Komisioner Komisi Yudisial RI sekaligus pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Binziad Kadafi, Founder DDTC, Darussalam, dan peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) sekaligus pengajar Jentera, Dian Rositawati menjadi narasumber dalam diskusi panel bertajuk “Peran dan Masa Depan Pengadilan Pajak” pada Rabu (7/6/2023) di Jentera. Diskusi tersebut, yang diselenggarakan setelah penandatanganan nota kesepahaman antara Jentera dan DDTC, bertujuan untuk memberikan masukan yang progresif terkait isu hukum perpajakan di Indonesia.
Seperti diketahui, salah satu isu hukum perpajakan yang tengah mengemuka adalah pengaruh pengalihan kewenangan pengelolaan pengadilan pajak ke Mahkamah Agung sesuai putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan tersebut menjadi diskursus mengingat eksistensi pengadilan pajak yang telah memasuki 21 tahun keberadaannya dan relasinya terhadap peran, tantangan, dan masa depan lembaga tersebut.
Dalam sambutannya, Ketua STH Indonesia Jentera, Arief T. Surowidjojo menyampaikan bahwa konstitusi mengamanatkan sistem peradilan yang berlangsung independen. Independensi tersebut dapat memberi batas yang jelas antara peradilan dan kepentingan-kepentingan lain yang coba untuk mempengaruhinya, sehingga dapat memberikan keadilan bagi yang membutuhkan. Dengan kembalinya pengelolaan pengadilan pajak pada Mahkamah Agung, Arief berharap terdapat ketentuan yang jelas agar independensi pengadilan pajak tetap terjaga.
Pada diskusi tersebut, Darussalam merespon kembalinya pengelolaan pengadilan pajak pada Mahkamah Agung harus tetap didasarkan pada fungsi sesuai konstitusi yakni menghadirkan keadilan bagi wajib pajak terkait sengketa pajak. Dalam proses penanganan sengketa pajak, pengadilan pajak diharapkan memberikan proses penyelesaian yang adil dengan prosedur yang cepat, murah, dan sederhana. Darussalam berpandangan bahwa perlu adanya peninjauan terhadap ketentuan sanksi 60% dari jumlah pajak yang disengketakan apabila pengadilan tidak mengabulkan. Menurutnya, perlu hitungan yang tepat sehingga sanksi tersebut tidak memberatkan pihak yang bersengketa.
Darussalam juga menegaskan urgensi kinerja hakim pengadilan pajak dari mulai keseimbangan latar belakang pada saat rekrutmen dan kompetensi yang dimiliki. Komposisi hakim pengadilan pajak saat ini masih didominasi dari latar belakang eksekutif. Menurutnya, hal tersebut berpotensi terjadi konflik kepentingan sehingga dibutuhkan keseimbangan dalam komposisi hakim pajak dengan mempertimbangkan perekrutan komponen lain seperti praktisi dan akademisi.
Selaras dengan Darussalam, Tita-sapaan dari Dian Rositawati- menjabarkan bahwa dengan ketentuan pengelolaan pengadilan pajak oleh Mahkamah Agung maka harus ada jaminan bahwa proses peradilan akan tetap berjalan secara mandiri. Kemandirian tersebut dapat dibangun dengan penguatan independensi terhadap lembaga dan bidang kekuasaan negara yang lain, di dalam tubuh peradilan itu sendiri, terhadap para hakim, dan pada putusan yang dibuat. Tita juga mengusulkan, dalam proses transisi ini dibutuhkan tim khusus agar proses peralihan dapat berlangsung maksimal
Di sesi terakhir, Dafi kemudian juga mengajak serta seluruh komponen masyarakat untuk menjadi pengawas dan mitra kritis terhadap proses peradilan pajak. Kesadaran terhadap isu pajak sesuai dengan bidang kepakaran masing-masing dapat menjadi modal penguatan pengadilan pajak, baik dari sisi struktur kelembagaan maupun putusan-putusannya. Pentingnya kesadaran isu pajak ini dapat terlihat dari minimnya jumlah laporan masyarakat terhadap pengadilan pajak. Yang ditakutkan, persentase yang minim tersebut diakibatkan kinerja hakim pajak atau kurangnya kesadaran dan partisipasi publik dalam mengawal keberlangsungan pengadilan pajak. Dafi juga berharap terjadi peningkatan kuantitas dan kualitas akademisi hukum pajak di Indonesia yang dapat memberikan catatan hukum guna peningkatan kualitas putusan pengadilan pajak.