World Bank Group (WBG) pernah menerbitkan laporan bahwa secara global Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) adalah pengguna terbesar dari sistem kepailitan. Fakta ini dirilis dalam publikasi bertajuk Report on the Treatment of MSME Insolvency di tahun 2017. Hal ini rupanya disebabkan oleh besarnya jumlah pelaku UMKM di dunia. Keberadaan jumlahnya yang besar dengan sendirinya mengakibatkan jumlah kepailitan yang juga besar. Namun, fakta lain menunjukkan sedikit sekali yurisdiksi mengatur khusus terkait kepailitan UMKM. Kebanyakan negara mengatur kepailitan UMKM dalam satu kerangka yang sama dengan korporasi atau individual, padahal ada atribusi khusus yang dimiliki UMKM.
WBG mencatat Korea Selatan dan Jepang sebagai dua negara yang memiliki rezim khusus tentang kepailitan dan restrukturisasi utang UMKM. Keduanya memiliki kerangka hukum khusus bagi kepailitan UMKM yang berbeda dari kepailitan secara umum. WBG juga mencatat bahwa negara-negara lain—seperti anggota Organization for the Harmonization of Business Laws in Africa (OHADA)—telah mengeliminasi beberapa persyaratan formil dalam menangani kepailitan UMKM. Negara lainnya—seperti India dan Amerika Serikat—juga telah menyesuaikan peraturan kepailitan mereka untuk mengakomodasi kekhususan UMKM.
WBG lalu membangun argumen yang harus menjadi perhatian. Ternyata insentif bagi pembentukan dan pengembangan UMKM yang dituangkan dalam kebijakan publik banyak negara tidak disertai perlakuan khusus bagi UMKM menghadapi financial distress. Di sisi lain, kepailitan jalur normal terlalu mahal dan rumit bagi UMKM yang asetnya sedikit.
Kepailitan bagi UMKM di Indonesia
Rezim kepailitan dan restrukturisasi utang Indonesia diatur dalam UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU). UU Kepailitan dan PKPU ini keturunan langsung dari Verordening op het Failissement en de Surceance van Betaling voor de Europeanen in Nederlands Indie (Failissement Verordening/ Peraturan Kepailitan)—Staatsblad 1905 No.217 yang diubah Staatsblaad 1906 No.348—yang dikodifikasi dari Failissement Verordening Belanda tahun 1893 (FV 1893). Perlu dicatat, kerangka dasar kepailitan Indonesia saat ini pada dasarnya masih menggunakan kerangka yang sama dengan FV 1893.
UU Kepailitan dan PKPU mengatur bahwa semua jenis kreditur—terlepas dari jenis subjek hukumnya, ukuran usahanya, atau nilai utangnya—menjalani prosedur yang sama persis mulai dari tahapan, jangka waktu, hingga biaya. UU Kepailitan dan PKPU bahkan tidak memiliki fitur pengampunan utang (debt forgiveness), padahal ini sudah menjadi fitur umum bagi kepailitan individu/UMKM di banyak negara. Fitur ini memungkinkan debitur pailit yang beriktikad baik untuk memperoleh pengampunan utangnya dan bisa dipulihkan reputasinya. Mereka bisa kembali ke dunia usaha sebagai individu yang produktif.
Indonesia masih terjebak pada penafsiran Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata yang mengatur bahwa utang debitur akan hidup terus selama belum dilunasi. Pengampunan tersedia limitatif dengan cara eksplisit dari para kreditur bahwa mereka menerima pelunasan yang memuaskan. Pasal 216 UU Kepailitan dan PKPU pun menghambat rehabilitasi sebelum para kreditur menyatakan telah menerima pembayaran secara memuaskan. Artinya, pemenuhan pembayaran secara memuaskan bergantung kepada subjektifitas kreditur. Akibatnya adalah debitur enggan menggunakan instrumen kepailitan karena ketiadaan insentif penghapusan utang.
Belanda sendiri sudah mengembangkan FV menjadi tiga cabang sejak tahun 1998 lalu. Masing-masing adalah Kepailitan, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dan Pengampunan Utang bagi Individu (schudsaneringregeling voor naturlijke persoon). Cabang terakhir diatur dalam Titel III Pasal 284-382 yang khusus mengatur pengampunan utang bagi individu. Intinya pengampunan utang dapat diberikan setelah debitur menjalani masa tiga tahun pembayaran utang di bawah pengawasan pengadilan.
Belanda lebih jauh lagi mengembangkan sistem kepailitan keempat pada masa pandemi tahun 2020 dengan Undang-Undang Persetujuan Pengadilan Terhadap Rencana Perdamaian Court Approved Restructuring Plan Act (Wet Homologatie Onderhands Akkoord/ WHOA). Undang-undang ini memungkinkan pengadilan mengesahkan rencana perdamaian yang telah disepakati para pihak tanpa perlu prosedur gugatan. Sistem ini dalam rangka percepatan pemulihan di masa pandemi.
Di sisi lain, negara common law seperti Australia, Singapura, dan Amerika Serikat mengatur kepailitan korporasi secara berbeda dengan individu. Australia dan Singapura memang tidak punya ketentuan khusus tentang kepailitan UMKM, tapi ada klausul khusus dan jalur yang berbeda untuk kepailitan individu. Kepailitan perusahaan diatur pada UU Perseroan Terbatas mereka, sementara kepailitan individu diatur pada undang-undang khusus. Keduanya mengakomodasi karakter dan perbedaan antara badan hukum dengan natural person. Tentu saja cukup banyak natural person yang menjalankan usaha yang biasanya berskala UMKM.
Disfungsi Prosedur Kepailitan Indonesia
Penggunaan instrumen kepailitan di Indonesia sendiri sulit dipahami. Sektor Resolving Insolvency Indonesia berapa pada peringkat 38 dari 190 negara pada survei Ease of Doing Business (EoDB) terakhir tahun 2020. Strength of Legal Framework for Insolvency tercatat pada 10,5 dari maksimal 16 poin. Situasi ini sungguh baik karena menunjukkan keunggulan teknis kerangka hukum. Namun, apabila melihat statistik kepailitan Indonesia dalam data angka dari Mahkamah Agung per Oktober 2023 tidak demikian.
Jumlah pendaftaran perkara kepailitan secara berturut dari tahun 2016 sampai 2023 adalah 129 perkara (2016), 115 perkara (2017), 114 perkara (2018), 125 perkara (2019), 114 perkara (2020), 136 perkara (2021), 106 perkara (2022), dan 75 perkara (2023).
Jumlah pendaftaran perkara PKPU secara berturut dari tahun 2016 sampai 2023 adalah 199 perkara (2016), 239 perkara (2017), 297 perkara (2018), 435 perkara (2019), 635 perkara (2020), 726 perkara (2021), 572 perkara (2022), dan 560 perkara (2023).
Data rehabilitasi secara berturut dari tahun 2016 sampai 2021 adalah 0 perkara dan tidak ditemukan data pada tahun 2022 serta 2023. Data pembatalan perdamaian secara berturut secara berturut dari tahun 2016 sampai 2023 adalah 15 perkara (2016), 13 perkara (2017), 18 perkara (2018), 15 perkara (2019), 3 perkara (2020), 19 perkara (2021) serta tidak ditemukan data pada tahun 2022 dan 2023. Data pengakhiran kepailitan secara berturut dari tahun 2016 sampai 2021 adalah 0 perkara dan tidak ditemukan data pada tahun 2022 serta 2023.
Data actio pauliana secara berturut dari tahun 2016 sampai 2023 adalah 2 perkara (2016), 1 perkara (2017), 1 perkara (2018), 2 perkara (2019), 2 perkara (2020), 2 perkara (2021) serta tidak ditemukan data pada tahun 2022 dan 2023. Data renvoi secara berturut dari tahun 2016 sampai 2023 adalah 3 perkara (2016), 0 perkara (2017), 2 perkara (2018), 7 perkara (2019), 2 perkara (2020), 4 perkara (2021) serta tidak ditemukan data pada tahun 2022 dan 2023. Data gugatan lain-lain secara berturut dari tahun 2016 sampai 2023 adalah 48 perkara (2016), 62 perkara (2017), 85 perkara (2018), 90 perkara (2019), 51 perkara (2020), 64 perkara (2021) serta tidak ditemukan data pada tahun 2022 dan 2023.
Jumlah pendaftaran kepailitan/PKPU memang naik tajam dari 397 pendaftaran pada tahun 2016 dan mencapai puncak pada 2021 dengan 951 perkara. Banyak pengamat khawatir dengan tren ini. Sempat pula muncul wacana moratorium kepailitan Indonesia ketika masa pandemi. Namun, rasio permohonan kepailitan dan PKPU terhadap jumlah penduduk Indonesia sebenarnya masih sangat rendah.
Indonesia dengan jumlah penduduk 260 juta orang di kawasan Asia Tenggara hanya punya total permohonan kepailitan kurang dari 1.000 per tahun. Jumlah ini termasuk sangat rendah. Bandingkan dengan Malaysia dengan 33,5 juta penduduk yang mencapai 5.600 sampai 12.000 permohonan pailit per tahun serta Singapura dengan 5,6 juta penduduk mencapai 2.800 sampai 3.600 permohonan kepailitan dalam enam tahun terakhir. Di Australia dengan 25,6 juta penduduk mencapai permohonan kepailitan individu tertinggi hingga 31.000 per tahun dan 8.500 permohonan kepailitan korporasi per tahun di tahun 2016. Bandingkan juga dengan Belanda dengan 17,5 juta penduduk bisa menerima 2.100 sampai 7.300 permohonan pailit dalam delapan tahun terakhir. Amerika Serikat dengan 330 juta penduduk menerima 300.000 sampai 700.000 permohonan pailit per tahun.
Tuntutan Praktek Terbaik
Survei Business Ready Index yang dikeluarkan WBG sebagai penerus EoDB Index secara khusus menanyakan pada indikator Business Insolvency angka 1.3.1 dan pertanyaan nomor 36 yaitu, “Apakah kerangka hukum yang berlaku menyediakan proses khusus untuk likuidasi Usaha Mikro Dan Kecil (UMK) yang tidak gagal, dan reorganisasi usaha atas mikro dan kecil (UMK) yang masih punya peluang untuk melanjutkan usaha?”.
Bagi Indonesia saat ini jawabannya jelas tidak. UU Kepailitan dan PKPU hanya menyediakan dua jalur yaitu kepailitan dan PKPU tanpa membedakan jenis, karakter debitur, serta nilai utang.
Masuknya pertanyaan tadi menunjukkan tren terkini praktik terbaik global terkait penyelesaian utang di masa yang akan datang. Negara yang memiliki pengaturan khusus bagi kepailitan dan restrukturisasi utang UMKM dianggap memenuhi praktik terbaik. Praktik ini lazimnya dimiliki oleh suatu negara dengan daya saing perekonomian yang lebih baik. Tentu saja ini perlu diantisipasi.
Publikasi WBG selanjutnya di tahun 2017 tadi merekomendasikan agar pengaturan kepailitan bagi UMKM disesuaikan dengan situasi masing-masing yurisdiksi. Ini atas dasar pemahaman tidak ada solusi one-size fits all. Namun, belajar dari berbagai negara, beberapa hal perlu dipertimbangkan. Pertama, pendefinisian kategori UMKM sesuai kebutuhan. Kedua, relaksasi persyaratan formal pengajuan kepailitan/restrukturisasi sehingga UMKM yang relatif rendah literasi hukumnya bisa mengakses prosedur tersebut. Ketiga, pembatasan jangka waktu prosedur, baik restrukturisasi maupun likuidasi. Keempat, pengawasan dan pendampingan yang lebih ketat. Kelima, akses ke pembiayaan pascarestrukturisasi (post-commencement financing). Keenam, pemberian bantuan teknis penyelesaian utang piutang di luar pengadilan kepada UMKM. Misalnya melalui mediasi, konseling utang, pendidikan finansial, atau penunjukan trustee yang akan membantu mengelola aset debitur.
Kementerian Koperasi dan UMKM pada tahun 2019 merilis data bahwa terdapat 64,2 juta UMKM di Indonesia yang merupakan 99,9% dari total populasi usaha, serta mempekerjakan 96.9% tenaga kerja. Di sisi lain Otoritas Jasa Keuangan pada periode 2018-2022 merilis jumlah kredit macet UMKM berada di angka 3,35% sampai 3,96%. Nilainya ada di angka Rp30-40 triliun setiap tahun. Data ini menunjukkan kontribusi signifikan UMKM terhadap perekonomian nasional. Meski angka kredit yang macet masih cukup terkendali, tetapi masih signifikan bagi perekonomian. Mestinya sebagian dari angka ini bisa diproses restrukturisasi atau pemberesannya lewat kepailitan dan PKPU yang khusus dioptimalkan bagi UMKM.
Pemerintah berencana mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang akan menghapus buku utang UMKM—merupakan skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan nilai maksimal Rp500 juta dan Rp5 miliar untuk non-KUR—pada pertengahan 2023. Rencana yang mengimplementasikan Pasal 250 UU No.4 Tahun 2023 tentang Penguatan dan Pengembangan Sektor Keuangan (P2SK) ini memang baik secara moral, tapi bukan solusi paling mendidik dan paling efisien bagi pasar. Ini merupakan bentuk intervensi pemerintah terhadap kegagalan pasar dengan biaya sangat mahal yang harus dibayar oleh pembayar pajak.
Penghapusan utang tanpa penyelesaian yang proporsional bisa menimbulkan masalah bagi kedisiplinan debitur pada masa yang akan datang. Cara ini juga tidak memberikan insentif bagi manajemen risiko bagi kreditur. Memperbaiki kerangka hukum kepailitan dan restrukturisasi Indonesia sebenarnya bisa memberikan solusi lebih proporsional dan terarah bagi penyelesaian utang piutang UMKM ini. Jalur restrukturisasi utang atau likuidasi di bawah pengawasan peradilan berpotensi untuk menjadi solusi yang lebih baik bagi pasar dan bagi sistem. Caranya dengan menghentikan usaha yang tidak efisien dan mempertahankan usaha yang lebih prospektif. Ini lebih baik alih-alih menghapus sama sekali utang tersebut secara percuma semata-mata hanya untuk memperbaiki laporan keuangan.
Pemerintah harus mempertimbangkan untuk memasukkan ketentuan-ketentuan kepailitan dan restrukturisasi utang bagi UMKM ini pada agenda perubahan UU Kepailitan dan PKPU. Proses revisi UU Kepailitan dan PKPU yang saat ini sedang berjalan perlu didorong menciptakan infrastruktur penyelesaian utang piutang yang lebih kondusif bagi UMKM.