatan, dan penghidupan yang layak ternyata tidak dipenuhi oleh negara. Di titik inilah kita mesti membahas cara pandang struktural, yaitu pandangan yang menunjukkan bagaimana organisasi dan mekanisme negara memengaruhi persoalan yang dihadapi oleh warga negara.
Bodoh, miskin, dan sering sakit bukanlah nasib buruk yang harus diterima begitu saja. Hampir semua pengalaman kita sebagai warga negara, yang berkaitan dengan hak-hak konstitusional, dipengaruhi oleh negara melalui kebijakannya. Misalnya, polusi udara yang harus dihirup setiap hari di banyak kota besar, seperti Jakarta. Pemerintah sebagai penyelenggara negara bisa saja membuat kebijakan yang membuat kualitas udara bersih, seperti kebijakan penggunaan batubara sebagai sumber daya listrik. Bencana longsor juga sebenarnya bisa dicegah jika pemerintah secara konsisten memperhatikan kebijakan perizinan pembukaan lahan perkebunan, tambang galian, dan lain sebagainya.
Pendidikan berkualitas yang ternyata mahal adalah buah kebijakan. Tentu saja, ada sekolah-sekolah gratis, tetapi kualitasnya tidak sama rata antara kota besar dan kota kecil, apalagi di daerah pelosok. Di beberapa daerah, meski pendidikan pada dasarnya bisa dinikmati cuma-cuma, masih ada juga pengeluaran lain-lain yang harus ditanggung oleh orangtua. Ada pula sekolah-sekolah swasta, bahkan yang bertaraf internasional, tetapi biayanya hanya bisa dijangkau oleh sangat sedikit kelompok masyarakat perkotaan.
Tak berhenti di situ, cara mengajar pada umumnya juga tidak mendorong proses berpikir kritis. Kebanyakan sekolah, terutama yang bukan sekolah swasta, mengajar dengan mencekoki siswa dengan pelajaran untuk tujuan meraih nilai tinggi belaka dan mengisi pasar kerja. Yang terjadi adalah pembodohan struktural karena warga tidak dididik dengan ilmu yang berdasar pada nilai-nilai dan logika.
Disiplin tepat waktu, memenuhi komitmen, dan bersikap jujur sering kali diajarkan dengan cara-cara militeristik yang menimbulkan ketakutan. Akibatnya, kita mungkin menjadi warga negara taat hukum, tetapi hanya karena takut sanksi dan akan segera melanggar begitu ada peluang untuk melanggar karena penegakan hukum longgar. Pendidikan kewargaan sangat diwarnai oleh pandangan nasionalisme sempit dan patriotisme, bukan tentang relasi antara warga dan negara yang berbasis hak-hak konstitusional warga.
Baca juga: Demokrasi Bukan Hanya Pencoblosan
Pembodohan struktural ini mempunyai dampak politik yang serius. Banyak orang yang menerima kebijakan, tindakan, dan narasi dari pemerintah tanpa kritik. Penguasa menjadi makin bebas untuk memanipulasi emosi dan kebodohan untuk tujuan politik. Bahkan, selama masa pemilihan umum, pembodohan dan pemiskinan struktural menjadi fasilitas untuk meraih kemenangan.
Banyak pemilih yang tak skeptis mempertanyakan program dan kurang gigih mempertanyakan rekam jejak kandidat sebelum mencoblos. Lantas, situasi kemiskinan dimanipulasi dengan memberikan bantuan-bantuan sosial yang sifatnya karitatif, sementara belaka. Padahal, kemiskinan adalah masalah struktural. Bagaimana warga bisa sejahtera jika kebijakan di bidang ekonomi hanya dibuat untuk menguntungkan kelompok sendiri dengan mengambil hak-hak warga?
Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2024/09/19/politik-pendidikan-yang-membodohkan