Pengajar STH Indonesia Jentera, Bivitri Susanti menjadi salah satu dari tiga ahli untuk Penggugat dalam perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada Selasa (15/9/2020). Perkara ini mempersoalkan Surat Presiden tentang Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja atau Omnibus Law yang dikirimkan kepada DPR untuk mulai membahas RUU Cipta Kerja pada Februari lalu.
Dalam sidang di PTUN Jakarta tersebut, Bivitri berpendapat Surat Presiden dalam proses legislasi merupakan Keputusan Tata Usaha yang dapat digugat ke pengadilan jika memang dibuat dengan proses yang tidak partisipatif. Keberadaan Surat Presiden tidak hanya dimuat dalam sebuah peraturan tata persuratan, melainkan dalam undang-undang. Dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) Pasal 50 ayat (1) menyatakan, secara materil, fungsi Surat Presiden dalam proses legislasi adalah untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang dari Presiden. Bahkan UU PPP secara lebih terperinci mengatur jangka waktu respon selama 60 hari (Pasal 50 ayat (2)). Surat Presiden dalam proses legislasi yang diatur dalam UU PPP ini merupakan pengejawantahan dari Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan konsep “persetujuan bersama” antara Presiden dan DPR dalam proses legislasi.
Bagi presiden, Surat Presiden dalam proses legislasi merupakan bagian dari wewenang konstitusionalnya, dalam rangka menjalankan Kekuasaan Pemerintahan Negara, yang diatur dalam Bab III UUD 1945, khususnya Pasal 5 yang mengatur hak presiden untuk mengajukan rancangan undang-undang. Karena itu, keputusan presiden untuk mengeluarkan atau tidak mengeluarkan Surat Presiden dalam proses legislasi, harus didului dengan proses pengecekan, sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) maupun asas umum pembentukan peraturan perundang-undangan. Kedua asas ini mensyaratkan keterbukaan. Padahal dalam proses penyusunan (sebelum dikirim ke DPR), masyarakat sipil yang bukan Tim Satgas Kemenko Perekonomian yang terdiri dari pengusaha dan sebagian kecil akademisi, tidak diundang untuk memberikan masukan. Bahkan tidak diberi akses untuk mendapatkan naskah RUU maupun Naskah Akademik RUU Cipta Kerja, meskipun telah memintanya secara resmi maupun tidak resmi. Lebih lanjut, asas umum pembentukan peraturan perundang-undangan diperjelas dengan Pasal 96 UU PPP yang menyatakan hak masyarakat untuk berpartisipasi serta mensyaratkan adanya akses yang mudah bagi masyarakat untuk mendapatkan RUU.
Perkara ini merupakan perkara pertama yang mempersoalkan Surat Presiden dalam proses legislasi. Untuk itu, Bivitri Susanti mendorong majelis hakim PTUN agar membuat penemuan hukum yang menempatkan Surat Presiden sebagai objek gugatan di PTUN untuk menguatkan negara hukum Indonesia. Prinsip negara hukum menekankan perlindungan hak warga negara dan pembatasan kekuasaan. Dengan adanya pengujian oleh PTUN terhadap Surat Presiden dalam proses legislasi, pemerintah bisa dikontrol secara hukum untuk mencegah dari kesewenang-wenangan dalam tahap penyusunan. Proses legislasi adalah juga bentuk nyata dari sebuah bangunan hukum. Bahkan salah satu yang utama. Proses legislasi tidak bisa dibiarkan tanpa kontrol pada setiap bagian dari prosesnya yang terdiri dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan. Benar bahwa ada proses pengujian di Mahkamah Konstitusi setelah suatu undang-undang diundangkan, namun prinsip negara hukum mengandung makna bahwa setiap tahapan proses, termasuk proses penyusunan, dalam proses legislasi ini menerapkan prinsip partisipasi dan keterbukaan.
Dua ahli lainnya adalah Akademisi dari Fakultas Hukum UGM Oce Madril dan Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga. Dalam sidang sebelumnya, penggugat telah menghadirkan beberapa saksi dari WALHI dan serikat buruh, yang mengungkap tidak adanya peluang partisipasi sama sekali serta ketertutupan proses.
Tergugat dalam Perkara Gugatan No. 97G/2020/PTUN JKT ini adalah Presiden Republik Indonesia, yang diwakili oleh Jaksa Pengacara Negara. Sedangkan Para Penggugat dalam perkara ini adalah sekelompok masyarakat sipil, antara lain: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Merah Johansyah Ismail, dan Perkumpulan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Apabila gugatan ini diterima, maka proses pembahasan yang saat ini sedang dilaksanakan di DPR harus berhenti, karena Surat yang memulai tahap pembahasan tidak sah.