Pengajar Jentera, Bivitri Susanti menjadi salah satu narasumber dalam webinar bertajuk “Politics in Action 2023” yang diselenggarakan oleh Sydney Southeast Asia Center, University of Sydney, Australia, pada Selasa (2/5/2023). Forum Politics in Action merupakan agenda tahunan yang memiliki muatan analisis dan diskusi seputar fenomena politik di enam negara Asia Tenggara yakni Singapura, Kamboja, Indonesia, Thailand, Timor Leste, dan Filipina.
Pada kesempatan tersebut, Bivitri menjelaskan situasi politik terkini di Indonesia yang dirangkum dalam dua tema besar yakni pelemahan supremasi hukum dan fenomena politik menjelang Pemilu 2024. Bivitri kemudian menjabarkan kondisi pelemahan supremasi hukum dalam enam preseden yang mengkhawatirkan yakni pemanfaatan instrumen hukum untuk membatasi kebebasan berekspresi, penyusunan undang-undang yang tidak demokratis, diskursus terkait muatan KUHP baru, ancaman terhadap independensi penegak hukum, kasus korupsi yang masih marak dan impunitas yang masih berlanjut.
Kasus kriminalisasi aktivis hak asasi manusia, Haris Azhar dan Fatiya Maulidiyanti menjadi contoh penyelewengan instrumen negara untuk menekan kebebasan bersuara. Seperti diketahui, Haris dan Fatiya telah menjadi terdakwa karena dianggap melanggar pasal 27 ayat 3 UU ITE ketika tengah membahas hasil riset Koalisi Masyarakat Sipil terkait dimensi ekonomi dan politik dalam penempatan kekuatan militer di Blok Wabu, Intan Jaya, Papua, yang ditengarai melibatkan beberapa pejabat negara dan militer. Bivitri menganggap fenomena tersebut membahayakan sikap kritis masyarakat karena siapapun dapat dengan mudah direpresi, ditangkap, dan diperkarakan di pengadilan, dan semua itu diproses menggunakan instrumen negara.
Selain sikap kritis yang ditekan, masyarakat juga sangat dirugikan dalam hal minimnya partisipasi pada proses penyusunan undang-undang. Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat beberapa undang-undang yang dibahas dan diputuskan dalam tempo cepat, namun tidak banyak melibatkan masyarakat terdampak. Bivitri mencontohkan salah satunya pada saat pembahasan undang-undang terkait pemindahan ibu kota negara, yang dibahas dan disahkan hanya dalam waktu 43 hari. Dalam tempo yang singkat tersebut, nyatanya tidak memberikan ruang yang cukup untuk mendengarkan aspirasi masyarakat, terutama masyarakat adat yang telah tinggal puluhan bahkan ratusan tahun dan akan terdampak pembangunan di lokasi calon ibu kota negara.
Beberapa preseden tersebut tentunya menjadi catatan negatif terkait perjalanan politik, hukum, dan demokrasi di Indonesia terutama menjelang kontestasi dan suksesi kepemimpinan pada 2024. Bivitri juga menyebut, hajatan tersebut juga masih dibayangi beberapa isu seperti penundaan pemilu dan netralitas lembaga serta aparatur publik. Bivitri kemudian menjelaskan bahwa Pemilu 2024 dibayangi ketidakpastian oleh karena wacana perubahan konstitusi yang memungkinkan penambahan masa jabatan presiden atau penundaan pemilu. Wacana tersebut mengalami pasang surut yang kemudian menimbulkan tanda tanya besar tentang apakah pemilu akan berlangsung sesuai jadwal yang telah dirancang sebelumnya.
Selain itu, pemilihan umum lagi-lagi harus dibayangi isu netralitas lembaga dan pejabat publik. Bivitri menyinggung kemungkinan Presiden Joko Widodo yang berpotensi menjadi “king-maker” dalam suksesi kepemimpinan, yang tampak pada saat pengumpulan pimpinan partai koalisi di Istana Negara. Menurut Bivitri, dalam fenomena ini Presiden Joko Widodo memiliki tendensi terhadap hasil pemilihan presiden karena berkaitan dengan kelanjutan dan keberlangsungan beberapa proyek pembangunan yang belum selesai di masa jabatannya.