Pengajar Jentera, Anugerah Rizki Akbari dan Rifqi S. Assegaf menjadi narasumber dalam diskusi bertajuk “Sentencing Principles in Indonesia’s Draft Criminal Code Bill” yang diselenggarakan oleh Monash University Australia bersama Capital Punishment Justice Project pada Kamis (11/11/2021) secara daring. Diskusi tersebut secara khusus akan membahas perihal sejarah, perubahan yang dimunculkan, dan prinsip pemidanaan yang tertera dalam RKUHP.
Menilik sejarah inisiasinya yang dimulai sejak 1960an, penyusunan RKUHP telah melewati rentetan proses yang panjang, dengan melibatkan beberapa rezim pemerintahan dan permasalahan yang kian kompleks. Eki kemudian menjabarkan sejarah tersebut yang dimulai pada 1961, saat muncul beberapa seminar dengan tema besar “RKUHP Asli Indonesia”. Tema besar tersebut menjadi semangat tersendiri untuk mengganti KUHP yang telah dikenakan, yang merupakan produk kolonial, dengan RKUHP yang berasal dari nilai dan dengan konteks asli Indonesia. Pada 1980, pemerintah kemudian membentuk tim perumus RKUHP yang dipimpin oleh Pakar Hukum Universitas Diponegoro, Prof. Soedarto. Pada saat tersebut, Tim Perumus menyepakati untuk tidak menyusun RKUHP dari nol, melainkan merekodifikasi KUHP Hindia Belanda. Rumusan tersebut akhirnya diserahkan pada Menteri Kehakiman, Ismail Saleh, oleh Tim Perumus yang telah berganti pimpinan yakni, Prof Mardjono Reksodiputro.
Pada rezim pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pembahasan RKUHP sempat dimulai kembali dan secara intensif dibahas oleh DPR-RI melalui Panitia Kerja yang diketuain Benny K. Harman. Pada 2015, Presiden Joko Widodo menerbitkan Surat Presiden berisi kesiapan pemerintah dalam membahas RKUHP. DPR-RI dan Pemerintah bersepakat untuk menyelesaikan pembahasan RKUHP dengan jangka waktu dua tahun, hingga 2017, namun hingga kini belum diselesaikan.
Terkait dengan rentetan sejarah tersebut, Rifqi menjelaskan bahwa mulanya penyusunan RKUHP banyak dipengaruhi oleh proses teknokratik dibanding proses politik. Namun Rifqi juga menegaskan bahwa dalam perjalanannya, proses politik tidak dapat dinegasikan dalam penyusunan RKUHP tersebut. Hal tersebut dapat ditinjau pada pengajuan pembahasan kembali RKUHP oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada DPR-RI sebagai respon atas kondisi politik pada saat itu. Rifqi juga menilai bahwa penerbitan Surat Presiden terkait kesiapan untuk membahas kembali RKUHP pada masa Joko Widodo didasarkan pada kondisi politik yang relatif stabil, di mana parlemen tengah didominasi oleh partai koalisi pro-pemerintah.
Proses politik kemudian banyak mengambil andil terkait pembahasan RKUHP ketika kontrol publik terhadap pemerintah dan parlemen mulai diperketat. Beberapa kasuistik seperti dugaan upaya pelemahan KPK-RI melalui revisi UU KPK menjadi pemantik publik semakin keras dalam mengkritik dan mengawasi kinerja pemerintah dan parlemen. Rifqi menjelaskan bahwa kritik tersebut kemudian juga disampaikan melalui demonstrasi masa dalam jumlah yang besar, yang tidak hanya menyasar ihwal revisi UU KPK tetapi juga terkait pembahasan RKUHP dan undang-undang lain. Terkait RKUHP, Rifqi menyampaikan bahwa guna merespon desakan publik, pemerintah kemudian membuka kembali pintu negosiasi perihal beberapa aturan yang banyak menjadi diskursus publik, seperti ihwal pembatasan hak masyarakat untuk bersuara dan menyampaikan kritik.
Rifqi kemudian menyinggung beberapa ihwal utama dalam penyusunan RKUHP yakni upaya memuat filosofi baru tentang hukum pidana yang berdasarkan Pancasila, sebagai bentuk dekolonisasi terhadap nilai lama. Hal penting lain menurut Rifqi adalah upaya penyusunan RKUHP ini harus sejalan dengan upaya kodifikasi aturan hukum pidana, sehingga menjadi satu pedoman yang utuh.
Terkait dengan substansi, Eki kemudian menjelaskan beberapa fitur pemidanaan baru yang terkandung dalam RKUHP. Hal tersebut di antaranya adalah jenis pidana baru seperti pidana kerja sosial dan memunculkan pedoman pemidanaan yang baru yang tidak dimuat dalam KUHP saat ini seperti pemaafan hakim (judicial pardon). Atas beberapa hal tersebut, Eki kemudian mengapresiasi kerja pemerintah, namun tetap kritis dengan beberapa masukan pada ihwal yang lain.
Terkait persoalan hukum pidana adat misalnya. Dengan upaya pemerintah yang ingin menaikkan status hukum pidana adat kepada hukum pidana nasional tanpa identifikasi yang jelas, kemudian memunculkan kebingungan baik di kalangan pemerintah sendiri maupun masyarakat umum. Preseden tersebut memaksa pemerintah berencana untuk mengatur hukum pidana adat dengan dikembalikan ke daerah dan diatur oleh pemerintah daerah. Eki beranggapan bahwa hal tersebut akan membahayakan, karena dari sisi legalitas akan mengaburkan aturan hukum pidana.
Eki kemudian juga menyinggung diskursus yang selalu hangat di masyarakat yakni terkait hukuman mati. Dalam RKUHP tertera masa tunggu selama sepuluh tahun untuk terpidana sebelum diganjar hukuman mati. Pada masa tunggu tersebut, akan dievaluasi melalui mekanisme internal hakim, dan dapat diubah menjadi hukuman penjara seumur hidup apabila terpidana menunjukkan penyesalan. Eki berpandangan bahwa hal tersebut merupakan sebuah kemajuan, yang sebelumnya tidak diatur pada KUHP yang kini masih dikenakan. Pada KUHP terkini, jalan untuk menghindari hukuman mati hanya terdapat pada dua hal yakni mekanisme hukum dan mengajukan grasi pada presiden. Namun terkait lamanya masa nunggu, Eki berpendapat bahwa hal tersebut perlu ditinjau ulang dengan pertimbangan aspek kejiwaan dan psikologis terpidana serta keluarganya keluarganya.
Hal lain yang juga menjadi perhatian Eki terhadap draft RKUHP adalah ihwal kodifikasi aturan pidana dan pengelolaan lembaga pemasyarakatan. Eki menegaskan bahwa RKUHP harus menjadi sebuah sistem yang terkodifikasi sehingga menjadi acuan aturan pidana, yang kini masih berserak di banyak undang-undang. Pada undang-undang yang terkait dengan peraturan perundang-undangan juga perlu diatur mekanisme legislasi aturan pidana, bahwa apabila terdapat aturan-aturan lain yang memuat aturan pidana harus disesuaikan denga RKUHP.
Selanjutnya mengenai pengelolaan lembaga pemasyarakatan, RKUHP harus memiliki orientasi untuk menyelesaikan masalah overcrwoding. Eki menjelaskan bahwa kini jumlah narapidana sangat banyak, dan berbanding terbalik dengan jumlah lembaga pemasyarakatan yang sedikit. Salah satu masalah serius yang disampaikan Eki adalah perihal legislasi pidana yang ancaman hukumannya sangat tinggi. Penjara tidak boleh selalu menjadi mekanisme untuk menghukum. Sistem pemidanaan dituntut untuk menghadirkan intervensi lain yang bukan hanya memenjarakan, namun menjadikan narapidana kembali produktif dan terbebas dari stigma negatif di masyarakat.