Indonesia adalah negara hukum, bukan rechtstaat dan bukan pula rule of law. Itulah yang diungkapkan Prof. Dr. Mohammad Mahfud M.D. dalam kuliah pembuka Hukum Tata Negara dan Kekuasaan Eksekutif di STH Indonesia Jentera. Alasannya, istilah rechtstaat biasa disebut pada negara yang menganut sistem civil law yang bersumber pada hukum tertulis untuk mencapai kepastian hukum. Sementara itu, istilah rule of law biasa disebut di negara yang menganut sistem common law yang bersumber dari kebiasaan masyarakat untuk mencapai suatu keadilan. Indonesia bukan semata-mata condong pada salah satunya, tetapi mengambil jalan tengah. Negara hukum yang berusaha mencapai kepastian sekaligus keadilan.
Konsep negara hukum tersebut menjadi bagian pembahasan topik politik hukum yang diangkat pada Selasa, 14 Februari 2017. Mahfud menjelaskan politik hukum sebagai kebijakan tentang hukum yang harus diberlakukan atau yang tidak boleh diberlakukan untuk mencapai tujuan bernegara. Karenanya, hukum dibentuk demi perwujudan tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam alinea keempat pembukaan UUD NRI 1945.
Terkonsepnya politik hukum Indonesia dimulai sejak 1960. Melalui TAP MPR No. 1/MPRS/1960, MPR menetapkan garis-garis besar haluan negara (GBHN). Setelah itu, politik hukum tergambar dalam Program Pembangunan Nasional (propenas) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Saat ini, kita dapat melihat Program Legislasi Nasional (prolegnas) sebagai potret politik hukum. Kepentingan pemerintah, DPR, dan DPD untuk membahas produk hukum yang diprioritaskan pada periode tertentu ada dalam prolegnas.
Mahfud juga menjelaskan bahwa sumber hukum tidak sama dengan hukum. Kitab suci, kebiasaan, dan adat istiadat bisa menjadi sumber hukum, tetapi bukan lantas merupakan hukum yang diakui. Harus ada penetapan dari negara untuk menyatakan sesuatu itu disebut hukum, dalam hal ini bisa undang-undang, peraturan presiden, ataupun peraturan daerah. Pemaparan itu memantik pertanyaan dari salah satu mahasiswa, Guntoro, mengenai peraturan daerah di Aceh yang mewajibkan perempuan untuk berjilbab. Mahfud menjawab dengan terlebih dulu menguraikan konteks pembentukan Pemerintah Aceh yang berbeda dengan pemerintah daerah lain. Terdapat kepentingan-kepentingan yang dinegosiasikan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam Perjanjian Helsinki, salah satunya terkait peraturan yang berlaku di Aceh. Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, kecuali bidang-bidang lain, seperti hubungan luar negeri yang merupakan kewenangan pemerintah. Politik memang bicara tentang kepentingan. Namun, ketika bicara tentang politik hukum, bukan semata-mata kepentingan. Lebih luas, dia bicara mengenai hukum yang diciptakan untuk mencapai tujuan bernegara.
Penulis:Estu Dyah
Editor: Amalia Puri Handayani