Kesehatan mental kerap diabaikan dibandingkan dengan kesehatan fisik. Padahal berdasarkan sebuah studi dari Universitas Udayana menemukan bahwa 4,75% dari sampel remaja usia 13-18 tahun di seluruh Indonesia pernah berpikiran bunuh diri setidaknya sekali dalam setahun terakhir.
Menurut psikolog mitra Yayasan Pulih, Maria Puspita kesehatan mental seseorang dapat dipengaruhi berbagai hal seperti kondisi biologis, sosial ekonomi, dan lingkungan. Misalnya dalam situasi pandemi seperti saat ini, anak muda menghadapi beragam tantangan seperti pembelajaran jarak jauh, kebijakan social/physical distancing yang tengah berlaku, kondisi ekonomi keluarga yang kemungkinan besar memburuk, serta kondisi rumah yang belum dapat menjadi lingkungan yang nyaman dan aman. Kondisi itu dapat memberikan dampak pada kesehatan mental seperti kecemasan, kesepian, depresi, berduka, hingga perilaku beresiko.
Hal tersebut disampaikan dalam kegiatan kunjungan #JenteraMenyapa ke SMA IT Ummul Quro pada Jumat (22/1/2021) dan SMAS II Kemurnian Jakarta pada (25/1/2021) secara daring.
Untuk menjaga kesehatan mental, Maria menjelaskan pentingnya sikap resiliensi yakni proses untuk beradaptasi dalam menghadapi kesulitan, trauma, tragedi, ancaman atau sumber stres lainnya yang signifikan. Dengan sikap tersebut, sesorang akan mampu bangkit kembali dan dapat mengatasi kesulitan secara efektif; lentur tetapi tidak patah di bawah tekanan ekstrim; menangani kesulitan, bertahan, dan beradaptasi bahkan ketika ada yang salah atau tidak berjalan sebagaimana mestinya; serta membuat individu menjadi tidak terlalu rentan terhadap stres dan mempersiapkan diri untuk tantangan masa depan.
Untuk mengatasi berbagai problem kesehatan mental, Maria mengingatkan untuk tidak mendiagnosa kondisi mental diri sendiri. Konseling diperlukan jika masalah dirasa tidak dapat diselesaikan, kehidupan sehari-hari sudah terganggu, perlu opini objektif dari pakar terkait permasalahan yang dihadapi, dan tidak ada dukungan dari orang lain atau tidak dapat menarik diri dari lingkungan.
Pengajar STH Indonesia Jentera, Estu Dyah Arifianti dalam kunjungan daring di SMAS II Kemurnian juga menjelaskan mengenai hukum dan keberagaman kondisi mental. Menurut Estu, keberagaman kondisi fisik dan mental tidak menghalangi akses seseorang terhadap hak-haknya, termasuk hak atas pendidikan maupun hak atas pekerjaan. Namun kenyataannya, persyaratan mendaftarkan diri ke perguruan tinggi atau melamar pekerjaan sering mewajibkan pendaftar “sehat jasmani dan rohani” yang sering diartikan tidak dalam kondisi disabilitas fisik maupun mental.
Lebih lanjut, Estu menuturkan lingkungan akademik dapat terlibat menjaga kesehatan mental dengan menciptakan akses dan akomodasi. Caranya adalah dengan mewujudkan lingkungan yang aman bagi guru, siswa, dan karyawan sekolah untuk mendorong inklusivitas yang memahami perbedaan fisik, mental, status sosial, suku, agama, dan konstruksi sosial lain.
Lalu, sekolah dapat mengambil langkah – langkah untuk menjaga kondisi mental dengan mengoptimalkan layanan konseling yang dimiliki, termasuk bekerjasama dengan institusi penyedia layanan kesehatan.
Melihat hal tersebut, sejak 2020 Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera menyepakati nota kesepahaman dengan Yayasan Pulih terkait program pendampingan kesehatan mental bagi mahasiswa Jentera. Dengan kerja sama tersebut, mahasiswa Jentera diharapkan bisa memiliki saluran alternatif untuk membagi perasaannya sebelum terlanjur menjadi parah dan mengganggu kesehatan mental.