Wakil Ketua STH Indonesia Jentera Bidang Akademik, Fritz Edward Siregar menjadi salah satu pemateri dalam Asia-Pacific Digital Rights Forum yang diselenggarakan oleh EngageMedia pada Kamis (12/1/2023) secara daring. Diskusi tersebut membahas perihal ekstrimisme, otoritarianisme digital, dan permasalahan hak digital lainnya di Asia Pasifik. Fritz tergabung dalam sesi keenam bertajuk “Disinformasi Daring di Asia Pasifik” bersama Chairperson Digital Rights Nepal, Santosh Sigdel.
Pada sesi tersebut, Fritz membawakan pembahasan perihal disinformasi pada Pemilihan Umum 2019 di Indonesia. Ia mencontohkan salah satu hoaks yang beredar jelang Pemilu 2019 adalah adanya tujuh kontainer surat suara yang telah dicoblos atau dirusak. Kabar bohong tersebut menyebar secara masif melalui beberapa kanal media sosial dan kemudian memantik reaksi negatif di masyarakat. KPU RI dan Bawaslu RI kemudian melakukan peninjauan secara langsung di lokasi dan tidak menemukan bukti kerusakan. Mengenai preseden tersebut, Fritz menjelaskan bahwa penyebaran berita bohong pada momen pemilu memiliki beberapa tujuan antara lain memengaruhi publik untuk tidak menggunakan hak pilihnya, ketidakpercayaan pada proses pemilu, ketidakpercayaan pada perangkat penyelenggara pemilu, dan untuk mendiskreditkan kandidat yang tengah berkontestasi.
Menurut Fritz, disinformasi yang beredar jelang pemilu banyak mempengaruhi kualitas proses kampanye. Idealnya, kampanye adalah panggung yang dapat dimanfaatkan oleh para kontestan guna meyakinkan masyarakat melalui penyampian visi, misi, dan rencana kerja. Dengan maraknya berita bohong yang beredar, proses kampanye yang ideal tersebut kemudian terdisrupsi dan digantikan dengan kecurigaan dan saling serang antar kubu, terlebih di media sosial. Dampak yang sangat negatif dari hal tersebut adalah masyarakat yang terpecah belah, terlibat dalam pertikaian, dan terjebak dalam polarisasi secara terus menerus. Kondisi tersebut tentu sangat disayangkan karena pada akhirnya masyarakat sulit menemukan informasi yang kredibel sebagai pertimbangan untuk menentukan hak pilihnya.
Guna mengantisipasi dan menangani hal tersebut, terdapat beberapa hal yang perlu diupayakan baik oleh pemerintah maupun publik. Pertama, pihak yang memiliki kewenangan dapat secara langsung untuk menghapus konten disinformasi di media sosial. Tidak hanya menghapus konten, sangat penting untuk menelusuri pembuat dan penyebar konten tersebut, serta dikenakan mekanisme hukum yang berlaku. Kedua, disinformasi yang banyak beredar juga perlu dilawan dengan penyebaran fakta yang sebenarnya. Dalam hal ini, banyak berkembang dan perlu lebih didorong adanya entitas publik, baik dari kalangan akademisi maupun praktisi, yang terlibat dalam proses pemeriksa fakta atas suatu dugaan disinformasi. Langkah terakhir yang tidak kalah penting adalah melakukan edukasi secara masif dan berkelanjutan terkait penggunaan dan penyebaran informasi yang bertanggung jawab di media sosial pada seluruh lapisan masyarakat.
Menurut Fritz, pembatasan konten dalam rangka menekan arus disinformasi harus dijalankan dengan hati-hati agar tidak mengarah pada pembatasan kebebasan berekspresi. Mengenai hal tersebut diperlukan aturan dan prosedur yang transparan dan akuntabel, sehingga dapat menjadi pedoman yang jelas dan meminimalisir adanya penyalahgunaan. Keseluruhan dari langkah tersebut pada akhirnya memberikan dorongan pada masyarakat secara luas agar bertanggung jawab dalam proses penyebaran informasi, sehingga kontestasi pemilu dapat dimanfaatkan sebagai media pertarungan gagasan dan menghasilkan pemimpin yang berkualitas.