Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera menyelenggarakan International Lecture bertajuk “Regional Public Discussion on Small-Claims Court: Experiences from Indonesia, the Philippines, and Malaysia” pada Kamis (27/2/2025). Diskusi ini bertujuan untuk membahas efektivitas penerapan gugatan sederhana yang terjadi di Indonesia, Malaysia, dan Filipina.
Pengajar Fakultas Ilmu Politik University Santo Tomas Glenda E. Feliprada menyoroti pentingnya perbandingan antar-negara untuk menilai sejauh mana kebijakan hukum gugatan sederhana telah mencapai prinsip egaliter, di mana semua orang mendapatkan kesempatan dan perlindungan yang sama. Glenda yang merupakan penulis buku berjudul “Debtors’ Protection in Small Claims Court: Indonesia, Malaysia, and The Philippines”, menilai meskipun Indonesia, Malaysia, dan Filipina telah menerapkan sistem gugatan sederhana dengan tujuan mengurangi biaya, menyederhanakan prosedur, dan memungkinkan penyelesaian tanpa keterlibatan advokat, efektivitasnya masih menghadapi tantangan. “Beberapa kendala utama gugatan sederhana meliputi keterlambatan dalam penyelesaian kasus, kurangnya kesadaran masyarakat, keterbatasan infrastruktur hukum, serta perbedaan regulasi di setiap negara,” ungkap Glenda.
Senior Associate, Legal, Commercial, and Compliance di TMS Consulting Anak Agung Made Desni Sensini membagikan pengalaman dalam menangani perkara melalui gugatan sederhana yang membutuhkan waktu maksimal 25 hari kerja dari proses persidangan hingga putusan. Singkatnya waktu tersebut memerlukan regulasi yang dapat mengatur mengenai kesederhanaan dan kompleksitas alat bukti dalam gugatan sederhana. Desni juga menekankan pentingnya peran negara dalam mengeksekusi putusan sengketa gugatan sederhana.
Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan Alfeus Jebabun menuturkan perlu adanya peningkatan dalam merealisasikan penggunaan teknologi untuk pengajuan gugatan daring, verifikasi dokumen digital, dan jadwal sidang virtual guna mempercepat proses dengan selalu melakukan evaluasi berkala untuk menilai efektivitas gugatan sederhana dan mengidentifikasi area yang perlu diperbaiki. Selain itu, perlu adanya peningkatan anggaran dan infrastruktur untuk memperluas akses terhadap gugatan sederhana di daerah terpencil.
Reformasi kebijakan juga diperlukan guna menyederhanakan regulasi dan mempercepat proses hukum tanpa mengorbankan prinsip keadilan. Jika upaya ini berhasil diterapkan, gugatan sederhana dapat menjadi instrumen peradilan yang benar-benar efisien, cepat, dan inklusif, sehingga masyarakat di Indonesia, Malaysia, dan Filipina dapat lebih mudah mendapatkan penyelesaian hukum yang adil dan terjangkau.
Diskusi yang dimoderatori oleh Pengajar STH Indonesia Jentera Muhammad Faiz Aziz dapat disaksikan ulang di kanal YouTube STH Indonesia Jentera.