Penuntut Umum mengajukan tuntutan 1 tahun penjara terhadap pelaku penyerangan Novel Baswedan. Alasan yang digunakan untuk menjustifikasi tuntutan tersebut adalah pelaku dianggap tidak pernah berniat melukai mata Novel dan hanya ingin melakukan penyiraman terhadap badan Novel. Ringannya tuntutan ini membuat publik bertanya-tanya terhadap keseriusan pengungkapan kasus yang dialami Novel Baswedan.
Menurut pengajar Jentera dan peneliti PSHK, Estu Dyah Arifianti tindakan menyiram wajah dan bagian tubuh dengan air keras bertujuan untuk melukai berat korban. Jika melihat perbuatan terdakwa terhadap Novel, maka, pelaku lebih tepat dituntut dengan penganiayaan berat berencana (Pasal 355 KUHP) dibandingkan dengan penganiayaan berencana yang mengakibatkan luka berat (Pasal 353 ayat (2) KUHP).
Hal tersebut disampaikan dalam Obrolan Puri Imperium (Opium) Online yang diselenggarakan oleh Bidang Studi Hukum Pidana STH Indonesia Jentera bertema Objektivitas Tuntutan Jaksa dalam Kasus Penyerangan Novel Baswedan pada Sabtu (13/6/2020). Selain Estu, pengajar Jentera lainnya juga menjadi narasumber yaitu Ichsan Zikry dan M. Tanziel Azizi yang juga peneliti LeIP.
Lebih lanjut, Ichsan Zikry menilai kesimpulan Penuntut Umum pada surat tuntutan bahwa terdakwa bermaksud menyiram badan Novel dan tidak sengaja mengenai kepalanya, tidak sinkron dengan surat dakwaan dan fakta persidangan. Uraian surat dakwaan dengan jelas menyebutkan tindakan terdakwa menyiram air keras ke kepala dan badan Novel. Keterangan saksi-saksi di persidangan pun tidak ada yang menyatakan terdakwa tidak sengaja menyiram kepala Novel dengan air keras.
Ichsan juga menyoroti lama pemidanaan yang diusulkan Penuntut Umum berupa 1 tahun pidana penjara. Baginya, penuntutan tersebut belum sesuai dengan Peraturan Jaksa Agung Tahun 2011 terkait kepentingan perlindungan korban serta Pedoman Jaksa Agung Tahun 2019 tentang Tuntutan Pidana Umum di mana Penuntut Umum harus memperhatikan faktor memberatkan dan meringankan. Dalam kasus Novel, faktor memberatkan dari tindakan terdakwa berupa keresahan meluas, tindakan sadis, serta menimbulkan penderitaan mendalam dan berkepanjangan bagi korban dan keluarganya, sehingga tuntutan 1 tahun penjara sangat mengusik rasa keadilan.
Terakhir, M. Tanziel Aziezi, menegaskan bahwa seyogyanya hakim dapat memutus berbeda dari surat tuntutan. Dalam menjatuhkan putusan, hakim tidak terikat pada tuntutan Penuntut Umum, melainkan pada pasal dakwaan, fakta hukum dalam persidangan, serta batasan pemidanaan dalam undang-undang. Selain itu, Azhe, sapaan akrabnya, menyatakan bahwa dalam memutus perkara, hakim juga harus memperhatikan disparitas pemidanaan, yaitu perkara-perkara dengan karakter peristiwa dan pasal putusan yang sama seharusnya dijatuhi lama pemidanaan yang tidak jauh berbeda, sehingga menjamin tercapainya kepastian hukum.
Diskusi yang dimoderatori oleh asisten pengajar Jentera, Sri Bayuningsih Praptadina itu diikuti oleh lebih dari dua ratus peserta yang terdiri dari dosen, mahasiswa, peneliti, hingga aparatur pemerintah. Diskusi tersebut juga dapat disaksikan ulang di kanal Youtube Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera. (Lov)
Download:
OpiumOnline_1362020_Ichsan_Penyusunan Tuntutan
OpiumOnline_1362020_Estu Dyah_Konsep Penganiayaan
OpiumOnline_1362020_Azhe_Kemandirian Hakim Novel