STH Indonesia Jentera bekerja sama dengan Bank Indonesia menyelenggarakan pelatihan bertajuk “Hukum Siber dan Keuangan Digital” selama dua hari pada 16-17 April 2021 secara daring. Pelatihan diikuti oleh sepuluh peserta dari Bagian Legal Bank Indonesia.
Pelatihan tersebut diisi oleh pengajar Jentera yakni Muhammad Faiz Aziz dan beberapa ahli, akademisi, birokrat, serta advokat seperti Arkka Dhiratara, Budi Santoso, Edmon Makarim, Teguh Arifiyadi, dan Zacky Z. Husein. Tujuan umum dari pelatihan ini adalah sarana pendidikan untuk memahami keuangan digital, pemahaman dan wawasan tentang kejahatan, keamanan, dan hukum siber, pemahaman perihal perlindungan data pribadi, dan praktik pengaturan keuangan digital secara global.
Dalam pelatihan tersebut dibahas pentingnya perlindungan data pribadi dan kecukupan perangkat hukum di Indonesia serta kaitannya dengan aspek perlindungan konsumen. Referensi framework perlindungan data dan perlindungan konsumen di beberapa negara disandingkan untuk memperkaya pemahaman dalam membangun kerangka yang tepat bagi perlindungan konsumen di Indonesia. Selain itu, pelatihan ini juga membahas kemungkinan penerapan Online Dispute Resolutions (ODR) pada transaksi e-commerce untuk memberikan kemudahan kepada konsumen dalam penyelesaian sengketa secara mudah, murah, dan cepat.
Pada pelatihan tersebut, pengajar sekaligus Ketua Bidang Studi Hukum Bisnis STH Indonesia Jentera, Muhammad Faiz Aziz, membawakan materi bertajuk “Dispute Resolution dalam Transaksi Keuangan di Dunia Siber”. Aziz menjelaskan mengenai pelaksanaan Alternative Dispute Resolution (ADR). Pemanfaatan teknologi informasi dalam menerapakan sistem ADR kemudian melahirkan terminologi yang dikenal dengan istilah Online Dipsute Resolution (ODR). Aziz kemudian juga menjelaskan ODR sebagai sarana yang menggunakan teknologi untuk memfasilitasi penyelesaian atau resolusi sengketa antara para pihak, termasuk melalui negosiasi, mediasi, dan arbitrasi, atau kombinasi di antara ketiganya.
Dalam sistem hukum Indonesia, eksistensi ADR atau yang dikenal sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) diakui melalui Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU APS). Aziz menjabarkan bahwa UU APS memang tidak mengatur secara eksplisit mengenai ODR, namun di sisi yang lain UU APS nyatanya juga tidak mengatur secara spesifik mengenai metode yang digunakan dalam pelaksanaan APS sebagaimana yang tertera dalam Pasal 6 UU APS. Sehingga hal tersebut membuka kemungkinan penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagai dasar ODR.
Terkait dengan implementasi ODR di Indonesia, Aziz memberikan beberapa catatan terkait peluang dan tantangannya. Terkait peluang ODR dapat dimulai dari kerangka regulasi yang telah mendukung, yang kemudian dapat menjadi pondasi implementasi dan perkembangan konektivitas serta transaksi. Pada perkembangannya, implementasi ODR di Indonesia juga menghadapi beberapa tantangan seperti belum tersedianya regulasi pendukung, permasalahan pada proses pelaksanaan dan output, tingkat kesadaran yang masih rendah, dan infrastruktur yang belum dapat diakses secara luas.