Anti Corruption Summit (ACS) II dihelat. Ratusan akademisi dan penggiat antikorupsi—termasuk Estu Dyah dari PSHK dan Fritz Edward Siregar dari STHI Jentera—berkumpul di Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada (UGM) dimotori Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) menjadi tuan rumah kegiatan yang berlangsung pada 25—26 Oktober 2016. Tujuannya memperkuat peran perguruan tinggi dalam pemberantasan korupsi. Pada hari pertama, dilaksanakan rangkaian seminar terbuka di Grha Sabha Pramana UGM. Wakil Presiden, Jusuf Kalla, bertindak sebagai pembicara kunci sekaligus pembuka secara simbolis dalam kegiatan ini. Pada hari kedua, dilaksanakan seminar, diskusi, pidato penutup, dan deklarasi di Sahid Rich Hotel Yogyakarta.
Jusuf Kalla berujar bahwa belum pernah ada lembaga yang sesukses Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menindak kasus korupsi. Sejak KPK berdiri, sebanyak 3 kepala lembaga negara, 9 menteri, 19 gubernur, 46 anggota DPR, dan ratusan kepala daerah dipidana karena kasus korupsi. Itu adalah angka yang terungkap. KPK masih menjadi tumpuan utama untuk mengungkap kasus korupsi. Namun, KPK tidak bisa bekerja sendiri. Perguruan tinggi diharapkan menjadi mitra KPK dalam pencegahan maupun pemberantasan korupsi.
Perguruan tinggi adalah pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya korupsi di Indonesia. Begitu hasil survei integritas sebuah media nasional yang disebut oleh Prof. Mahfud MD dalam pidato penutupnya. Survei itu beralasan. Sebagian besar kasus korupsi yang terungkap dilakukan oleh setidaknya sarjana, yang notabene merupakan perguruan tinggi. Dalam mendidik mahasiswanya, perguruan tinggi seharusnya membekali dan menerapkan nilai antikorupsi. Nyatanya, lulusan perguruan tinggi justru menjadi role model perilaku koruptif. Keresahan itu harus dijawab.
Keberpihakan perguruan tinggi juga menjadi isu yang berulang kali disebut selama kegiatan berlangsung. Perguruan tinggi memiliki aset pakar yang dibutuhkan dalam proses pembuktian; sebagai ahli. Namun, KPK selama ini kesulitan mencari ahli yang menguatkan posisinya. Alih-alih merespons, ahli yang merupakan pakar perguruan tinggi justru sering berada dalam posisi berlawanan. Permintaan ahli dari KPK paling sering disambut oleh mereka yang setengah akademisi – setengah aktivis. Karena itu, perlu dibangun Konsolidasi Gerakan Anti Korupsi Berbasis Akademisi dan Kampus.
Usulan konsolidasi gerakan tersebut tidak muncul secara serta-merta. Anti Corruption Summit (ACS) I yang diselenggarakan pada 2005 melahirkan ide-ide, seperti pembentukan pusat studi antikorupsi dan mengajarkan antikorupsi dalam perkuliahan. Lebih dari satu dasawarsa berlalu, ide-ide belum banyak terwujud di perguruan tinggi. Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM dan Pusat Studi Konstitusi (PUSakO) Universitas Andalas merupakan beberapa contoh keberhasilan perguruan tinggi yang melakukan perlawanan terhadap korupsi. Perjalanan PUKAT UGM dan PUSaKO dalam menekuni kegiatannya menjadi bahan diskusi pembentukan pusat-pusat kajian di perguruan tinggi lain.
Membentuk suatu pusat kajian baru di perguruan tinggi tidak mudah, tetapi tidak mustahil diupayakan. Tantangan—seperti ketiadaan anggaran, kekurangan sumber daya manusia, dan tanpa dukungan dari pimpinan perguruan tinggi—dikemukakan. Zainal Arifin Mochtar (PUKAT UGM) dan Ferry Amsari (PUSaKO) menjawab dengan menceritakan awal mula pembentukannya. Tidak perlu pimpinan perguruan tinggi untuk menginisiasi; cukup empat akademisi dengan visi yang sama mulai mendiskusikan isu yang ditekuni. Ajak mahasiswa yang memiliki minat dan semangat tinggi. Lakukan pendekatan dengan organisasi masyarakat lain yang sudah hidup sebelumnya. Ikut sertakan media dalam diskusi yang penting untuk disikapi. Hal-hal kecil dapat menciptakan sesuatu yang besar.
Karena itu, ACS kali ini mengingatkan kembali komitmen perguruan tinggi dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Dua tahun dari sekarang, akan ada pertemuan untuk meng-update konsolidasi gerakan yang telah dilakukan perguruan tinggi. Sampai jumpa di Makassar!
Penulis:Estu Dyah
Editor: APH