Pengajar Jentera, Bivitri Susanti menjadi salah satu narasumber dalam Asia in Review (AiR) online panel discussion series bertema “Constitutionalism in Crisis? The Path ahead for Southeast Asia” pada Rabu (16/12/2020). Agenda tersebut terselenggara atas kerja sama Asian Governance Foundation (AGF), German-Southeast Asian Center of Excellence for Public Policy and Good Governance (CPG), Faculty of Law Thammasat University, dan Hanns Seidel Foundation.
Selain Bivitri, pada kesempatan tersebut juga hadir narasumber lain, yakni Thitinan Pongsudhirak dari Chulalongkorn University, Maria Ela L. Atienza dari University of the Philippines, Melisssa Crouch dari University of New South Wales, dan Dian A H Shah dari National University of Singapore.
Diskusi tersebut membahas perkembangan ketatanegaraan di negara-negara Asia Tenggara yang menemui ketidakpastian. Fenomenanya kemudian mengemuka ketika prinsip dasar ketatanegaraan mulai mendapatkan tekanan secara terbuka, bahkan oleh negara sebagai penyelenggara pemerintahan itu sendiri. Selain perihal perkembangan ketatanegaraan terkini, diskusi tersebut juga membahas prospeknya di Asia Tenggara dengan mempertimbangkan beberapa tantangan seperti pandemi Covid-19 hingga persaingan kekuatan besar di Asia, salah satunya China.
Bivitri kemudian mengangkat kasuistik di Indonesia, yang menurutnya juga tengah menghadapi ketidakpastian bahkan pelambatan dalam hal perkembangan ketatanegaraan hingga demokrasi. Bivitri mengawali dengan menyinggung soal Indeks Demokrasi di Indonesia yang pada 2019 mendapatkan nilai 74,92 dari 100 poin, naik 2,53 poin dari tahun sebelumnya. Badan Pusat Statistik kemudian menempatkan nilai tersebut dalam kategori sedang.
Menilik pada nilai Indeks Demokrasi tersebut, Bivitri kemudian memiliki catatan kritis, yang mana terdapat situasi lapangan yang bertolak belakang. Ia menjabarkan beberapa preseden terjadi dan tidak sejalan dengan prinsip konstitusionalisme dan demokrasi, walaupun indeks penilaiannya tengah naik. Dimulai dari maraknya otoritarianisme digital seperti pemadaman internet di daerah dengan kondisi tertentu atau kriminalisasi wartawan dan aktivis menggunakan pasal karet di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Selain itu, pada 2019 dan 2020 terdapat beberapa pembahasan rancangan undang-undang yang tidak transparan dan minim partisipasi publik. Sebagai contoh, revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir 2019, yang menurutnya memiliki dampak pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga antirasuah tersebut, baik secara institusi maupun kewenangan. Beberapa contoh lain adalah pembahasan hingga pengesahan UU Minerba dan UU Cipta Kerja, yang dalam prosesnya juga bermasalah dan kemudian mumunculkan gelombang penolakan oleh publik.
Terkait gelombang penolakan publik yang tidak jarang dituangkan dalam bentuk demonstrasi juga menimbulkan permasalahan lain seperti tindak represif aparat. Berdasarkan catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), sebanyak 51 orang tewas terkait unjuk rasa sepanjang 2019 atau sejak Januari hingga 22 Oktober 2019.
Di akhir 2020 ini, sejumlah daerah di Indonesia juga menyelenggarakan pemilihan kepala daerah walaupun masih dalam situasi pandemi. Penyelenggaraan tersebut menuai pro dan kontra karena upaya penanganan pandemi oleh pemerintah yang dianggap kurang maksimal sehingga proses pelaksanaan pilkada rentan menjadi sarana baru penularan virus Covid-19. Pilkada serentak tahun ini juga diwarnai pesatnya fenomena politik dinasti, di mana keluarga atau kerabat pejabat publik yang masih aktif menjabat, maju mencalonkan diri dan memenangi sejumlah pemilihan. Bivitri menilai hal tersebut memberi peluang terjadinya konflik kepentingan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan urusan publik.
Bivitri kemudian menggambarkan kondisi ketatanegaraan dan demokrasi tersebut secara samar, tidak jelas apakah stagnan, terjadi kemunduran, atau terdapat kegagalan untuk bergerak maju. Ia menilai, ketidakpastian tersebut apabila dibiarkan bahkan “dirawat” secara terus-menerus maka akan berdampak pada stabilitas nasional, yang tentu juga akan berimbas pada kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Dalam merespon ketidakpastian tersebut, Bivitri menyarankan untuk bersama meninjau kembali upaya perekayasaan konstitusi secara adil dan konstruktif, dengan melihat pada sejarah, struktur masyarakat dan sistem hukum yang lain, seperti hukum adat. (MH)