preloader

Perlu Kebijakan Afirmatif untuk Mendorong Kepemimpinan Hakim Perempuan

Saat ini jumlah hakim perempuan hanya sekitar 29% atau 2.211 orang dari keseluruhan 7.729 hakim di Indonesia. Jumlah hakim perempuan yang menempati posisi pimpinan di 4 lingkungan peradilan bahkan lebih kecil lagi yaitu 24% dari 2.211 orang tersebut. Padahal, menurut Hakim Agung yang juga Ketua Ketua Umum Badan Perhimpunan Hakim Perempuan Indonesia (BPHPI) Nani Indrawati, kehadiran hakim perempuan sangat krusial dalam memberikan alternatif pendekatan humanis dalam pengambilan keputusan hukum. Menurutnya, proses rekrutmen dan promosi hakim harus didasari oleh integritas serta kompetensi, dengan penekanan pada penerapan prinsip sensitif gender.

Hal tersebut disampaikan dalam diskusi bertajuk “Peringatan Hari Internasional Hakim Perempuan: Ethic of Care dan Hakim Perempuan” yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera dan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) pada Senin (10/3/2025) secara daring.

Anggota Komisi Yudisial Sukma Violetta juga menjelaskan bahwa persentase data calon hakim perempuan yang lolos seleksi berada di bawah 20%, sehingga dibutuhkan kebijakan afirmatif seperti sistem kuota gender dan penyesuaian mekanisme promosi serta mutasi yang bersifat regional. Kebijakan afirmatif ini diharapkan dapat mengatasi hambatan struktural dan kultural yang selama ini menghalangi perempuan untuk mengisi posisi strategis di lingkungan peradilan.

Koordinator Nasional Forum Pengada Layanan Siti Mazumah menuturkan bahwa penelitian internasional menunjukkan hakim perempuan cenderung menghasilkan putusan yang lebih adil, terutama dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, dan isu hak waris. Hal ini menandakan perlunya reformasi sistemik, termasuk penguatan kapasitas melalui program mentoring dan pelatihan untuk memastikan keberlanjutan karier hakim perempuan.

Lebih lanjut, Pengajar STH Indonesia Jentera Violla Reininda menekankan pentingnya pengembangan kemampuan yang dapat diperoleh melalui pengalaman dan pelatihan intensif, sehingga hakim tidak terbawa perasaan dalam menjatuhkan putusan dan dapat menjaga netralitas serta integritas dalam proses peradilan. Program mentoring bagi hakim perempuan muda telah diterapkan sebagai langkah strategis untuk memberikan dukungan dan bimbingan intensif. Menurut Violla, dukungan semacam ini sangat penting untuk mengatasi tekanan internal seperti kesulitan menyeimbangkan kehidupan profesional dan keluarga serta tekanan eksternal seperti sistem mutasi nasional yang mengharuskan perpindahan ke berbagai daerah.

Dengan reformasi kebijakan yang mencakup promosi, penempatan, dan perlindungan hak-hak khusus seperti perlindungan maternitas, diharapkan sistem peradilan Indonesia dapat lebih inklusif, adil, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat, terutama dalam menjamin keadilan bagi perempuan dan kelompok rentan.

 

Diskusi yang dimoderatori oleh Pengajar STH Indonesia Jentera Fajri Nursyamsi dapat disaksikan ulang di kanal YouTube STH Indonesia Jentera.