preloader

Pentingnya Pelindungan Hukum Bagi Guru

Kasus kriminalisasi guru di Indonesia terus menjadi sorotan publik. Berbagai insiden kekerasan hingga pemolisian yang dialami guru, khususnya dalam konteks pengajaran dan pendisiplinan siswa, menunjukkan betapa rentannya tenaga pendidik terhadap jeratan hukum saat menjalankan tugasnya.

Dalam upaya memperkuat pemahaman hukum dan advokasi untuk guru, Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera berkolaborasi dengan Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) menyelenggarakan webinar bertajuk “Waspada Kriminalisasi Guru, Pahami Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Pendidik” pada Sabtu (16/11/24).

Pengajar STH Indonesia Jentera Asfinawati menjelaskan bahwa pelindungan hukum bagi guru sebenarnya telah diatur dalam berbagai regulasi, antara lain pada Pasal 14 Ayat 1(f) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bahwa guru memiliki kebebasan untuk memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, hingga sanksi kepada siswa sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik, dan peraturan perundang-undangan. 

Menurutnya, UU Guru dan Dosen sebenarnya sudah cukup kuat dalam mengatasi masalah-masalah yang potensial menjadi alat untuk mengkriminalisasi guru. Namun, implementasi pelindungan di lapangan sering kali tidak berjalan sesuai harapan.  Banyaknya kasus kriminalisasi guru yang terjadi adalah cerminan tidak dilaksanakannya hukum acara pidana secara benar serta kurangnya literasi hukum, baik di kalangan guru maupun masyarakat. “Regulasi yang ada sebenarnya sudah cukup kuat untuk melindungi guru, tetapi yang sering terjadi adalah salah penerapan hukum acara pidana,” ungkap Asfinawati.

Terkait dengan upaya perlindungan terhadap tugas guru secara riil di lapangan, Asfinawati merekomendasikan pembentukan paralegal sebagai salah satu langkah advokasi hukum untuk guru. Paralegal adalah orang yang memiliki keterampilan hukum dan telah mengikuti pelatihan untuk membantu masyarakat yang bermasalah dengan hukum, namun bukan pengacara. Paralegal bekerja di bawah bimbingan pengacara atau dengan kemampuan hukum yang dinilai cukup. Paralegal dapat menjadi pendamping hukum pertama bagi guru yang menghadapi masalah hukum. Keberadaan paralegal ini penting mengingat kebanyakan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) berada di Pulau Jawa dan maksimal di ibukota kabupaten, sementara banyak guru yang domisilinya tersebar di berbagai pelosok tanah air.

“Paralegal adalah solusi praktis, terutama bagi guru di daerah pelosok yang jauh dari akses layanan hukum formal. Mereka bisa membantu menyusun kronologi, mendampingi di proses kepolisian, hingga memberikan konsultasi non-litigasi,” ujar Asfin seraya menambahkan bahwa pertolongan pertama yang paling penting adalah pendampingan pada pemeriksaan pertama yang sangat menentukan proses hukum selanjutnya.

Selain itu, Asfinawati juga merekomendasikan langkah strategis dalam bentuk kerja sama yang lebih erat, seperti penandatanganan nota kesepahaman antara organisasi guru dan kepolisian, untuk melindungi guru dalam menjalankan tugasnya.  Sebelum itu, tambahnya, alangkah baiknya pelindungan secara internal di sekolah juga diperkuat dengan adanya Satuan Tugas (Satgas) yang bertugas untuk melindungi guru dan juga siswa dari berbagai potensi perundungan, pelecehan seksual, dan ancaman lain yang membahayakan.

Lebih jauh lagi, webinar juga menyoroti perlunya memperkuat serikat profesi dan komunitas guru karena pada dasarnya guru juga tidak mungkin menyelesaikan permasalahan hukum seorang diri. Asfinawati mengajak serikat profesi guru dan komunitas semacam KGSB untuk membuat kajian tentang apa yang menjadi penyebab berbagai masalah hukum tersebut dari kedua sisi. Yaitu dari sisi apa yang menimpa guru dan di sisi lain apa yang dirasakan siswa. 

Terkait sinergi antar organisasi, Ketua STH Indonesia Jentera Aria Suyudi memberi apresiasi terhadap upaya-upaya yang telah dilakukan KGSB. Aria menegaskan, institusi yang dipimpinnya memandang penting upaya-upaya semacam ini untuk meningkatkan literasi hukum dan pemberdayaan hukum di masyarakat. Tujuan akhirnya agar masyarakat benar-benar mampu menjadi penyeimbang dan pemain aktif dalam proses demokrasi di Indonesia.

Aria berpendapat, posisi guru yang sangat rentan  kriminalisasi merupakan akibat adanya potensi multitafsir hukum. Namun di atas itu semua, ia memberi penekanan bahwa kunci keharmonisan hukum dalam hubungan berbagai pihak adalah pemahaman bagaimana hukum mengatur serta kepahaman atas batas-batas interaksi dengan pihak ketiga.

Acara ditutup dengan harapan agar webinar ini dapat menjadi titik awal bagi perubahan sistemik dalam melindungi guru dari kriminalisasi. “Tidak ada kebebasan tanpa usaha. Kebebasan harus diperjuangkan dan dimenangkan.  Jadi mari kita bersama-sama memperjuangkan perlindungan hukum bagi guru agar mereka bisa mendidik dengan aman dan nyaman,” ujar Asfinawati mengutip kata-kata politisi Amerika A. Philip Randolph dalam statemennya.