Pemilu Serentak Tahun 2024 sudah di depan mata, tetapi perjalanannya diiringi kontroversi dan kekhawatiran. Sepanjang waktu prosesnya, kita sebagai masyarakat Indonesia telah menjadi saksi praktik demokrasi yang semakin merosot dan dilakukan secara serampangan. Ketidakberesan ini mencuat karena adanya penyalahgunaan kekuasaan, dengan hukum dan etika yang dicederai demi memenuhi birahi politik dan keinginan untuk memegang kendali penuh. Masyarakat hanya dianggap penonton yang hilang akal sehat menyaksikan sirkus pengkhianatan amanat oleh elite politik dari hari ke hari.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 menjadi bukti nyata bahwa perilaku melanggar etik malah mendapat layanan panggung politik tertinggi. Penyalahgunaan kekuasaan negara dalam Pemilu terjadi tanpa hambatan. Bahkan Presiden Joko Widodo, yang seharusnya menjadi penjaga prinsip-prinsip demokrasi, patut diduga terlibat dalam penyelewengan etika yang semakin memperkuat analisis bahwa kita sedang berada pada titik nadir demokrasi Indonesia. Tindakan ini merongrong kepercayaan rakyat pada lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi penjaga keadilan dan keseimbangan. Sebelum momen politik elektoral ini, berbagai kalangan telah menyoroti kemunduran demokrasi dalam beberapa tahun belakangan. Mulai dari legislasi tanpa partisipasi dan untuk kepentingan segelintir elite, pembatasan kebebasan sipil, hingga kriminalisasi.
Hari ini, kita harus menghadapi kenyataan bahwa mimpi buruk demokrasi Indonesia makin nyata terlihat. Pemilu, yang seharusnya menjadi momentum perubahan dan keberlanjutan gagasan republik yang mencerminkan kedaulatan rakyat, terancam oleh manipulasi dan pelanggaran etika tanpa putus. Untuk menyelamatkan demokrasi Indonesia, seluruh elemen masyarakat perlu mewujudkan tindakan konkret dan kesadaran kolektif. Harus ada upaya bersama untuk mencegah pemiskinan teladan bangsa bagi generasi berikutnya.
Perkembangan dalam satu pekan ke belakang menunjukkan adanya kegelisahan terhadap situasi demokrasi yang kian memburuk yang terus disuarakan oleh para sivitas akademika. Sivitas akademika memiliki kewajiban moral dan intelektual untuk mengawal negara hukum, hak asasi, dan demokrasi. Demi menjalankan kewajiban tersebut, sivitas akademika Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera dengan ini menyatakan:
- Mendesak Presiden Joko Widodo untuk menghentikan praktik bernegara yang serampangan dan menjalankan kewajiban hukumnya sebagai Kepala Negara dan Pemerintahan untuk menjunjung tinggi hukum, etika, dan konstitusi.
- Mendesak Presiden Joko Widodo dan seluruh elemen pemerintahan di tingkat pusat, daerah, hingga desa untuk berhenti menggunakan jabatan, fasilitas, birokrasi, dan anggaran negara, termasuk menetapkan kebijakan administrasi pemerintahan demi kepentingan politik elektoral.
- Mendesak para menteri anggota kabinet Indonesia Maju II serta aparat pemerintahan yang menjadi bagian dari tim pemenangan paslon agar mundur dari jabatannya.
- Mendesak Bawaslu RI untuk berani, konsisten, dan tanpa diskriminasi menindak pelanggaran hukum pemilu dan mengintensifkan pengawasan pemilu yang berkenaan dengan potensi penyalahgunaan kewenangan dan anggaran negara.
- Mendesak DPR RI untuk menggunakan hak interpelasi dan hak angket untuk menginvestigasi intervensi Presiden Joko Widodo dalam Pemilu 2024.
- Mendesak seluruh elemen pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menghentikan segala bentuk intimidasi terhadap sivitas akademika dan masyarakat sipil yang telah menyampaikan pendapat mengenai kegelisahan terhadap situasi demokrasi saat ini, sebab bentuk intimidasi tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Demikian pernyataan sikap ini disusun sebagai bentuk pertanggungjawaban moral dan intelektual untuk keberlanjutan demokrasi dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Selamatkan demokrasi Indonesia!
Unduh File