“Saya tidak korupsi karena tidak merugikan keuangan negara”
Apa pandangan terhadap pernyataan di atas? Chandra M. Hamzah, mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menyatakan bahwa itu adalah bentuk kesesatan berpikir. Tidak semua korupsi mencantumkan unsur kerugian keuangan negara. Chandra mencontohkannya dalam tindakan suap yang tidak merugikan keuangan negara. Dalam tindakan suap, pemberi suap memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri yang bertentangan dengan kewajiban si pegawai, maka itu adalah korupsi. “Inti dari korupsi adalah tindakan curang,” ujar Chandra sembari menunjukkan slides presentasi terkait definisi korupsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Black’s Law Dictionary.
Setelah menjelaskan mengenai apa itu korupsi, Chandra dalam kuliah pembuka “Korupsi dan Penyalahgunaan Wewenang” pada Rabu, 22 Februari 2017 di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera menguraikan keberlakuan peraturan tentang korupsi di Indonesia. Dia mengatakan bahwa peraturan korupsi di Indonesia dibentuk sejalan dengan situasi sosial dan politik saat itu. Peraturan-peraturan itu dibagi menjadi 6 (enam) periode. Periode pertama, diatur dalam Wetboek van Strafrecht. Periode kedua, diatur dalam Peraturan Penguasa Militer 1957—1958. Periode ketiga, pada saat keberlakuan Peraturan Penguasa Perang Pusat. Periode keempat, pada masa Orde Lama. Periode kelima, pada masa Orde Baru. Dan, periode keenam, pada masa reformasi dengan keberlakuan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang berlaku saat ini.
Pada masa reformasi, pengesahan UU Nomor 31 Tahun 1999 menjadi langkah pemberantasan korupsi yang menggantikan keberlakuan UU Nomor 3 Tahun 1971 yang berlaku pada masa Orde Lama. Pada saat pembahasan, pemerintah pada Rapat Paripurna 1 April 1999 menjelaskan bahwa norma-norma mengenai tindak pidana yang diatur dalam RUU ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga mencakup perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi “secara melawan hukum” dalam pengertian formil. Dengan perumusan itu, tindak pidana korupsi juga menjangkau perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut. Dalam UU ini, tindak pidana korupsi ditegaskan sebagai tindak pidana formil untuk kepentingan pembuktian di pengadilan.
Chandra juga menyebutkan 30 jenis korupsi yang dikenal dalam UU Tipikor yang dikelompokkan menjadi perbuatan yang menguntungkan diri sendiri/orang lain/korporasi, suap, perbuatan curang, penggelapan/pemalsuan, pemerasan, dan benturan kepentingan. Selain menguraikan jenis korupsi dalam UU Tipikor, dia juga memperkenalkan tentang The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang diratifikasi melalui UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC. Chandra juga menunjukkan hasil Indeks Persepsi Korupsi yang diterbitkan oleh Transparency International sejak 1995 sampai dengan 2016. Indonesia meraih capaian nilai sebesar 37, masih berada di bawah negara tetangga Malaysia dan Singapura. Namun, nilai itu meningkat sejak keberlakuan UU Tipikor, walaupun tidak cukup signifikan. Chandra menutup kuliahnya dengan berujar bahwa akan percuma mempelajari hukum apabila negara semakin korup. Dalam negara korup, tidak lagi diperlukan aturan, apalagi penegakan atas aturan itu karena semua bisa dibayar.
Penulis : ED
Editor : APH