Menanggapi hal tersebut, STH Indonesia Jentera bekerja sama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) mengadakan diskusi publik dengan tema “Hak Angket DPR RI terhadap KPK: Sudahkah Tepat”. Hadir dalam diskusi publik sebagai narasumber Prof. Mahfud MD sebagai Ketua Umum APHTN-HAN; Bivitri Susanti—pengajar STH Indonesia Jentera sekaligus Ketua APHTN-HAN Jakarta Raya; Zainal Arifin Mochtar—pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada; Feri Amsari—pengajar Fakuktas Hukum Universitas Andalas; dan secara daring, Prof. Denny Indrayana.
Dalam pemaparannya, semua narasumber sepakat bahwa hak angket DPR RI terhadap KPK merupakan hal yang tidak perlu. Jika berdasarkan argumentasi pengawasan, DPR RI pun selama ini sudah melakukan pengawasan terhadap KPK melalui mekanisme rapat dengar pendapat. Prof. Mahfud MD menambahkan, secara teori, hak angket berimplikasi pada pemakzulan presiden, hak angket digunakan untuk mengusut kasus yang dilakukan oleh presiden sesuai yang diatur dalam UUD 1945. Jadi, apabila hanya untuk mencari keterangan KPK, hak angket itu sudah salah alamat. Ia juga menambahkan bahwa hak angket baru bisa dilaksanakan apabila ada perwakilan dari seluruh fraksi yang ada di DPR. Padahal, dalam perkembangannya, sudah banyak fraksi menolak untuk mengirimkan perwakilannya dalam panitia hak angket, bahkan banyak partai menolak digunakannya hak angket.
Feri Amsari juga mengatakan bahwa polemik hak angket DPR RI ini tidak lain hanya pada tataran perdebatan politik hukum, bukan secara teori. Banyak kepentingan kemudian melatarbelakangi usulan hak angket mengingat kasus E-KTP sebagai dalih telah menyeret banyak nama besar anggota dewan.
Penulis: DMI
Editor : APH