Presiden Joko Widodo atau biasa disebut dengan Jokowi sempat singgah di stand STHI Jentera pada saat pembukaan acara 26th Indonesia International Education & Training 2017 yang diselenggarakan di Jakarta Convention Center pada 2 Februari 2017. Presiden Jokowi menerima merchandise STHI Jentera berupa kartu pos, stiker, dan kipas menyimpan pesan positif terkait hukum yang bisa dibawa pulang. Hukum tak melulu berkenaan dengan hukuman, melainkan justru keadilan.
Ada mitos kuliah hukum yang membuat banyak orang menjadi khawatir untuk memilih jurusan yang satu itu. Tak kenal maka tak sayang. Untuk lebih mengenal kuliah hukum, ada dosen, peneliti, dan tim Jentera yang terlibat langsung di acara selama 2—5 Februari 2017 untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari pengunjung. Selain berbincang, pengunjung yang kebanyakan terdiri dari pelajar dan orangtua juga bisa melihat display, menonton video metode belajar, dan berfoto di photobooth dengan ilustrasi dari Reza Mustar. Maka itu, STHI Jentera berusaha menepis setidaknya 3 mitos hukum. Melalui cara berinteraksi yang beragam, STHI Jentera mempertanyakan kembali 3 mitos, yaitu kuliah hukum hanya soal hafalan, kuliah hukum begitu membosankan, dan profesi setelah berkuliah hukum hanya bisa menjadi lawyer.
Mitos pertama: kuliah hukum hanya berisi hafalan pasal-pasal belaka. Jawaban: sama sekali tidak. Belajar hukum tidak perlu menghafal semua pasal dalam setiap peraturan. Peraturan bisa saja berubah; kadang bukan hanya satu atau dua kali. Teknologi juga sudah bisa membantu kita untuk menemukan peraturan terbaru dan pasal-pasal di dalamnya. Melihat kenyataan itu, STHI Jentera justru mengajarkan cara berpikir dengan kerangka hukum. Cara berpikir inilah yang tetap bisa digunakan meski peraturannya berubah. Cara berpikirlah yang juga bisa memberikan analisis setiap kasus dengan keberpihakan kepada pencari keadilan.
Mitos kedua: kuliah hukum cenderung membosankan. Jawaban: belajar tidak perlu membosankan. Belajar hukum kerap diasosiasikan penuh dengan mata kuliah yang membuka kitab-kitab hukum yang sudah berdebu atau menyimak kuliah dari orang-orang yang lebih sering menceritakan kejayaannya daripada ilmu yang bisa dipetik dari pengalamannya atau mendengarkan kuliah di dalam kelas berjam-jam dengan posisi duduk manis. Metode belajar yang kreatif, partisipatif, dan egaliter dipercaya bisa menstimulasi dosen dan mahasiswa untuk saling berdiskusi. Beberapa cara dijalankan STHI Jentera, misalnya melakukan kunjungan mahasiswa, seperti ke Mahkamah Konstitusi, Monumen Nasional, Gedung DPR, kawasan penggusuran Bukti Duri. Kunjungan itu membiarkan mahasiswa melihat langsung apa yang dipelajari melalui buku dan dibicarakan dalam kelas. Selain itu, mahasiswa STHI Jentera juga diajak untuk melakukan presentasi secara kreatif, melalui gubahan lagu, sandiwara di kelas, dan video buatan sendiri. Mahasiswa mengalami dan merasakan apa yang sedang dipelajarinya melalui berbagai metode. Metode-metode itu ditunjukkan dalam foto-foto dan video yang bisa dilihat dalam display di pameran pendidikan dan pelatihan 2017 tersebut.
Mitos ketiga: setelah selesai kuliah hukum, profesi yang tersedia hanyalah lawyer. Jawaban: banyak profesi lain setelah lulus dari hukum. Ada berbagai macam profesi yang bisa dipertimbangkan setelah selesai kuliah hukum, misalnya perancang peraturan, dosen, peneliti, staf ahli, notaris, administrator, panitera, dan profesi lain. Pilihan profesi itu dituliskan dalam satu lembar jawaban yang bisa diambil oleh pengunjung untuk dijadikan properti foto di depan ilustrasi Reza Mustar dengan tulisan, “Masuk sekolah hukum, aku mau jadi…” Sambil memilih jawaban dan berfoto di photobooth, pengunjung juga menepikan mitos terkait profesi hukum.
Penulis: APH