Kemandirian kekuasaan kehakiman adalah kunci utama negara hukum dan demokrasi. Peran vital kekuasaan kehakiman adalah melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap jalannya pemerintahan. Dalam menjalankan peran tersebut, lembaga kehakiman juga tidak lepas dari pengawasan oleh lembaga negara lain, seperti legislatif. Namun pengawasan yang dilakukan harus bersifat komprehensif, menyasar etik, perilaku, putusan, dan kerja-kerja kehakiman lainnya.
Hal tersebut disampaikan oleh pengajar Jentera, Bivitri Susanti, dalam diskusi bertajuk “Peran Mahkamah Konstitusi di Tengah Regresi Demokrasi” yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera dan Constitutional and Administrative Law Society (CALS) pada Senin (12/12/2022). Hadir narasumber lainnya adalah Pontificial Gregorian University, Italia, Stefanus Hendrianto, dan pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar.
Bivitri menuturkan dalam semangat demokrasi yang terus diupayakan di Indonesia, terdapat lembaga Mahkamah Konstitusi yang memiliki peran kunci dalam mengevaluasi jalannya sebuah undang-undang. Dengan kemandiriannya, Mahkamah Konstitusi selayaknya berperan menjadi lembaga yang membawa amanat publik untuk mengoreksi apabila terdapat undang-undang bermasalah. Apabila kondisi yang ideal tersebut terselenggara, pemerintah dan lembaga legislatif akan berhati-hati dalam perumusan dan implementasi undang-undang karena terdapat kekuasaan yang mandiri yang dapat mengoreksinya apabila melenceng.
Berkaitan dengan fenomena pencopotan Hakim Mahkamah Konstitusi yang tengah mengemuka, Zainal menambahkan bahwa fenomena regresi demokrasi tersebut juga disebabkan oleh sikap Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusan yang diambilnya. Mahkamah Konstitusi secara kelembagaan diharapkan menerapkan semangat judicial activism yang berarti berani mengambil sikap atas permasalahan yang tengah ditinjau dengan netral dan berpihak pada konstitusi serta kepentingan publik. Namun Zainal menggarisbawahi, putusan yang banyak diterbitkan Mahkaham Konstitusi cenderung bersifat politis. Mahkamah Konstitusi yang seharusnya diselenggarakan dengan kemandirian kekuasaan kehakiman, faktanya hanya menjadi perpanjangan tangan pemerintah dan lembaga legislatif. Menurut Zainal, hal tersebut tercermin dari putusan peninjauan peraturan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi tidak sejalan dengan kepentingan publik dan hanya membantu melegalisir aturan bermasalah yang telah banyak dipertanyakan oleh publik.
Terkait dengan peran Mahkamah Konstitusi dalam lingkup kekuasaan kehakiman, Romo Hendri menegaskan bahwa selayaknya penyelenggara negara memahami Hukum Konstitusi dengan lebih detail. Dalam hal ini, Hukum Konstitusi berbeda dengan Hukum Tata Negara. Romo Hendri menambahkan, Hukum Tata Negara berbicara perihal struktur tata negara secara umum. Dalam pemaknaan terhadap peran Mahkamah Konstitusi, harus beralih pada pemahaman Hukum Konstitusi secara khusus. Hukum Konstitusi tidak hanya berbicara perihal undang-undang tertulis, tetapi juga menyangkut putusan pengadilan. Logika ini yang perlu dipahami guna menguatkan peran Mahkamah Konstitusi dan secara khusus terkait fenomena pencopotan Hakim Mahkamah Konstitusi yang tengah mengemuka.