I Nyoman Wara yang mewakili BPK selaku Auditor Utama BPK menjelaskan bahwa objek pemeriksaan BPK adalah keuangan negara. Jika dalam pemeriksaannya ditemukan ada dugaan tindak pidana, BPK harus melaporkannya kepada aparat penegak hukum. Terkait dengan kerugian keuangan negara, definisinya bisa dilihat melalui UU Perbendaharaan Negara dan UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Terjadinya kerugian keuangan negara tidak selalu merupakan akibat dari suatu tindak pidana. Mekanisme penyelesaian jika terjadi kerugian keuangan negara juga bukan semata-mata melalui hukum pidana. Hukum privat (perdata) dan hukum administrasi juga dapat digunakan sebagai mekanisme penyelesaian, tergantung pada konteks apa kerugian keuangan negara itu terjadi. Kerugian negara itu sendiri bisa dilihat berdasarkan dua sudut pandang, yaitu pertama, kerugian yang nyata dan pasti; kedua, potensi. BPK dalam menghitung kerugian negara umumnya menggunakan pendekatan actual lost. Namun, jika ada potential lost, informasi itu tetap dimunculkan.
Narasumber selanjutnya adalah Dedeng Hidayat, S.H., M.H. selaku Kepala Satuan Hukum Korporat PT PLN (Persero) Kantor Pusat. Pada 2015, ada 28 kasus korupsi yang berkaitan dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor yang menjerat pejabat PLN. Itu merupakan akibat dari risiko PLN sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam menjalankan kegiatan usaha. Ada risiko bisnis dan risiko hukum. Sebagai pimpinan BUMN, seseorang dituntut mempunyai terobosan yang bisa memperoleh keuntungan. Namun, itu juga memiliki potensi kerugian negara. Celah dalam penafsiran Pasal 2 dan 3 yang dialami BUMN juga diceritakan oleh Hotasi Nababan sebagai mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) yang sempat dipenjara. Ia diberi kesempatan selama 10 menit untuk menceritakan kisahnya.
Pada kasus Hotasi Nababan, majelis hakim tingkat pertama membebaskan Hotasi dari dakwaan jaksa atas Pasal 2 subsidair Pasal 3 UU Tipikor. Majelis hakim menyatakan niat jahat (mens rea) untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi secara melawan hukum tidak terbukti. Atas putusan itu, jaksa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung yang mana Hotasi dinyatakan bersalah oleh majelis hakim kasasi. Atas putusan kasasi itu, Hotasi mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK), tetapi ditolak hakim. Hotasi tetap dinyatakan bersalah karena merugikan keuangan negara, walaupun keberadaan niat jahat untuk memperkara diri secara melawan hukum dipertanyakan.
Febri Diansyah, Juru Bicara KPK, memaparkan problematika Putusan MK terkait Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Ketentuan yang sama juga pernah diuji pada 2006 dengan pertimbangan dan hasil yang berbeda. Selain itu, ada pertimbangan yang dianggap tidak logis. Febri juga menyebutkan bahwa penghilangan kata “dapat” dalam pasal itu tidak menghilangkan potensi kriminalisasi. Hal itu disebabkan unsur inti delik dari Pasal 2 bukanlah pada “dapat merugikan keuangan negara”, melainkan pada “memperkaya diri sendiri/orang lain/suatu korporasi” secara melawan hukum’. Vidya Prahassacitta, sebagai pengajar Universitas Bina Nusantara, setuju terhadap pernyataan Febri bahwa penghilangan kata “dapat” tidak serta-merta menghilangkan masalah, justru berpotensi menimbulkan masalah baru.
Menghilangkan kata “dapat” berarti mengubah tindak pidana formil—yang mementingkan pembuktian perbuatannya—menjadi tindak pidana materil—yang mementingkan akibat kerugian keuangan negara. Penyidik akan kesulitan dalam menindak kasus korupsi karena harus terlebih dulu menentukan kerugian keuangan negaranya. Kalaupun dapat dihitung kerugian keuangan negara pada saat penyidikan, tetapi tidak sama dengan pembuktian di pengadilan, bagaimana kelanjutannya? Apakah terdakwa masih dapat dinyatakan memenuhi unsur “merugikan keuangan negara”? Unsur yang seharusnya dibuktikan dalam tindak pidana korupsi, yakni unsur kesengajaan dan unsur melawan hukum justru menghilang. Putusan MK tidak menjawab persoalan perbedaan penafsiran mengenai unsur yang ada dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, justru semakin mengaburkan unsur pasal itu.