Ancaman kekerasan seksual yang menimpa anak dan remaja belakangan mendapat perhatian serius. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi secara tegas menyatakan terdapat tiga dosa besar di dunia pendidikan yaitu kekerasan seksual, intoleransi, dan perundungan. Hal ini juga dikuatkan dengan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada Januari 2022 bahwa terdapat 14.517 kasus kekerasan terhadap anak dan 45,1 persen adalah kekerasan seksual.
Sedangkan merujuk dari SIMFONI PPA (sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) per 26 Maret 2022, korban berdasarkan pendidikan terbesar berasal dari murid usia SLTA (1727), SLTP (1196), SD (1095), PAUD (742), dan Perguruan Tinggi (502). Pelaku kekerasan berdasarkan hubungan berasal dari teman/pacar (879), orang tua (622), keluarga atau saudara (332), dan guru (147).
Paparan data tersebut sangat memprihatinkan, terlebih ancaman kekerasan seksual yang terjadi masih dalam lingkungan pendidikan. Padahal lingkungan pendidikan yang direpresentatifkan lewat perangkat sekolah seharusnya menjadi pihak yang paling bertanggungjawab dalam melindungi anak dari ancaman kekerasan seksual.
Namun kenyataannya, upaya perlindungan anak dan remaja dari kekerasan seksual ini ternyata memiliki banyak tantangan. Mulai dari rendahnya kesadaran akan ancaman kekerasan seksual, tindakan hukum yang harus dilakukan untuk mengatasinya, sampai upaya preventif guna mencegah kekerasan seksual terjadi pada anak dan remaja. Kebanyakan perangkat sekolah masih awam terhadap hal-hal terkait kekerasan seksual.
Menyikapi hal tersebut, Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera bekerja sama dengan Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) bersama Rumah Guru BK mengadakan webinar “Menghadapi Ancaman Kekerasan Seksual di Lingkungan Sekolah” pada Sabtu (26/3/2022). Webinar yang diselenggarakan melalui platform zoom online ini diikuti lebih dari 200 anggota KGSB dari tingkat PAUD hingga Perguruan Tinggi dari 31 Provinsi di Indonesia serta Timor Leste.
Narasumber yang dihadirkan dalam webinar ini yakni pengajar STH Indonesia Jentera, Bivitri Susanti dan Sri Bayuningsih Praptadina serta Founder Rumah Guru BK dan Widyaiswara di Kemendikbud Ristek RI, Ana Susanti.
Dalam paparannya, Bivitri Susanti menjelaskan bentuk-bentuk kekerasan seksual (verbal dan nonverbal) serta upaya pencegahan dan penanganannya. Kekerasan Seksual (KS) harus ditangani secara serius bukan hanya dari aspek penghukuman, tetapi yang tak kalah penting adalah pencegahan dan penanganan yang cepat serta pemulihan korban. Lebih lanjut Bivitri juga mengkritisi Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
“Saat ini baru terdapat tiga jenis kekerasan seksual yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dengan uraian delik dan unsur yang masih terbatas. KUHAP yang ada tidak mengenal korban. Peraturan perundang-undangan yang ada tidak menyediakan skema pemulihan bagi perempuan korban kekerasan seksual. Selain itu, skema perlindungan bagi korban kekerasan seksual masih sangat terbatas,” ungkap Bivitri.
Sedangkan Sri Bayuningsih Praptadina menambahkan, lembaga pendidikan perlu menyusun SOP dalam pencegahan dan penanganan KS. Hal ini sebagai upaya memberikan pendampingan, perlindungan dan pemulihan korban KS serta membantu menciptakan sekolah yang aman, bermartabat, inklusif, kolaboratif, setara, dan tanpa kekerasan.
“Tim penyusun SOP dalam lingkungan sekolah perlu melibatkan kepala sekolah, guru BK, perwakilan guru, dan perwakilan siswa (OSIS,MPK, dan lembaga ekskul). Kerangka peraturan pencegahan dan penanganan KS mencakup definisi, ruang lingkup, prinsip pencegahan dan penanganan KS, sasaran, pencegahan, dan mekanisme penanganan,” ujar Dina.
Terselenggaranya webinar ini diharapkan mampu menjadi motor penggerak. Tujuannya untuk membangkitkan semangat para guru, lembaga pendidikan, serta pihak lainnya dalam mengatasi kekerasan seksual di lingkungan sekolah demi masa depan generasi penerus bangsa yang lebih baik.